Pesan Tegas Komjen Listyo Sigit Prabowo: Ini Marwah Hukum, Polri Harus Mendengar Masukan Masyarakat
Kalau Polri tidak sungguh-sungguh, maka masyarakat akan mudah menilai. Karena tidak ada yang bisa ditutupi di erakemajuan tekhnologi informasi
Buka-bukaan ala Kabareskrim Komjen Listyo Sigit Prabowo. Ini Marwah Hukum, Polri Harus Mendengar Masyarakat.
TRIBUN-MEDAN.Com - Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo menegaskan, Polri harus mendengar masukan dari masyarakat dalam mengungkap kasus dugaan suap penghapusan red notice Djoko Chandra.
Dimana dalam kasus ini melibatkan dua jenderal di Bareskrim sekaligus, yaitu Irjen Pol Napoleon Bona Parte dan Brigjen Pol Prasetyo.
Bahkan, karena kasus ini, Komjen Listyo tetap ikhlas melayani konfirmasi oleh sejumlah jurnalis terkait kasus buron cessie (hak tagih) Bank Bali itu.
Alumni Akademi Kepolisian 1991 itu mengaku sangat serius mengungkap dugaan skandal gratifikasi tersebut.
Menurut mantan Kapolda Banten ini, untuk menunjukkan ke publik bahwa marwah hukum masih ada dan harus ditegakkan di Indonesia.

Kabareskrim Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo di ruangan kerjanya di lantai 17 Gedung Bareskrim Mabes Polri Jalan Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Kamis (27/8/2020) (TRIBUN-MEDAN.COM/HO)
Dalam penegakan hukum, kata Listyo, Polri harus peka dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat. "Ini juga menjadi hal penting, sehingga rasa keadilan masyarakat tidak terkoyak,"jelasnya kepada Tribun-Medan.com, Kamis (27/8/2020).
Karena menurut mantan Kapolres Pati itu, penegakan hukum terkadang dirasakan kurang adil dan masih banyak hal yang harus diperbaiki.
"Marwah institusi harus terus menerus kita perbaiki dan kita jaga. Polri juga harus mampu mengawal dan selalu berada di depan dalam menyukseskan program-program pemerintah.
Apalagi, dalam situasi saat ini, pemerintah sedang bekerja keras untuk menangani dampak covid dan mengembalikan pertumbuhan ekonomi nasional,"katanya.
"Banyak yang harus dikerjakan dan itu semua butuh dukungan dan kepercayaan publik,"tambah dia.
Listyo lantas bercerita seputar paradigma baru Polri.
Bahwa saat ini, sambungnya, Polri harus benar-benar menginternalisasi dan mengejawantahkan nilai-nilai Tri Brata dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi Kepolisian.
Karena, menurutnya, masyarakat saat ini sudah sangat kritis. Polri sendiri sudah menjadi lembaga publik yang sangat terbuka.
"Gampang dilihat orang, oleh karena itu, transparansi dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas menjadi penting untuk menjaga kepecayaan publik,"ujar Listyo lagi.
Saat ini, lanjutnya, semua sudah serba-terbuka. Informasi apapun akan cepat sampai ke masyarakat dan itu tidak bisa dihindari.
"Kalau Polri tidak sungguh-sungguh, maka masyarakat akan mudah menilai. Karena tidak ada yang bisa ditutupi di era kemajuan tekhnologi informasi saat ini," ungkap jenderal bintang 3 itu.
Karenanya, Polri harus mau menjadi pendengar yang baik dan menjadi pelayan masyarakat.
"Dengan mau mendengar, Polri pasti akan mudah menyerap masukan-masukan dari masyarakat, sehingga kita bisa mengetahui apa yang diharapkan masyarakat dari Polri," tegas Listyo.
Dikatakannya, Polri harus terus membangun komunikasi dengan eksternal secara baik dan terorganisir.
Listyo lantas menceritakan kisahnya saat menjabat Kapolda Banten, Agustus 2016 - Desember 2019.
Dia mengaku selalu membuka diri untuk berkomunikasi dengan masyarakat.
Hampir setiap hari, disempatkannya selalu membuka ruang komunikasi dan silaturahim, baik di kantor, rumah dinas. Bahkan, Listyo yang berkunjung ke masyarakat langsung. Apalagi, Banten adalah kota 1.000 pesantren sejuta santri.
"Oleh karena itu, perlu untuk terus membangun silaturahim. Utamanya dengan para tokoh ulama, tokoh masyarakat adat dan tokoh-tokoh muda serta stakeholder lainnya,"kata Listyo.
Membina silaturahim itu, diakuinya, pun sudah ditanamkan sejak ia menjabat Kapolres Pati dan Surakarta.
"Hubungan dan soliditas antar instansi pemerintah baik TNI, Pemda dan Institusi APH dan stake holder yang lain juga harus terus menerus dibangun, agar semakin solid dalam memberikan pelayanan terbaik untuk masyarakat." ujarnya
Listyo sangat bersyukur, selama menjadi Kapolda Banten, senantiasa diberi kemudahan dalam mengambil keputusan.
"Saat mengambil keputusan, kadang kita perlu memahami kearifan lokal. Sehingga, kita paham betul apa yang dirasakan dan diharapkan masyarakat dari Polri,"tutupnya.
(***)
Antasari Azhar Diperiksa Bareskrim, Babak Baru Kasus Djoko Tjandra dan Daftar 6 Tersangka.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri telah menetapkan mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol Napoleon Bonaparte (NB) sebagai tersangka dalam kasus surat jalan palsu terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra (JST).
Jenderal bintang dua itu diduga turut menerima suap sebesar 20 ribu US dollar (sekitar Rp 300 juta) dari Djoko Tjandra untuk mengurus surat jalan dan penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Selain Napoleon, Mabes Polri juga menetapkan mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo (PU), Djoko Tjandra, serta seorang swasta bernama Tommy Sumardi (TS) sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Penetapan tersangka terhadap keempat orang itu dilakukan setelah penyidik melakukan gelar perkara.
"Gelar perkara selesai jam 11.15 WIB. Kesimpulan dari gelar perkara itu setuju menetapkan tersangka,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Argo Yuwono di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (14/8/2020).
Argo mengatakan, dari empat orang menjadi tersangka itu, dua pihak ditetapkan selaku penerima, dan dua pihak selaku pemberi di dalam penghapusan red notice tersebut.
Untuk pemberi hadiah, penyidik menetapkan Djoko Tjandra dan Tommy Sumardi.
Sementara Irjen Napoleon dan Brigjen Prasetijo Utomo selaku penerima.
"Untuk penetapan tersangka, ada dua selaku pemberi dan selaku penerima. Pemberi ini kita menetapkan tersangka JST kedua saudara TS.
Kedua penerima itu, yang kita tetapkan sebagai tersangka adalah PU (Kepala Korwas PPNS, Brigjen Prasetijo Utomo), kemudian kedua adalah NB," ujar Argo.
Argo menjelaskan, dalam kasus ini penyidik telah memeriksa total 19 orang sebagai saksi.
Kemudian, penyidik juga sudah menyita sejumlah barang bukti.
”Ada 19 yang kita periksa, ada ahli siber dan inafis. Barang bukti ada uang 20 ribu USD. Ada surat jalan, laptop dan rekaman CCTV,” kata Argo.

Brigjen Pol Prasetyo Utomo dan Djoko Tjandra (Tribun Lampung)
Dalam kasus ini Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo selaku tersangka penerima suap dikenakan pasal 5 ayat 2, lalu pasal 11 dan 12 huruf a dan b UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Tipikor dan pasal 55 KUHP.
Menurut Argo, keduanya terbukti menerima uang sebesar 20 ribu dolar untuk memuluskan jalan Djoko Tjandra melarikan diri dari Indonesia.
Keduanya pun terancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.
“Jadi dari Undang-undang ini ancaman hukuman 5 tahun,” ujar Arga.
Sementara Djoko Tjandra dan TS selaku pemberi dikenakan pasal 5 ayat 1, dan pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 20O2 tentang Tipikor, juncto pasal 5 KUHP.
"Jadi dari ancaman hukuman 5 tahun.
Kemudian saat ini kita masih dalam penyidikan berikutnya. Itu adalah kasus pertama, korupsi yang sudah kita gelar," ujar Argo.

Foto terpidana Djoko Tjandra sebelum tertangkap, Jaksa Pinangki (kanan) dan pengacara Anita Kolopaking (kiri) (Kolase twitter/kompas via surya)
Sudah 6 Orang Tersangka
Dengan penetapan empat tersangka baru ini, maka secara keseluruhan sudah ada enam tersangka dalam pusaran kasus Djoko Tjandra.
Keenam tersangka itu yakni, Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Tommy Sumardi, dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Dari enam orang itu, lima di antaranya ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Polri, yakni Djoko Tjandra, Brigjen Prasetijo Utomo, Anita Kolopaking, Tommy Sumardi, dan Irjen Napoleon Bonaparte.
Sementara satu orang lagi, yakni Jaksa Pinangki ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung.
Argo menjelaskan bahwa keenam tersangka itu terbagi dalam dua kasus, yakni gratifikasi dan penerbitan dan penggunaan surat jalan palsu yang dikeluarkan mantan Kakorwas PPNS Bareskrim Polri, Brigjen Prasetijo Utomo.
"Di mana dalam kasus Djoko Djandra ada dua, pertama masalah pidana umum, kedua adalah kasus di Tipikor," kata Argo.

Foto terpidana Djoko Tjandra sebelum tertangkap, Jaksa Pinangki (kanan) dan pengacara Anita Kolopaking (Kolase twitter/kompas via surya)
Libatkan KPK
Di kesempatan yang sama Argo menyebut bahwa dalam kasus ini Polri turut melibatkan KPK.
Hal itu untuk membuktikan bahwa Polri transparan dalam kasus Djoko Tjandra yang melibatkan 2 jenderal polisi.
"Hari ini kami sengaja menghadiri gelar perkara masalah kasus JTS. Kami deputi penindakan KPK mengapresiasi Kabareskrim, kami nilai luar dalam apa yang dilakukan Bareskrim sudah on the track," ujar Deputi Penindakan KPK, Irjen Karyoto yang ikut hadir dalam jumpa pers tersebut.
Dalam penanganan kasus tersebut, Bareskrim Polri dan KPK sudah melakukan sejumlah koordinasi.
Bila mana dibutuhkan, KPK bersedia memberikan informasi untuk penyelidikan kasus tersebut.
"Sebelum kami melakukan supervisi, beliau sudah sangat terbuka. Ada beberapa di klaster tertentu di JTS, ada informasi tambahan.
Dalam hal koordinasi ada fasilitas perbantuan mencari DPO dan mencari rekonstruksi," jelasnya.
Mantan Ketua KPK Antasari Azhar Diperiksa

Mantan pimpinan KPK, Antasari Azhar. (KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)
Bahkan, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri juga mengakui telah memeriksa mantan Ketua KPK Antasari Azhar untuk kasus Djoko Tjandra.
Diketahui Antasari Azhar yang pernah menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tersebut diperiksa Bareskrim Polri sebagai sebagai saksi pada Kamis (13/8/2020) lalu.
Adanya pemeriksaan tersebut pertama kali beredar dari surat pemanggilan pemeriksaan nomor B/PK-257/VIII/RES.3.3/2020/ Tipidkor.
Dalam surat itu, ditujukan atas nama Antasari Azhar.
Dalam surat itu, Antasari Azhar diminta untuk mendatangi Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri untuk dimintai keterangan terkait tindak pidana korupsi bank Bali 2000-2009 yang dilakukan Djoko Tjandra.
“Iya ( Antasari Azhar ) sudah diperiksa,” kata Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono kepada Kompas.com, Kamis (20/8/2020).
Menurut Argo, Bareskrim menggali keterangan Antasari Azhar perihal masalah hukum yang menjerat Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra merupakan terpidana dalam kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Berdasarkan pemberitaan sebelumnya, Antasari Azhar pernah menjadi jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus Bank Bali tersebut.
“AA dimintai keterangan terkait penyelidikan dugaan permasalahan hukum JC, khususnya tentang latar belakang permasalahan JC,” ujarnya.
Dalam kasus ini, Bareskrim menangani dua kasus berbeda.
Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menangani kasus pelarian Djoko Tjandra termasuk perihal surat jalan palsu.
Dalam kasus ini, penyidik menetapkan Djoko Tjandra, Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, serta Anita Kolopaking sebagai tersangka.
Kemudian, Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri melakukan penyidikan terhadap dugaan suap terkait penghapusan red notice Djoko Tjandra.
Djoko Tjandra serta Prasetijo Utomo juga berstatus tersangka dalam kasus ini.
Dua tersangka lainnya adalah Irjen Napoleon Bonaparte dan pengusaha Tommy Sumardi.
• Terkuak Peran Jaksa Pinangki Tak Main-main, hingga Djoko Tjandra Berani Beri Hadiah Rp 7 Miliar
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono menuturkan, Djoko Tjandra dicecar 59 pertanyaan oleh penyidik.
"Mulai pukul 10.30 sampai pukul 15.15. Yang bersangkutan ( Djoko Tjandra ) dicecar oleh penyidik sebanyak 59 pertanyaan," kata Awi di Gedung Bareskrim, Jakarta Selatan, Rabu.
Awi mengatakan, penyidik menanyakan perihal proses keluar-masuk Djoko Tjandra ke Indonesia.
Diketahui, Djoko Tjandra sempat menjadi polemik karena berhasil keluar-masuk Indonesia meski berstatus buronan.
Djoko Tjandra bahkan dapat menyambangi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) pada Juni 2020.
Selain itu, penyidik juga menanyakan keberadaan Djoko Tjandra setelah berhasil masuk ke Indonesia.
Kemudian, penyidik menggali keterangan Djoko Tjandra perihal penggunaan surat jalan palsu, surat bebas Covid-19, serta surat rekomendasi kesehatan.
Menurut Awi, narapidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali tersebut juga ditanya soal pengurusan red notice serta penyewaan pesawat jet pribadi.
"Terakhir, terkait dengan upaya yang bersangkutan selama ini keluar masuk Indonesia menggunakan private jet, terkait dengan penyewaannya, sewa di mana, itu didalami juga,” ucapnya.
Biodata
1. Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo
Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo merupakan pejabat di Bareskrim yang menerbitkan surat jalan untuk terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali yang masih buron, Djoko Tjandra.
Saat surat tersebut diterbitkan, ia menjabat sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.
Jenderal bintang satu ini merupakan lulusan Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1991 dan pernah menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumatera Selatan.
Selain itu, ia juga pernah menduduki posisi Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Timur.
Sebelumnya, Prasetijo juga pernah menjabat sebagai Kapolres Mojokerto, Jawa Timur.
Ia juga diketahui sempat menjadi Kabag Kembangtas Romisinter Divhubinter Polri dan ditunjuk sebagai Karo Kowas PPNS di Bareskrim Polri.
Sementara itu, Prasetijo tercatat pernah dua kali melaporkan harta kekayaannya, yaitu pada 2011 dan 2018.
Pada Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) terbarunya (2018), Prasetijo diketahui memiliki harta sebesar Rp 3.130.000.000.
Sebagian besar hartanya berupa tanah dan bangunan senilai Rp 2.500.000.000 di Kota Surabaya.
2. Irjen Napoleon Bonaparte
Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte sebelumnya juga dicopot dari jabatannya dan dimutasi karena polemik buronan Djoko Tjandra.
Mutasi tersebut tertuang dalam surat telegram Kapolri Nomor ST/2076/VII/KEP/2020 tertanggal 17 Juli 2020.
Ia dimutasi sebagai Analis Kebijakan Utama Itwasum Polri.
Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Awi Setiyono mengatakan bahwa Irjen Napoleon Bonaparte dimutasi karena diduga melanggar kode etik.
Sebagaimana diketahui, Irjen Napoleon Bonaparte merupakan salah satu dari 13 anggota yang mendapat kenaikan pangkat dari brigadir jenderal menjadi inspektur jenderal pada Februari lalu.
Sebelum menjadi Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, ia juga sempat menjabat sebagai Kabagkonvinter Set NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri.
Jenderal lulusan Akpol 1988 ini pernah berkarier di Polda Sumsel, yaitu sebagai Kapolres Ogan Komering Ulu dan Wadir Reskrim.
Selain itu, Irjen Napoleon Bonaparte juga pernah menjabat sebagai Direktur Reskrim Polda DIY, Kasubdit III Dittipidum Bareskrim Polri, Kabagbinlat Korwas PPNS Bareskrim Polri, dan Kabag Bindik Dit Akademik Akpol. (Tribun-Medan.com/Surya)
Artikel ini sebagian telah tayang di surya.co.id dan di Kompas.com Antasari Azhar Diperiksa Bareskrim, Babak Baru Kasus Djoko Tjandra dan Daftar 6 Tersangka