Petani di Desa Kutambaru Beralih ke Tanaman Salak, Dianggap Lebih Tahan Banting
Pilihannya melakukan budidaya salak ini dikarenakan salak merupakan tanaman yang dianggap tahan dengan gempuran abu vulkanik saat erupsi Sinabung.
Penulis: Muhammad Nasrul | Editor: Truly Okto Hasudungan Purba
TRI BUN-MEDAN.com, TIGANDERKET - Sebagian petani yang ada di Desa kutambaru, Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo, kini banyak yang beralih ke tanaman salak di lahan pertaniannya.
Diketahui, peralihan ini dikarenakan dampak bencana erupsi Gunung Sinabung dan pandemi Penyebaran virus corona (Covid-19) membuat hasil pertanian mengalami penurunan harga.
Seorang petani di Desa Kutambaru Kamperas Purba, mengaku memiliki alasan untuk beralih menanam salak dikarenakan tanaman ini dianggap sebagai salah satu jenis tanaman yang tahan banting. Pasalnya, di tengah bencana erupsi Gunung Sinabung beberapa waktu lalu tanaman ini masih dapat bertahan.
"Dampak dari erupsi Gunung Sinabung yang awalnya menghancurkan harapan para petani, terkhusus di desa Kutambaru ini, tapi untuk saat ini tidak lagi, pasalnya dari budidaya salak ini petani dapat bangkit dari keterpurukan," ujar Kamperas, Senin (5/10/2020).
Kamperas mengaku, dirinya memilih melakukan budidaya tanaman salak ini sejak tahun 2016 lalu.
• Nasib Aktor Lawas Eddy Gombloh, Dulu Sukses dan Kaya Raya Kini Berjualan Salak Demi Sesuap Nasi
Pilihannya melakukan budidaya salak ini dikarenakan salak merupakan tanaman yang dianggap tahan dengan gempuran abu vulkanik saat erupsi Gunung Sinabung.
Dirinya menjelaskan, walaupun dilanda erupsi dan diselimuti abu vulkanik tidak berpengaruh terhadap hasil panen. Dirinya mengatakan, untuk ukuran dan kondisi buah tidak memiliki pengaruh yang cukup signifikan.
"Kalau hasil buahnya itu tidak banyak pengaruhnya, tatap bisa besar juga buahnya. Tapi memang cita rasanya saja yang sedikit berkurang," ungkapnya.
Seperti diketahui, jika Gunung Sinabung sudah kembali mengalami erupsi maka salah satu yang sangat terdampak ialah sektor pertanian.
Menurut data yang didapat dari Dinas Pertanian dan Peternakan Karo, dari erupsi belum lama ini menyebabkan kerusakan di puluhan hektare lahan pertanian milik warga.
Dengan kondisi ini, selain berdampak terhadap hancurnya lahan pertanian milik masyarakat, juga berdampak lurus dengan harga hasil pertanian yang anjlok.
• Disebut tak Pandai Kupas Salak, Nia Ramadhani Angkat Bicara, Beri Penjelasan Ini Pada Vidi Aldiano
Namun, Kamperas mengatakan untuk tanaman salak sendiri hingga saat ini dirinya merasakan jika harga di pasaran tetap stabil walaupun gunung mengalami erupsi.
"Kalau tanaman yang lain itu, pasti harganya terus naik turun apalagi saat erupsi sudah besar kemungkinan anjlok harganya. Tapi sampai sekarang, untuk tanaman salak ini masih stabil di harga Rp 9.000 sampai Rp 10.000 per kilogram," katanya.
Dirinya mengungkapkan, sebelumnya di ladang seluas 7000 meter persegi miliknya ini ditanami berbagai macam tanaman.
Mulai dari tanaman muda hingga buah-buahan. Namun, dari berbagai jenis tanaman tersebut ternyata pada tahun 2010 lalu habis semua karena tidak tahan dengan gempuran abu vulkanik dan banjir lahar dingin.
Saat ini, di ladang miliknya ini telah diganti semua dendan tanaman salak berbagai jenis. Mulai dari salak madu, salak super dan salak Bali. (cr4/tribun-medan.com)