Kisah Stella Florensia Hutajulu Runner-up Putri Indonesia, Dari Jejak Petualang Kini Tinggal di Desa
Stella sempat bekerja sebagai reporter di TRANS 7 sejak 2013, Presenter Jejak Petualang yang ditayangkan pada stasiun TV yang sama sejak 2015.
Penulis: Septrina Ayu Simanjorang | Editor: AbdiTumanggor
TRIBUN-MEDAN.com - Menyandang status sebagai runner-up Putri Indonesia Jawa Tengah tahun 2012 dan pernah bekerja sebagai reporter dan presenter di stasiun televisi TRANS 7, Stella Florensia Hutajulu sejatinya punya peluang untuk tenar di ibu kota.
Tetapi peluang untuk tinggal di ibu kota diabaikannya dan memilih kembali dan mengabdikan diri di kampung (desa). Bagaimana ceritanya?
Stella merupakan Sarjana Sains jurusan Biologi dari Universitas Negeri Semarang.
Ia sempat bekerja sebagai reporter di TRANS 7 sejak 2013, Presenter Jejak Petualang yang ditayangkan pada stasiun TV yang sama sejak 2015, dan terakhir ia berkarir sebagai Public Relations di hotel bintang 5, Grand Aston Medan.
Pada tahun 2018 lalu, Stella menikah dengan Raja Sondang Simarmata yang kemudian menjadi Kepala Desa di Desa Lumban Suhi-suhi, kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, awal tahun 2020 lalu.
Setahun sebelum pelantikan sang suami, keduanya sudah pindah desa tersebut yang notabene adalah desa tempat kelahiran suaminya.
Secara otomatis, sejak suaminya menjadi Kepala Desa, Stella pun mendapat posisi baru: istri Kepala Desa sekaligus Ketua Tim Penggerak PKK di desanya.
"Banyak orang yang berpikir, pemuda balik ke desa itu ngapain sih apalagi punya basic karir yang lumayan. Suami juga lulusan ITB, dulunya konsultan tambang dan dia masih umur 32 tahun. Ngapain sih hitungannya desa. Nah aku berpikir bahwa anak-anak muda sekarang sudah harus beda pola pikirnya bahwa milenial pun sudah bisa membuat sebuah perubahan mulai dari tingkat desa," kata perempuan kelahiran 1989 ini kepada Tribun-Medan.com, Jumat (23/10/2020).
Stella melabeli dirinya sebagai Ibu PKK Milenial. Melalui gerakan ini ia ingin stigma Ibu PKK tak hanya perempuan yang bisa menjahit dan masak. Tapi Ibu PKK juga boleh bicara tentang feminisme, kesetaraan gender, dan hal-hal terkini lainnya.
Baca juga: Geliat Wisata di Samosir, Kamar Hotel Tuktuk Terisi 80%, Pasar Suvenir Tomok Masih Banyak Tutup
"Melalui Ibu PKK Milenial itulah aku ingin bilang bahwa ada loh generasi milenial yang sudah mulai masuk ke desa. Seperti kata Pak Jokowi membangun Indonesia dari desa. Maka aku ingin mengetrenkan itu bahwa anak-anak muda, ayo nggak usah takut balik ke kampung dan membangun kampung. Senang kok di desa, justru ini saatnya kita kerja keras dan kerja cerdas. Kalau sudah tua ya enggak bisa apa-apa lagi," terangnya.
Desa tempat tinggalnya ini merupakan kampung asal sang suami.
Stella sendiri sudah terbiasa hidup di kota. Orangtuanya tinggal di Bekasi dan ia pun besar di sana lalu kuliah di Semarang.
"Saya lahir di Pekanbaru, bapak saya seorang kontraktor, jadi saya sering sekali pindah. Apalagi saat itu sedang gencarnya pembangunan. Kelas 2 SD saya pindah ke Bekasi, kuliah ke Semarang, lalu kerja di Jakarta dan terakhir Medan," katanya.

AKTIVITAS Stella Florensia Hutajulu dalam sebuah kegiatan bersama warga di Desa Lumban Suhi-suhi Toruan, kecamatan Pangururan, Samosir. (TRIBUN MEDAN/HO)
Ini pertama kali bagi Stella tinggal di desa.
Diakuinya empat bulan pertama sangat sulit beradaptasi.
Selain bahasa, ia harus beradaptasi dengan kehidupan yang sangat berbeda. Apalagi saat tiba di desa tersebut, ia langsung menjadi istri kepala desa yang memegang peranan penting.
"Aku terbiasa hidup di kota jadi individualis banget. Pergi kerja, sore pulang ke kosan, dan besok pergi kerja lagi. Jadi kalau capek gak perlu bersosialisasi dengan tetangga. Nah aku merasa di kota besar, sehebat apapun kita saat pulang ke rumah jadi biasa aja. Tetangga pun enggak kenal," katanya.
"Sementara di sini, saya jadi dilihat orang dan hidup saya jadi transparan dan dinilai banget sama orang. Awalnya saya enggak siap. Begitu datang ke sini, saya menjadi seorang istri kepala desa. Di sini Kepala desa sangat dipandang. Berbeda dengan orang kota memperlakukan Pak RT atau Pak RW," lanjutnya.
Baca juga: Menilik Wisata Bagot Sebuah Kepingan Surga yang Begitu Indah di Pulau Samosir
Bahkan dari hasil survei yang pernah mereka lakukan di desa tersebut, kebanyakan warga akan lebih mendengarkan kepala desa dari pada bupati. Karena kepala desa ada untuk mereka sehari-hari.
"Jadi aku harus menyapa, berpakaian enggak boleh asal-asalan. Rumah kami juga akhirnya menjadi rumah semua orang. Dulu di kota pulang kerja, kunci pintu, sampai pagi enggak ada yang gedor pintu. Sekarang hari Minggu orang datang lapor tentang masalah tanah, hari Sabtu, warga datang mengadu dia bertengkar sama suaminya. Hidupku jadi hidup bersama, enggak bisa lagi jadi milikku sendiri," katanya.
Ia mengatakan perlahan ia mencoba beradaptasi.
Ia mendekat ke warga dan mencoba memahami.
"Aku ingat lagi, aku orang media yang sudah sering kemana-mana masa gini aja enggak kuat. Akhirnya bisa sih. Ternyata yang perlu adalah cepatlah beradaptasi dan belajar. Justru karena kita yang datang, kita yang beradaptasi," katanya.
Dikatakannya, dirinya diuntungkan karena warga desa juga tidak terlalu antipati dengan perubahan.
Berada di jalan protokol, warga desa cukup sering kedatangan wisatawan dan itu banyak mempengaruhi pola pikir warga.
Di desa tersebut kata Stella, lebih banyak orang yang mau maju ketimbang orang yang susah diajak maju.
"Warga masih bisa menerima arahan walaupun yang bicara lebih muda. Awalnya aku disepelekan juga, diragukan apakah aku bisa hidup di kampung. Akhirnya aku kalau sore, aku duduk sama ibu-ibu di kampung. Perbuatan kita sih yang membuktikan akhirnya. Enggak perlu bicara banyak, akhirnya kita bisa jadi teman buat mereka," katanya.
Ia bercerita, menikah pada 2018, ia dan suami kembali ke Medan.
Saat itu suaminya berbisnis dan ia kerja sebagai public relations.
"Ke sini paling mengunjungi mertua. Saat harus menetap di kampung itu jadi pergolakan bathin sendiri buatku. Aku dan suami mendoakannya lama. Tapi karena ini juga sudah menjadi panggilan hidup suami, aku juga merasa kalau melalui ini hidup kami bisa berguna dan jadi berkat buat orang lain kenapa enggak," katanya.

STELLA Florensia Hutajulu berdiskusi dengan warga terkait program-program untuk memajukan desa. (TRIBUN MEDAN/HO)
Menikmati Hidup di Desa
Setelah tinggal hampir setahun di desa, kata Stella, ia mulai bisa menikmati hidupnya dengan pandangan baru tentang arti hidup dan arti kesuksesan.
Menurutnya sangat indah ketika bisa membantu orang agar hidupnya bisa lebih baik lagi.
"Dulu aku cenderung individualis. Hidup, kerja cari uang, habiskan dengan hal yang kita suka. Tapi sekarang semua berbeda. Apalagi setalah Covid-19, kita enggak tahu siapa yang pergi duluan. Jadi sia-sia banget kalau hidup gitu-gitu aja," katanya.
"Indah banget ketika kita bisa bantu hidup orang berubah. Misalnya ada yang datang ke rumah kita nangis, curhat, mau cerai. Kita bantu secara hukum dan hidupnya jadi lebih baik sekarang. Beda loh rasanya," lanjutnya.
Stella mengatakan: "Hidup dan kesuksesan bukan lagi perkara uang yang banyak. Tapi bagaimana agar bisa bermakna selama hidup".
"Jadi ketika kita ketemu orang biar dia mengingat yang baik tentang kita. Akhirnya setiap hari kita bisa menjadi manfaat buat orang banyak. Motivasi dalam bisnis juga berubah. Bukan lagi mencari uang yang banyak agar kaya raya, tapi bagaimana agar uang itu bisa dimanfaatkan untuk membantu lebih banyak orang lain," katanya.
Ia mengajak anak muda khususnya para sarjana untuk melakukan perubahan dimanapun berada. Walaupun tidak seekstrim pulang ke desa, tapi minimal di melakukan sesuatu untuk masyarakat di sekitar. Misalnya membuat gerakan sosial, bantu anak-anak sekolah, bantu orang sakit dan sebagainya.
"Percayalah enggak semua orang punya kesempatan untuk menempuh pendidikan tinggi, punya kehidupan yang enak, dan mendukung kita untuk punya kesempatan sekolah. Nah kalau kita dikasih kesempatan oleh Tuhan untuk punya pendidikan, artinya kita punya tanggung jawab. Salah kalau kita punya ilmu dan kesempatan tapi enggak kita gunakan. Menurutku itu sudah berdosa," katanya.
Ia mengatakan kembali ke desa bukan sesuatu yang buruk lagi. Ia percaya ada satu jenis energi yang hanya dimiliki manusia pada saat umur tertentu.
"Kalau kita sudah tua, sudah hilang energinya. Nah itu namanya energi masa muda. Energi itu yang mesti kita manfaatkan, pulanglah ke tanah kelahiranmu dan buat perubahan. Itu yang kami miliki sekarang. Percayalah hidup itu bukan tentang gengsi, tapi tentang berapa banyak yang sudah kamu lakukan untuk orang lain," katanya.
Sebagai Ibu PKK, Stella melakukan kewajiban lainnya. Ia membawahi tentang pemberdayaan perempuan, keluarga, anak-anak dan remaja. Termasuk ke dalamnya juga lansia.
Ia membuat pelatihan keterampilan agar kegiatan perempuan di desa positif. Untuk anak, ia membuat PAUD Pelita Bangsa. Ia juga melakukan kunjungan ke posyandu mengecek pertumbuhan anak-anak desa.
"Lansia di sini juga punya wadah, di sini kita bina bagaimana makannya mereka di rumah, pendamping lansia harus bisa sabar, itu saya kasih pendampingan. Remaja juga kita dampingi agar mereka jadi milenial yang positif dan keren. Akhirnya setelah aku pelajari sistem di sini, dengan ilmu yang kami punya, aku ingin buat sesuatu yang baru," katanya.
Rencananya Desember nanti, ia ingin membuat lomba womanpreneur. Ibu-ibu berkelompok membuat proposal usaha dan dilombakan. Jika mereka menang akan dimodali desa untuk membuat usaha.
"Jadi ibu-ibunya harus punya usaha sendiri. Kalau dari sisi kesehatan kami koordinasi dengan desa. Jadi PKK ini masuk ke Gugus Tugas Covid-19. Kemana tim sedang melakukan penyemprotan desinfektan, kita ikut. Kita melakukan penyuluhan. Kami juga terlibat dalam pembuatan ember cuci tangan di setiap kampung. Aku bantu cek dan mendata. Selain itu PKK ini juga menyiapkan makanan untuk petugas gugus tugas," pungkasnya.
Dukung Warga Tetap Produktif
Bagi masyarakat Batak, Kain Ulos merupakan barang yang sangat dianggap berharga. Ulos hadir pada berbagai kegiatan masyarakat terutama dalam gelaran pesta adat seperti pernikahan, pemakaman, dan sebagainya. Pandemi Covid-19 yang menyebabkan pelarangan gelaran pesta akhirnya membawa dampak ekonomi yang cukup besar bagi penenun Kain Ulos seperti di Desa Lumban Suhi Suhi Toruan.
Menyadari hal ini, Stella Florensia Hutajulu menggelar berbagai pelatihan untuk mengatasi dampak pandemi terhadap ekonomi masyarakat. Stella otomatis menjabat sebagai Ketua Tim Penggerak PKK Desa setelah suaminya, Raja Sondang Simarmata dilantik sebagai Kepala Desa Lumban Suhi-suhi Toruan, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir pada Januari 2020.
Salah satu upaya Stella sebagai Ibu PKK untuk mendukung warga tetap produktif di masa pandemi adalah menggelar pelatihan pembuatan tempe yang diikuti sekitar 25 warga desa pada awal Mei 2020. Diharapkannya hal ini bisa sebagai penguatan warga secara ekonomi.
"Karena adanya Covid-19 ini banyak pesta dibatalkan, tenun enggak laku. Jadi saya bikinlah pelatihan untuk membuat tempe kepada warga desa. Percaya deh itu saya baru belajar dua minggu dari internet dan kami praktikkan di rumah dulu. Zaman sekarang mudah loh belajar itu dan banyak medianya. Saya mengajari mereka dan jadi tempenya," kata Stella kepada Tribun-Medan, Jumat (23/10/2020).
Ia mengatakan tempe ini baru sampai tahap pelatihan. Hal ini karena keterbatasan alat yang saat ini tengah di pesan di Jawa. Ke depan pembuatan tempe ini akan menjadi klaster UMKM baru di desa ini dan hasil pembuatan tempe akan dipasarkan.
"Ada alat yang sedang kami pesan yakni alat untuk mengupas kedelai. Kami pesan di Jawa agar lebih murah. Karena kalau kita kupas kedelainya pakai tangan lebih lama dan secara ekonomi jadinya kurang efisien," tuturnya.

STELLA Florensia Hutajulu menggelar berbagai pelatihan untuk mengatasi dampak pandemi terhadap ekonomi masyarakat. (TRIBUN MEDAN/HO)
Stella menjelaskan dari dulu penenun ulos termasuk orang yang cukup kaya dan berkecukupan di desa tersebut. Penghasilan warga dari menenun saja bisa mencapai Rp 2,5 juta hingga Rp 3,5 juta per bulan.
"Untuk hidup di desa itu sudah cukup lumayan dengan penghasilan segitu. Ada yang lebih rajin lagi bisa dapat Rp 5 juta. Belum lagi dari hasil berladang dan penghasilan lainnya. Makanya saat pesta enggak jalan, sementara tenun ini hidup karena pesta, dampaknya pada warga sudah langsung terasa," kata Stella.
Dijelaskannya ada hampir 2000 ribu jiwa yang berdomisili di desa, mayoritas masyarakat di desa itu berprofesi sebagai penenun, petani, dan nelayan. Sebagian kecil berdagang dan bekerja sebagai guru atau PNS. Ia mengatakan desa tersebut sebenarnya masuk dalam zona hijau Covid-19 dan baru sebulan belakangan ada yang positif Corona. Tapi dampak ekonominya sangat parah.
"Nelayan juga terdampak. Biasanya mereka menangkap ikan 15 kilogram sampai 20 kilogram perharinya dan dijual ke tiga pasar. Tapi pedagang juga enggak mau ambil barang banyak lagi karena daya beli masyarakat juga berkurang," katanya.
Untuk itu, ia dan suaminya membuat pelatihan ikan asin agar bisa memperpanjang masa simpan ikan. Dengan diasinkan ikan jadi bisa bertahan hingga tiga bulan jika penggaramannya benar. Ia belajar secara otodidak dari buku, internet dan banyak referensi lainnya.
Baca juga: Mengenal Sosok Reviana Rumahorbo, Pendiri Pusat Informasi Konseling Remaja di Samosir
"Nelayan misalnya menangkap 10 kilogram sementara yang diserap pasar cuma tujuh kilogram. Akhirnya saking mepetnya kita bikin pelatihan untuk membuat ikan asin. Kita coba dulu di rumah, kita jemur, dan sempat gagal juga. Pernah ikannya dilalatin, bau, dan segala macam. Dua minggu praktik, akhirnya kita bisa bikin ikan asin dan kasih pelatihan ke 30 nelayan," katanya.
Dari sisi pertanian, ia juga membuat pelatihan pembuatan bawang goreng untuk petani. Bawang menjadi salah satu hasil tani unggulan dari Samosir.
"Kalau sudah jadi bawang goreng, nilai jualnya jadi tambah tinggi dan lebih awet juga disimpan. Kami buat pelatihan ini di Mei juga," katanya.
Selain itu PKK di desa ini juga membuat warung hidup. Sejak April, setiap rumah dibina untuk memanfaatkan pekarangannya dan menanam kangkung, sawi, cabe, tomat, seledri, daun bawang, dan juga singkong.
"Minimal sayur enggak usah beli. Sesulit-sulitnya bisa makan singkong dan sayur di rumah masing-masing lah. Kita juga membuat program pembukaan lahan-lahan kosong. Takutnya nanti krisis pangan, minimal desa kita aman. Jadi kita membangkitkan lahan-lahan tidur," katanya.
Ia mengatakan karena tinggal di desa, untungnya masih ada singkong dan ubi. Sehingga untuk makan warga sehari-hari masih aman.
"Tapi untuk uang keluar misalnya membiayai anak sekolah, itu yang enggak ada. Apalagi kebanyakan warga di sini menyekolahkan anaknya ke kota. Selain itu bayar kredit juga susah karena enggak ada penghasilan," imbuhnya
Upaya lainnya yang dilakukan adalah memberdayakan sebagian ibu-ibu di desa untuk membuat masker dari kain ulos dan batik Batak. Masker ini untuk keperluan desa, dengan pemberdayaan ini bisa sebagai tambahan penghasilan warga.
"Sebagian besar upaya itu kami pelajari otodidak. Itulah gunanya ilmu memang. Saat kamu sudah sekolah, harus bisa jadi solusi. Salah kalau sudah tahu tapi enggak melakukan apapun. Makanya beban loh sebenarnya jadi sarjana itu. Kita harus bikin perubahan di mana kita tinggal," katanya. (sep/tribun-medan.com)
Biofile
Nama: Stella Florensia Hutajulu
Tempat, Tanggal Lahir: Pekanbaru, 28 Mei 1989
Karir:
- Reporter TRANS 7 (2013 - 2017)
- Presenter Jejak Petualang TRANS 7 (2015 - 2017)
- Public Relation Grand Aston Medan (2017 - 2019)
Pendidikan:
Sarjana Sains ( Biologi) Universitas Negeri Semarang
Prestasi:
- Juara 1 Duta Wisata Kota Semarang ( Denok Kenang )
- Runner Up Putri Indonesia Jawa Tengah 2012
- Best Personality Putri Kopi Indonesia 2011
Orangtua :
- Djumadi H Hutajulu (Ayah)
- Ellen Hutapea (Ibu)
Suami:
Raja Sondang Simarmata