Sosok SM Amin Nasution, Gubernur Sumut Pertama yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Pemberian anugerah tertinggi ini, lantas membuat masyarakat Sumatera Utara berbangga, karena ada 12 pahlawan nasional yang berasal dari Sumut.

Penulis: Satia |
Wikipedia
SM Amin Nasution 

TRIBUN MEDAN.COM, MEDAN - Presiden Republik Indonesia Joko Widodo atau Jokowi memberikan anugerah kepada Gubernur pertama Provinsi Sumatera Utara, Sutan Muhammad (SM) Amin Nasution, yaitu sebagai pahlawan nasional.

Pemberian anugerah tertinggi ini, lantas membuat masyarakat Sumatera Utara berbangga, karena ada 12 pahlawan nasional yang berasal dari Sumut.

Sejarawan Sumut, Ichwan Azhari mengatakan, bahwa pemberian gelar pahlawan nasional ini pantas diberikan kepada SM Amin Nasution.

Sebab, semasa hidup banyak berbuat kepada bangsa, yaitu melawan penjajahan Belanda. "Sangat pantas beliau mendapatkan gelar tersebut, lantaran semasa hidup banyak berbuat untuk Indonesia," kata dia. 

Berikut adalah biografi SM Amin Nasution, berdasarkan arsip Sejarawan Ichwan Azhari : 

S.M Amin pada masa pergolakan awal revolusi yang sulit, bersedia meninggalkan profesi nya sebagai pengacara untuk menjadi Gubernur Muda Sumatera Utara, yang ditetapkan Wapres Mohammad Hatta dan dilantik oleh Mr. Mohammad Hasan di Pematang Siantar pada tanggal 14 April 1947, saat Kota Medan diduduki sekutu.

Saat Sekutu menduduki Pematang Siantar pada tanggal 29 Juni 1947, Mr. S.M. Amin sempat ditahan oleh Belanda sebab dianggap sebagai gubernur pemerintahan RI yang dianggap illegal.

Ini merupakan peristiwa yang sangat heroik dimana dalam keadaan yang sangat genting pun Mr. S.M. Amin terus mengupayakan eksistensi Provinsi Sumatera Utara dengan melakukan perundingan.

Setelah itu Mr. S.M. Amin mengungsi ke Kutaradja, Aceh, dan mengatur strategi menjalankan pemerintahan sipil Provinsi Sumatera Utara di pengungsian.

Tapi saat kembali ke Pematangsiantar pada Oktober 1947, sebagai Gubernur Muda Sumut, Mr. S.M. Amin kembali ditangkap Belanda dan dipenjarakan di Medan.

Tapi dalam tahanan Belanda dia menolak untuk mencopot jabatannya sebagai Gubernur dan tetap menyatakan dia gubernur dari Republik yang sah.

Setelah berhasil melarikan diri dari tahanan Belanda, SM Amin menyeberang ke Penang, untuk kemudian kembali ke Aceh dan menggerakkan perjuangan Republik Indonesia dari Aceh dan terus menjalankan eksistensi pemerintahan Provinsi Sumatera Utara. Masa itu Aceh menjadi satu kesatuan dengan provinsi Sumatera Utara.

Setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 tentang pembagian Provinsi Sumatera disahkan, Mr. S.M. Amin ditetapkan sebagai gubernur penuh untuk Provinsi Sumatera Utara yang dilantik langsung oleh Presiden Soekarno tanggal 18 Juni 1948 di Kutaradja.

Banyak kebijakan penting yang telah diputuskan oleh Mr. S.M. Amin untuk menjaga eksistensi pemerintagan sipil Provinsi Sumatera Utara tetap berjalan.

Antara lain melantik anggota DPRD Sumatera Utara I di Tapak Tuan pada tanggal 16 Desember 1948, di mana Mr. S.M. Amin berperan sebagai ketua DPRDSU I. Mr. S.M. Amin juga berperan sebagai fasilitator antara Presiden Soekarno dengan rakyat Aceh dalam pembelian pesawat pertama RI. Mr. S.M. Amin melalui keputusan DPRDSU juga mengeluarkan kebijakan pencetakan Uang Republik Indonesia Sumatera Utara (URIPSU) dalam dua seri dengan angka nominal Rp. 250.- pada tanggal 1 Maret 1949.

Mr. S.M. Amin diberhentikan sebagai Gubernur Provinsi Sumatera Utara ketika Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dijalankan pada Desember 1949. Mr. S.M. Amin kemudian dialih tugaskan menjadi Komisaris Pemerintah untuk daerah Sumatera Utara pada tahun 1950.

Pada tanggal 22 Agustus 1952, Mr. S.M. Amin kembali diangkat sebagai Gubernur Propinsi Sumatera Utara. Maka ini merupakan periode kedua kali bagi Mr. S.M. Amin dalam menjabat sebagai Gubernur di Sumatera Utara.

Ia kembali dipanggil untuk mengabdi di Sumatera Utara karena pada waktu itu terdapat goncangan kedaulatan RI yang cukup besar yakni adanya konflik-konflik di Aceh juga Sumatera Utara.

Pada tahun 1956, masa pengabdiannya di Sumatera Utara diberhentikan dan kemudian dialihkan ke dalam Kabinet Menteri Dalam Negeri di Jakarta. Melalui jabatannya di kementerian dalam negeri, Mr. S.M. Amin menjadi salah seorang penggagas Otonomi Daerah pada waktu itu.

Atas seluruh prestasinya dalam kancah politik itu, ia kemudian diangkat sebagai Gubernur Pertama di Propinsi Riau dan dilantik pada tanggal 27 Februari 1958.

Selama menjabat sebagai Gubernur Riau, Mr. S.M. Amin memutuskan berbagai kebijakan penting antara lain membentuk Badan Penasehat Kepala Daerah Riau, mengatasi permasalahan akibat adanya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), merekrut pegawai pemerintahan dari putra putri daerah, membentuk Panitia Perguruan Tinggi dan Bea Siswa, membentuk Panitia Bank Pembangunan Daerah, membentuk Panitia Perancangan Pembangunan Daerah, dan menyusun konsepsi tentang Perusahaan Pelayanan Daerah, serta masih banyak kebijakan unggulan lainnya.

Kemudian ia diberhentikan pada tahun 1960, dan ditarik kembali bertugas di Kementerian Dalam Negeri di Jakarta.

Segala prestasi besar dalam dunia pemerintahan yang telah dilakukan oleh Mr. S.M. Amin semasa menjabat sebagai gubernur tidak terlepas dari tempaan latar belakangnya ketika masih remaja.

Dalam riwayatnya Mr. S.M. Amin pernah menempuh pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) tahun 1912, sekolah STOVIA Batavia tahun 1919, sekolah MULO Batavia tahun 1921, sekolah AMS Yogyakarta 1924, dan sekolah tinggi hukum Rechtschoogeschool tahun 1927.

Ketika Mr. S.M. Amin bersekolah di MULO Batavia, ia cukup aktif dalam berbagai organisasi pergerakan seperti Jong Sumatteranen Bond, aktif menulis tentang kenegaraan, nasion Sumatera, kesadaran nasionalisme, serta kritik terhadap sistem pemerintahan kolonialisme Belanda.

Ketika Mr. S.M. Amin bersekolah di sekolah tinggi hukum Mr. S.M. Amin mencapai titik tertinggi aktivitas dan semangat pergerakan nasionalismenya sebagai pemuda. Mr. S.M. Amin ikut serta menjadi pemuda-pemuda penggerak perubahan nasionalisme kedaerahan menjadi nasionalisme nasional. Mr. S.M. Amin terlibat dalam pelaksanaan Kongres Pemuda atau yang dikenal Kongres Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928

Pada tanggal 23 April 1929, Mr. S.M. Amin perwakilan dari Jong Sumatranen Bond bersama Muhamad Jamin dan A.K. Gani dan organisasi kedaerahan lainnya membentuk Badan Fusi yang bertujuan untuk melaksanakan konferensi pembubaran organisasi-organisasi kedaerahan.

Pada awal tahun 1930, konferensi Badan Fusi yang telah dilakukan menghasilkan keputusan akan mendirikan perkumpulan baru yang bersifat nasionalisme Indonesia dan membentuk Komisi Besar Indonesia Muda (KBIM). Sejak itu Mr. S.M. Amin menjadi anggota KBIM bersama 8 anggota lainnya. Keikutsertaan Mr. S.M. Amin dan peran aktifnya dalam pembentukan KBIM membuktikan peran sertanya dalam dunia pergerakan di Indonesia.

Setelah Mr. S.M. Amin tamat dari sekolah tinggi hukum tahun 1933, Mr. S.M. Amin memilih mengabdi ke daerah yaitu Sumatera Utara dan menjadi advokat di Kutaradja, meskipun itu berlawanan dengan harapan orang tuanya yang menginginkan Mr. S.M. Amin bekerja sebagai pegawai Pemerintahan Hindia Belanda karena akan memiliki status sosial yang tinggi dan mendapatkan kesejahteraan finansial.

Selama menjadi advokat Mr. S.M. Amin banyak menangani berbagai permasalahan rakyat khususnya di Kutaradja dan dikenal sebagai pengacara yang bertanggung jawab, jujur, berani membela kebenaran, arif, dan bijaksana.

Selanjutnya Mr. S.M. Amin berkaris sebagai hakim di Sigli, direktur sekaligus guru sekolah menengah atau Syu Gakko, anggota Badan Perlindungan Tanah Air, serta menjabat sebagai anggota DPRD Aceh pada masa pendudukan Jepang.

Atas seluruh pengalaman Mr. S.M. Amin tersebut, Mr. S.M. Amin juga tampil sebagai salah satu tokoh intelektual Indonesia dalam bidang hukum.

Sejak tahun 1954 hingga akhir hayatnya, Mr. S.M. Amin sangat produktif menulis dan menghasilkan banyak buku tentang hukum dan pandangan kritis terhadap keadaan Indonesia pada saat itu.

Setidaknya terdapat 12 buku yang telah diterbitkan dan dicetak ulang pada saat ini, dan ditemukan banyak arsip-arsip tulisannya yang belum sempat diterbitkan. Mr. S.M. Amin wafat pada tanggal 16 April 1993 dan telah meninggalkan semangat pergerakan pemuda, mozaik sejarah perjuangan, dan pemikiran kritis bagi generasi bangsa Indonesia sampai kapan pun.

(Wen/Tribun-Medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved