Myanmar Mencekam, Lebih 54 Orang Tewas Ditembak, Sekutunya China dan Rusia Larang PBB Ikut Campur
Badan HAM PBB pun menuntut agar militer Myanmar segera berhenti membunuh para demonstran.
Sekutu Dekat dengan China dan Rusia, Militer Myanmar Tegaskan Tidak Takut Terkena Sanksi PBB
Militer Myanmar mengatakan siap menahan sanksi dan isolasi setelah kudeta 1 Februari, kata seorang pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Rabu (3/3/2021) setelah berkomunikasi dengan pihak militer.
PBB mendesak negara-negara untuk "mengambil tindakan yang sangat kuat" untuk memulihkan demokrasi di negara Asia Tenggara itu.
Utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, mengatakan 38 orang tewas pada Rabu, hari paling kejam sejak kudeta ketika militer Myanmar.
Schraner Burgener akan memberi pengarahan kepada Dewan Keamanan PBB pada Jumat (5/3/2021) melansir Reuters.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak tentara merebut kekuasaan dan menahan pemimpin pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dan sebagian besar kepemimpinan partainya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
NLD memenangkan pemilihan pada November dengan telak, yang menurut militer curang. Komisi pemilihan mengatakan pemungutan suara itu adil.
Schraner Burgener mengaku dalam percakapan dengan wakil panglima militer Myanmar Soe Win, dia telah memperingatkan kemungkinan adanya sanksi besar untuk militer Myanmar.
Hal itu dilakukan sebagai tanggapan keras dari beberapa negara dan isolasi sebagai pembalasan atas kudeta tersebut.
"Jawabannya adalah: Kami terbiasa dengan sanksi, dan kami selamat," katanya kepada wartawan di New York.
“Ketika saya juga memperingatkan mereka akan pergi dalam isolasi. Dia menjawab: Kita harus belajar berjalan hanya dengan beberapa teman.”
Negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa, telah menerapkan atau sedang mempertimbangkan sanksi yang ditargetkan untuk menekan militer dan sekutu bisnisnya.
Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 orang telah menyuarakan keprihatinan atas keadaan darurat tersebut.
Tetapi badan internasional itu tidak mengutuk kudeta tersebut bulan lalu karena ditentang oleh Rusia dan China.
Dua negara itu memandang kondisi tersebut sebagai urusan dalam negeri Myanmar.
Alhasil para diplomat menilai tindakan apa pun oleh dewan di luar pernyataan tidak mungkin dilakukan PBB.
"Saya berharap mereka menyadari bahwa ini bukan hanya urusan internal, tapi juga mengenai stabilitas kawasan," kata Schraner Burgener tentang China dan Rusia.
Dia berkata Soe Win memberitahunya bahwa setelah satu tahun militer ingin mengadakan pemilihan lagi.
Schraner Burgener terakhir berbicara dengannya pada 15 Februari dan sekarang berkomunikasi dengan militer secara tertulis.
“Jelas, menurut saya taktik militer sekarang adalah menyelidiki orang-orang NLD untuk memenjarakan mereka," terangnya.
"Pada akhirnya NLD akan dilarang dan kemudian mereka mengadakan pemilihan baru, di mana mereka ingin menang, dan kemudian mereka dapat terus berkuasa."
Schraner Burgener mengatakan dia yakin militer sangat terkejut dengan protes terhadap kudeta tersebut.
“Saat ini kami memiliki anak muda yang hidup dalam kebebasan selama 10 tahun, mereka memiliki media sosial, dan mereka terorganisir dengan baik dan sangat bertekad,” tambahnya.
“Mereka tidak ingin kembali dalam kediktatoran dan dalam isolasi.”

Demonstran anti-kudeta Myanmar disemprot water cannon oleh polisi di ibu kota Naypyidaw pada Senin (8/2/2021). Para pedemo menentang kudeta Myanmar yang dilakukan oleh pihak militer.(AP PHOTO)
Setelah Banyak Jatuh Korban, China Bantah Terlibat dalam Kekacauan ini.
China dan Rusia diketahui sekutu dekat Myanmar. Sebelumnya, Kedutaan Besar China untuk Myanmar membantah mendukung kudeta militer dan mengatakan kondisi saat ini "sama sekali tidak seperti yang ingin dilihat China".
Melansir media Thailand yang didirikan oleh pelarian Myanmar, The Irrawaddy pada Rabu (17/2/2021), Duta Besar China Chen Hai mengatakan dalam jumpa pers pada Senin (15/2/2021) lalu, bahwa Beijing tidak mengetahui rencana junta mengembalikan kekuasaan.
Chen Hai juga mengatakan bahwa harapan China, semua pihak di Myanmar "dapat menangani masalah saat ini melalui dialog dan konsultasi yang baik serta membawa negara kembali ke jalurnya, secepatnya".
Beijing dikatakan Chen ingin segala sesuatunya berjalan baik di negara tetangga selatannya itu, dari pada melihatnya menjadi tidak stabil atau bahkan jatuh dalam kekacauan.
"Liga Nasional untuk Demokrasi dan Tatmadaw ( militer Myanmar) memelihara hubungan persahabatan dengan China," kata duta besar itu.
China sejauh ini diketahui memiliki hubungan aliansi sangat dekat dengan militer Myanmar.
Sebelumnya, Menteri Luar Negeri China, Wang Yi bertemu dengan Jenderal Senior Min Aung Hlaing ketika berkunjung di Naypiydaw pada 20 hari sebelum terjadi kudeta militer dan penangakapan pemimipin terpilih Aung San Suu Kyi serta Presiden Win Myint.
Selama pertemuan mereka, pemimpin kudeta Myanmar saat itu berbagi dengan Wang "temuan" Tatmadaw tentang klaim kecurangan pemilu.
Pada 1 Februari, hanya beberapa jam sebelum Parlemen baru dijadwalkan bersidang di Naypyitaw, militer merebut kekuasaan dan mengumumkan keadaan darurat satu tahun di negara itu.
Junta militer mengklaim bahwa pihaknya dipaksa untuk bertindak karena dugaan kecurangan dalam pemilihan November dan kegagalan pemerintah yang dipimpin Aung San Suu Kyi untuk menangani masalah tersebut.
Ketika secara internasional tindakan junta adalah kudeta yang dikutuk, China menggambarkan pengambilalihan pemerintahan oleh militer Myanmar, sebagai "perombakan kabinet besar-besaran".
Bersama dengan Rusia, China memblokir upaya baru-baru ini oleh Dewan Keamanan PBB untuk mengutuk kudeta militer tersebut.
Beijing dan Moskwa melanjutkan pertahanan mereka terhadap rezim militer Myanmar pada sesi khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB baru-baru ini.
Mereka bersikeras bahwa perebutan kekuasaan dari pemerintah yang dipilih secara demokratis adalah urusan internal.
Chen bagaimanapun menegaskan dukungan Beijing terhadap pernyataan Dewan Keamanan PBB baru-baru ini yang mengungkapkan "keprihatinan yang mendalam" tentang keadaan deklarasi darurat Myanmar dan penahanan para pemimpin sipil nasional dan lainnya.
Chen mengatakan Suu Kyi menjaga hubungan baik dengan China, dan berkomitmen untuk membangun China-Myanmar Economic Corridor (CMEC) dan menerapkan praktik kerjasama di bidang lain.
CMEC adalah bagian dari skema pembangunan infrastruktur internasional Beijing yang luas, Belt and Road Initiative (BRI).
"Kami mengawasi situasi Aung San Suu Kyi dan lainnya," kata Chen.
China telah menghadapi kecaman keras dari rakyat Myanmar menyusul kegagalannya untuk mengutuk para pembuat kudeta.
Di tengah protes anti-kudeta massal nasional yang sedang berlangsung, ribuan pengunjuk rasa berkumpul setiap hari di depan Kedutaan Besar China di Yangon, menuntut China menolak untuk mendukung rezim militer.
Pemuda di seluruh negeri juga telah meluncurkan kampanye untuk memboikot produk China dan meminta karyawan Myanmar dari proyek besar China untuk berpartisipasi dalam gerakan pembangkangan sipil, untuk menunjukkan penentangan mereka terhadap rezim militer.
Menanggapi tuduhan bahwa China mengirim teknisi untuk membantu militer membangun firewall internet, Chen mengatakan bahwa "ini benar-benar tidak masuk akal dan bahkan tuduhan yang konyol".
Pesawat China
Pesawat China yang tiba di Yangon melakukan penerbangan kargo rutin yang membawa makanan laut dan barang ekspor lainnya, katanya.
Ia membantah rumor di media sosial bahwa China telah menerbangkan para ahli IT yang ditugaskan untuk membangun firewall untuk rezim militer Myanmar.
Pada Rabu (17/2/2021), seorang juru bicara militer juga menolak tuduhan bahwa mereka menerima bantuan dari China, mengklaim militer memiliki cukup ahli, jika memutuskan untuk membangun firewall internet.
Publik tetap curiga, karena 3 penerbangan lagi dari Kunming China mendarat di Bandara Internasional Yangon pada Minggu (14/2/2021) di tengah penangguhan akses internet rezim dari jam 1 pagi hingga 9 pagi waktu setempat.
Chen juga mengatakan tentang tuduhan "sama sekali tidak konsisten dan jahat" oleh ribuan pengguna media sosial, bahwa China diam-diam mengirim senjata ke rezim militer untuk menindas pengunjuk rasa anti-kudeta.
"Kami menentang segala upaya (untuk) memanfaatkan urusan dalam negeri Myanmar untuk merusak kerja sama persahabatan antara China dan Myanmar, karena ini pada akhirnya akan merugikan kepentingan Myanmar sendiri," ucap Chen.
Ratusan orang juga menggelar demonstrasi setiap hari di depan Kedutaan Besar Rusia untuk mengutuk pendiriannya dan menuntut agar Moskwa tidak mendukung rezim militer Myanmar. (*)
Tautan Artikel Kompas.com:Ketegangan di Myanmar Semakin Tinggi, Hampir 40 Orang Tewas dalam Sehari