Ngopi Sore
Ada Gedung Putih di Medan, Presidennya?
Aturan baru cara peliputan di Balai Kota Medan seperti di Gedung Putih, kantor Presiden Amerika Serikat. Padahal yang berkantor di sana bukan presiden
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Orang-orang Medan, entah yang lahir di Medan atau telah lama keluyuran di kota ini, pasti tahu bahwa ada satu gedung yang pernah populer dengan sebutan Gedung Putih. Iya, tentu ini sebangsa “penyebutan kreatif” belaka. Gedung Putih, kita paham, adalah kantor sekaligus tempat tinggal Presiden Amerika Serikat yang sedang menjabat. White House nama resminya. Terletak di 1600 Pennsylvania Avenue NW, Washington D.C.
Di Medan, Gedung Putih ini berada di kawasan Jalan Sekip. Kenapa disebut Gedung Putih? Pertama lantaran cat bangunannya memang putih. Kedua di sini tinggal (dan berkantor) seorang presiden juga. Presiden “dunia bawah”, Olo Panggabean.
Setelah Olo meninggal dunia, kementerengan nama Gedung Putih di Sekip surut jauh. Gedung Putih menjadi sekadar memorabilia dalam kenangan. Masih ada fisiknya. Namun namanya tinggal menyisakan senyum tanpa rasa getar.
Sekian tahun berlalu, kini naga-naganya akan muncul Gedung Putih yang lain. Kebetulan memang cat gedungnya sama-sama putih. Di mana letaknya?
Hm... Pergilah ke kawasan Jalan Maulana Lubis, tiada jauh dari tepian Sungai Deli, di seberang bangunan hotel bintang lima, maka kalian akan menemukan gedung itu. Berdiri mentereng, elite, jauh lebih mentereng dan elite ketimbang Gedung Putih Olo Panggabean.
Bukankah deskripsi ini mengarah ke gedung Balai Kota Medan? Anda tidak keliru. Memang itulah yang dimaksud. Namun kenapa Gedung Putih?
Nama Gedung Putih begitu saja menyelinap ke benak saya pagi tadi. Saat memeriksa pesan-pesan yang masuk ke grup-grup WhatsApp. Pada setidaknya empat di antaranya, saya menemukan tautan video yang sama. Tautan yang berasal dari Instagram mengatasnamakan Humas Pemerintah Kota Medan.
Saya buka tautan pada grup WhatsApp itu. Ternyata tidak bisa. Tiap di-klik, video menampilkan tampilan “koloni semut”. Artinya, video tersebut sudah dicabut dari tempatnya semula. Saya beralih ke grup WhatsApp kedua, lalu ketiga, tetap tidak bisa. Beruntung di grup keempat, tautan itu, yang sebenarnya tetap tidak bisa dibuka, bisa ditonton karena barangkali [sebelum dihapus] sudah lebih dulu di-copy.
Video ini singkat saja. Tidak sampai dua menit. Namun mencengangkan lantaran memuat aturan-aturan yang aneh bin ajaib perihal tata cara peliputan di balai kota. Kenapa aneh? Kenapa ajaib?
Walau tidak pernah sekali pun terdaftar dalam jajaran wartawan unit Pemerintah Kota Medan, setidaknya saya sudah wara-wiri meliput dan memotret aktivitas di sana selama 13 tahun. Dari penghujung periode terakhir Wali Kota Bachtiar Djafar (2000) hingga periode awal Wali Kota Rahudman Harahap sebelum beliau terjerat KPK dan kemudian digantikan wakilnya, Dzulmi Eldin (2013). Dan sepanjang masa itu, saya tidak mendapati aturan seperti yang dikemukakan dalam video singkat tadi.
Apa saja aturannya? Pertama, wartawan harus datang pukul 08.00 WIB ke balai kota untuk mengisi absensi kehadiran. Iya, absensi, layaknya pegawai balai kota dan ASN pada umumnya. Kedua keharusan menjalani protokol kesehatan: pemeriksaan suhu tubuh serta penggunaan hand sanitizer dan masker. Ketiga, mengambil tanda pengenal khusus untuk wartawan dengan meninggalkan kartu identitas kependudukan.
Selanjutnya, para wartawan diarahkan untuk menunggu di satu ruang khusus. Sampai di sini, saya mulai terbayang kepada wawancara-wawancara yang dilakukan di Gedung Putih. Bukalah YouTube, dan Anda bisa mendapati banyak wawancara di sana. Terutama dari era Presiden Barrack Obama dan Donald Trump.
Namun kemudian video bergeser ke gambar satu ruangan dengan pembatas (border line) berwarna merah --seperti yang terdapat pada jalur antrean di bank. Wartawan berdiri di belakang pembatas itu, dan wawancara dengan Wali Kota Medan dibatasi berlangsung hanya dalam 20 menit, hingga pukul 09.00. Jadi, dari awal datang sampai selesai wawancara, wartawan hanya diberi waktu satu jam.
Saya berhenti menonton di titik ini, lalu kembali ke awal lantaran merasa ada yang terlewatkan. Dan memang benar. Video diberi judul ‘Kerangka Acuan Kerja Doorstop Wartawan di Kantor Wali Kota Medan’.
Alamakjang, apakah pembuat video –siapapun mereka– tidak memahami pengertian ‘doorstop’?
Doorstop, atau sering juga disebut Door Stop (penulisan dipisah) adalah teknik wawancara dengan cara “mencegat” narasumber usai yang bersangkutan menghadiri satu acara –secara harfiah di pintu atau di depan tempat acara berlangsung. Lantaran sifatnya yang mendadak, spontan, jawaban-jawaban yang diberikan oleh narasumber pada umumnya juga jawaban-jawaban yang mengalir, bukan jawaban yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Nah, mengacu pada pengertian ini, dan membandingkannya dengan apa yang dipapar dalam video, maka boleh ditarik kesimpulan bahwa pembuat video –siapapun mereka– telah keliru memahami. Tata cara yang mereka kedepankan bukanlah untuk doorstop, melainkan untuk wawancara yang terencana. Wawancara di mana pihak yang diwawancara dapat mengatur atau mempersiapkan jawaban atas pertanyaan yang diajukan (yang jangan-jangan sudah diatur dan dipersiapkan pula sedemikian rupa).
Itu yang pertama. Kemudian saya melanjutkan menonton, dan mendapati keanehan lain. Wawancara yang satu jam ini cuma bisa dilakukan di hari Senin sampai Jumat. Hari kerja ASN dan para pegawai honorer di balai kota. Keliru? Tidak, tentu tentunya. Karena video ini diberi judul ‘Kerangka Acuan Kerja Doorstop Wartawan di Kantor Wali Kota Medan’.
Iya, di Kantor Wali Kota Medan, bukan di tempat lain. Akan tetapi, dari video ini, setidaknya kita bisa menaruh curiga bahwa Bapak Wali Kota memang punya hari dan jam kerja. Padahal, sebagai pelayan publik seorang walikota, sebagaimana juga lurah, camat, bupati, gubernur, dan presiden, tidak punya jam kerja. Mereka bekerja sepanjang pekan 24 jam per-hari.
Tidak tidur, dong, kalau begitu? Memangnya mereka manusia super? Iya, tidak begitu juga. Tidak punya hari dan jam kerja di sini hanya pengistilahan. Konkretnya, seorang pejabat publik mesti menyediakan waktunya kapan pun dan di mana pun. Mereka tidak bisa memberi alasan semacam “sudah tidak di jam kerja” tatkala ada warga yang datang untuk mengadukan atau mempertanyakan persoalan yang dihadapi.
Jadi begitulah, saudara-saudara. Usai menonton video ini, sebenarnya saya sudah merasa bahwa kata "Gedung Putih" tidak cocok disematkan ke Balai Kota Medan. Walau pun belum berlangsung, saya bisa memastikan, tak akan ada interaksi semenarik yang diampu Barrack Obama di sana. Pun tak akan ada yang seaduhai letupan-letupan dari Donald Trump.
Namun pada akhirnya saya tetap memakainya. Pertama karena kata itu kedengaran enak sekali di telinga saya. Kedua, memang ada seseorang yang diperlakukan (atau memperlakukan diri?) mirip presiden di sana.(t agus khaidir)