Jokowi tak Meneken UU KPK Hasil Revisi Dipertanyakan, Hakim MK: Tidak Ada Jawaban Pasti
Seorang Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda uji formil UU KPK hasil revisi
✓ Seorang Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda uji formil UU KPK hasil revisi
✓ Hakim Mahkamah Konstitusi pertanyakan sikap Jokowi yang tidak menandatangi UU KPK hasil revisi
TRIBUN-MEDAN.com -
Mahkamah Konstitusi (MK) memutus menolak permohonan uji formil UU KPK hasil revisi, UU 19 Tahun 2019 nomor registrasi 79/PUU-XVII/2019 yang diajukan para eks pimpinan lembaga antirasuah tersebut.
Namun seorang Anggota Hakim Mahkamah Konstitusi, Wahiduddin Adams memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).
Wahiduddin menyinggung sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tak kunjung menandatangani UU KPK hasil revisi tersebut.
Padahal pembentuk UU, yakni DPR dan Presiden sebelumnya telah sepakat merevisinya.
Jokowi tak meneken UU KPK tersebut dan membiarkannya otomatis menjadi undang - undang, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 20 ayat (5) UU 1945 yang menyatakan rancangan undang - undang yang telah disetujui bersama otomatis sah menjadi undang - undang jika dalam kurun waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden.
Baca juga: HASIL LIGA CHAMPIONS: Manchester City Menang 2-0, di Final Lawan Pemenang Chelsea vs Real Madrid
"Tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU a quo, sehingga pengesahan UU a quo didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945," kata Wahiduddin dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (4/5/2021).
Ia menyinggung sikap Jokowi atas UU KPK dengan sikapnya untuk peraturan lain. Pasalnya saat Jokowi tak kunjung meneken UU KPK hasil revisi, tapi di sisi lain ia menetapkan secara segera sejumlah peraturan pelaksana UU 19/2019 tersebut.
Padahal jika tak meneken UU KPK hasil revisi, maka umumnya presiden juga memerlukan waktu yang tidak segera untuk memetapkan peraturan pelaksana atas UU tersebut.
"Hal ini sangat jauh berbeda dengan praktik dan konteks beberapa UU sebelumnya yang pengesahannya juga tidak dalam bentuk tanda tangan Presiden. Di mana pada umumnya Presiden masih memerlukan waktu yang tidak secara segera menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari suatu UU yang tidak ditandatanganinya," jelas dia.
Diketahui, presiden maupun kuasanya tak mampu memberikan penjelasan atas pertanyaan tersebut, bahkan sampai putusan akhir dibacakan.
Sehingga Wahiduddin meyakini UU KPK hasil revisi memang tidak sempurna, memiliki kekurangan, dan menimbulkan kecurigaan sebagaimana pernyataan ahli presiden yang diajukan dalam sidang gugatan ini, Maruarar Siahaan.
"Terhadap fakta ini telah beberapa kali kami minta penjelasan resmi dari kuasa presiden, namun hingga akhir persidangan, hal ini sama sekali tidak diberikan penjelasan," ujarnya.
Terkait Penyadapan tak Perlu Izin Dewas
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, khususnya terkait ketentuan soal izin penyadapan dan penggeledahan.
Gugatan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 ini dimohonkan oleh Fathul Wahid, Abdul Jamil, Eko Riyadi, Ari Wibowo, Mahrus Ali, dan merupakan satu dari total tujuh permohonan yang diterima MK terkait pengujian UU KPK.
"Dalam pengujian materiil, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," terang Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman membaca amar putusan di Gedung MK, Selasa (4/5/2021).
Baca juga: REAKSI Prabowo Subianto terkait Hasil Survei Capres 2024, Gerindra Belum Pernah Bahas, Tapi Terbuka
Dalam permohonan ini, pemohon mengajukan gugatan formil dan gugatan materiil terhadap beberapa pasal dalam UU KPK, yakni Pasal 1 angka 3, Pasal 3, Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 24, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40, Pasal 45A ayat (3) huruf a, dan Pasal 47 ayat (1).
MK menyatakan tindakan penyadapan yang dilakukan pimpinan KPK tidak memerlukan izin dari Dewan Pengawas (Dewas), namun cukup memberitahukan kepada Dewas.
Baca juga: SETELAH INDIA, Bangladesh Laporkan Lonjakan1.914 Kasus Baru Covid-19, 61 Orang Meninggal
Sehingga dengan tidak diperlukan lagi izin penyadapan oleh KPK dari Dewas sebagaimana norma Pasal 12B ayat (1) UU19/2019, maka ketentuan tersebut harus dinyatakan inkonstitusional.
Sebagai konsekuensi yuridisnya norma Pasal 12B ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU tidak relevan lagi untuk dipertahankan dan juga harus dinyatakan inkonstitusional.
MK mengubah Pasal 12 ayat (1) yang semula berbunyi "Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan keapda pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak penyadapat selesai dilaksanakan."
Menjadi selengkapnya berbunyi "Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dan diberitahukan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak penyadapan selesai dilaksanakan".
MK menyebut, sebagai konsekuensi yurudis Dewas tidak dapat mencampuri kewenangan yudisial atau pro justitia, sehingga frasa yang berbunyi "dipertanggungjawabkan kepada Dewan Pengawas" dalam Pasal 12C ayat (2) dinyatakan inkonstitusional.
Terkait dalil soal penggeledahan dan/atau penyitaan harus seizin Dewas sebagaimana diatur Pasal 47 ayat (1), Mahkamah berpendapat tindakan penggeledahan dan/atau penyitaan oleh KPK juga bagian dari pro justitia.
Sementara Dewas bukan merupakan unsur aparat penegak hukum.
Sehingga Mahkamah menilai permintaan izin ke Dewas menjadi tidak tepat.
Baca juga: KEBAKARAN di Jalan Brigjen Zein Hamid Medan Dini Hari Tadi| Toko Perabot Terbakar, Petugas Kesulitan
Oleh karena itu, Mahkamah mengatakan KPK cukup melakukan pemberitahuan kepada Dewas.
Poin berikutnya, guna menghindari penyalahgunaan wewenang terkait penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan KPK yang dikaitkan dengan fungsi pengawasan Dewas, Mahkamah menyatakan KPK memberitahukan kepada Dewas paling lambat 14 hari kerja sejak penyadapan dilakukan.
Sedangkan penggeledahan atau penyitaan, diberitahukan kepada Dewas paling lama 14 hari kerja sejak selesainya kegiatan penggeledahan atau penyitaan.
"Sedangkan terkait dengan penyitaan, atas dasar dugaan yang kuat adanya bukti permulaan yang cukup, KPK dapat melakukan penyitaan tanpa izin ketua pengadilan negeri," ujar anggota hakim konstitusi, Enny Nurbaningsih.
MK juga mengubah bunyi Pasal 40 ayat (1) UU 19/2019 yang semula berbunyi "Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikannya dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun",
Menjadi selengkapnya berbunyi "Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikannya dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)."
MK turut mengubah bunyi Pasal 47 ayat (1) yang semula berbunyi "Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas."
Menjadi selengkapnya berbunyi "Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas."
MK memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
• SETELAH INDIA, Bangladesh Laporkan Lonjakan1.914 Kasus Baru Covid-19, 61 Orang Meninggal
Baca juga: LIVE SCORE Hasil Liga Champions Manchester City vs PSG, Gol Riyad Mahrez di Menit ke-11| LINK LIVE
Baca juga: KEBAKARAN di Jalan Brigjen Zein Hamid Medan Dini Hari Tadi| Toko Perabot Terbakar, Petugas Kesulitan
Tribunnews.com/Danang Triatmojo
Jokowi tak Meneken UU KPK Hasil Revisi Dipertanyakan, Hakim MK: Tidak Ada Jawaban Pasti