PWT Simanjuntak Tutup Usia
HKBP Berduka, SAE Nababan dan PWT Simanjuntak Sempat Konflik Perebutan Jabatan Ephorus
Ephorus HKBP Periode 1993-1998 Pdt PWT Simanjuntak meninggal dunia di RS Cikini Jakarta, Minggu (30/5/2021) pukul 06.03 WIB
Penulis: Hendrik Naipospos | Editor: Hendrik Naipospos
HKBP memiliki dua pucuk pimpinan pada periode 1993 hingga 1998.
Keduanya pernah terlibat konflik di masa-masa tersebut.
Disadur dari buku tulisan Bungaran Antonius Simanjuntak dalam judul 'Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba' Terbitan Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009, dijelaskan bagaimanan konlik perebutan kekuasaan di HKBP terjadi pada era SAE Nababan.
"Terdapat preseden bahwa jabatan sekretaris jenderal (sekjen) merupakan jalur strategis untuk mencapai jabatan puncak Ephorus setelah keberhasilan mantan sekjen Ds T Sihombing dan Ds GHM Siahaan.
Karena itu Ds PM Sihombing sebagai sekjen mempersiapkan diri dengan membina para pendeta. Di luar gereja pusat dan daerah,” demikian ditulis Bungaran.
Untuk memenangkan pemilihan ephorus, terjadi negosiasi rahasia tiga tokoh di Hotel Polonia Medan awal 1987 antara Ds PM Sihombing, Rajagukguk SH, dan SAE Nababan. Diputuskan bahwa Sihombing jadi Ephorus di HKBP, SAE Nababan ketua PGI (Persatuan Gereja-Gereja Indonesia).
Ternyata SAE Nababan turut dicalonkan dalam pemilihan Ephorus HKBP tahun 1987 dan menang.
Alhasil, Sihombing menuduh Nababan mengkhianati kesepakatan di Hotel Polonia dan melakukan perlawanan melalui kelompok par-retreat.
Pergolakan semakin besar setelah mahasiswa dan dosen simpatisan par-ritrit di Universitas HKBP Nommensen melakukan unjuk rasa dan menuntut SAE Nababan turun dari jabatan Ephorus.
Pembakaran laboratorium sebagai rangkaian aksi unjuk rasa tidak berhasil diusut tuntas pihak kepolisian.
Berbagai kelompok formal dan informal turut mencampuri konflik internal HKBP, antara lain Tim Damai di bawah pimpinan Jenderal (Purn) Maraden Panggabean (Ketua DPA waktu itu), perusahaan PT Inti Indo Rayon yang mendukung mantan sekjen PM Sihombing.
Berbagai forum yang tumbuh dari kalangan warga dan sintua, serta pemerintah melalui Gubernur dan ketua Bakorstanasda/Panglima Kodam I Bukit Barisan.
Konflik yang pada mulanya hanya terjadi di antara pendeta dan pengurus pusat HKBP, menjalar ke kalangan jemaat secara terbuka setelah campur tangan rezim Orde Baru.
Ketua Bakorstanasda Sumbagut Mayjen Pramono mengangkat Pendeta Dr SM Siahaan menjadi penjabat Ephorus, dengan tugas utama mengakhiri kemelut HKBP.
Akibat keputusan itu, ribuan warga HKBP melakukan penolakan dengan demonstrasi ke kantor Gubernur, DPRD, dan markas Kodam I/BB.