Sejarah Masyarakat Aceh Di Medan, Dimulai Sejak Abad 16, Kini Merajai Warung Mie Aceh
Sejarawan muda asal Medan, M. Azis Rizky Lubis mengatakan, ekspansi orang-orang Aceh dimulai pada abad ke 16 hingga ke 17 atau sekitar tahun 1612.
Penulis: Fredy Santoso | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Sampai detik ini warung-warung makan ataupun warung kopi kepunyaan orang yang berasal dari Aceh menguasai pasar di Kota Medan.
Bahkan, kalaupun dihitung menggunakan tangan tak akan mampu menjamah semuanya.
Dari di inti kota, pinggiran sampai nyaris ke pelosok hampir dengan mudah kita temukan warkop-warkop Aceh.
Di Medan misalnya, warkop Aceh terpusat di Multatuli lalu di Jalan Halat Medan.
Sepanjang jalan itu banyak kita temukan warung-warung dengan meja-meja memanjang berpasangan dengan kursi dari papan panjang juga serta warung yang dihiasi dengan lampu terang benderang dan taplak meja warna mencolok.
Ternyata berkuasanya orang-orang asal Aceh dalam segi kuliner maupun perdagangan di Medan, Sumatera Utara bukan tanpa alasan.
Dalam hal ini, kakek buyut mereka turut berperan membangun kekuasaan.
Sejarawan muda asal Medan, M. Azis Rizky Lubis mengatakan, ekspansi orang-orang Aceh dimulai pada abad ke 16 hingga ke 17 atau sekitar tahun 1612.
Baca juga: Terkuak, Maia Estianty Akui Lagi Tunggu Istri Ahmad Dhani Mulan Jameela Lakukan Ini, Ada Apa?
Saat itu kesultanan Aceh Darussalam mengirimkan seorang panglimanya bernama Sri Paduka Tuanku Gocah Pahlawan, untuk memimpin serdadunya dari Aceh untuk menguasai kota-kota di sepanjang Pantai Timur Sumatera.
Atas keberhasilannya menguasai wilayah pantai Sumatera Timur ia pun diberikan kewenangan untuk menjadi pimpinan kesultanan Aceh Darussalam di Pantai Sumatera Timur lalu diangkat menjadi Sultan Deli pertama yang dikukuhkan oleh empat datuk.
Pada saat itulah orang-orang Aceh mulai berdatangan dan berniaga di Medan, Sumatera Utara.
"Sampai mereka ke wilayah Sumatera Timur dan berkuasa di sini. Bahkan awal kesultanan Deli itu juga merupakan bagian dari panglima Aceh. Awal dari kesultanan Deli, raja pertama kesultanan Deli itu merupakan bagian panglima dari kerajaan Aceh.
Dikirim la Sri Paduka Gocap Pahlawan oleh kerajaan Aceh untuk menjadi perwakilan dari kerajaan Aceh disini," kata Sejarawan muda asal Medan, M Aziz Rizky Lubis. Rabu (30/6/2021).
"Kemudian diangkat la dia oleh empat kedatukan yang ada di Sumatera Timur. Karena kesultanan Deli belum ada ketika itu. Gocap Pahlawan. Panglima yang dikirim oleh Aceh untuk menginvasi wilayah ini dan jadilah dia sultan disini."
Baca juga: Terkuak, Maia Estianty Akui Lagi Tunggu Istri Ahmad Dhani Mulan Jameela Lakukan Ini, Ada Apa?
Saat itu orang-orang Aceh yang gemar berdagang terus berdatangan bahkan hingga kini.
Meski demikian, perkembangan pendatang asal Aceh saat ini lebih banyak ke dua sektor yakni, warung kopi ataupun kedai sembako.
Disini mereka mampu merajai dua bisnis tersebut.
Akan tetapi bisnis kuliner yang mereka bangun sedikit mengalami pergeseran.
Aziz menyebutkan kalau citarasa makanan khas Aceh yang dibawa ke Medan ada modifikasi rasa dimana mereka menyesuaikan dengan lidah orang Sumatera Utara yang cenderung menyukai rasa pedas.
Sehingga tak heran kalau seandainya kita makan mie goreng Aceh yang ada di Medan dengan di tanah serambi Mekah rasanya berbeda.
Hal itulah yang membuat mereka mampu ekspansi besar-besaran dan bertahan di Medan dan sekitarnya melalui sisi kuliner.
Baca juga: Kisah Cinta Vira Yuniar, Dulu Ceraikan Tengku Ryan Masalah Ekonomi, Rujuk Lagi Karena Masih Sayang
"Saya kira ada adaptasi di situ. Pertama adaptasi rasa, mengapa dikatakan adaptasi rasa misalkan kita pergi ke Aceh sendiri makan mie goreng yaitu mie khas Aceh tentu rasanya berbeda dengan mie Aceh yang kita konsumsi di sini.
Misalnya tingkat kepedasan atau rasa asin sehingga dapat menyesuaikan dengan lidah oleh orang-orang Sumatera Utara."
"Makanya mereka dapat bertahan. Kalau tidak beradaptasi dan menyesuaikan biasanya kan tidak akan berkembang usaha yang mereka lakukan."
Kedatangan orang-orang Aceh inipun bukan sekedar menjajakan makanan.
Sampai sekarang inipun mereka sudah merambah bisnis yang lebih besar. Apalagi belakangan popularitas kopi sedang meriah-meriahnya.
Disini bahkan mereka menjadi pelopor dengan kopi khas Aceh Gayo yang cara pengelolaannya menggunakan saringan berwarna cokelat kehitaman yang menjadi ciri khasnya.
Tentunya dalam hal memperkenalkan kopinya mereka seperti membedakan dengan warung makan Mie Aceh.
Disini bangunan tempat berdagang mereka lebih permanen dengan susunan kreamer tersusun rapi bertingkat.
Baca juga: Julius Raja Mengapresiasi Keputusan Satgas Covid-19 Pusat Tentang Penundaan Liga
"Sama halnya dengan orang Minang yang banyak membuka rumah makan. Begitu seolah-olah kayak ada bagiannya masing-masing.
Kalau orang Minang dia jual nasi padang kalau orang Aceh dia khusus Warkop, karena akan sumber daya mereka mendukung salah satunya yaitu kopi.
Karena kan di warkop warkop Aceh itu kan tidak hanya menyajikan yang namanya mie aceh, tetapi mereka juga memperkenalkan salah satu produk mereka yakni kopi," ucapnya.
Lanjut Aziz, cara berdagang orang Aceh ini cukup unik. Mereka tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan. Untung sedikit yang penting orang kembali membeli produk mereka.
Seperti yang dilakukan para pedagang sembako yang ada di Medan. Hampir seluruhnya dikuasai oleh dua etnis, Tionghoa dan Aceh.
Disini peran orang Aceh dalam perdagangan sembako mampu bersaing dengan orang-orang etnis Tionghoa yang biasanya mendominasi.
Baca juga: Perubahannya Tubuhnya Nyata, Ternyata Ini yang Dikonsumsi Aurel Hermansyah Setiap Pagi
Mereka sama-sama memiliki prinsip dagang yang sama.
Bahkan, saking terkenalnya orang-orang di Medan kalau menyebutkan toko kelontong atau sembako dengan julukan 'Kedai Aceh'.
"Tetapi kalau kita lihat banyak juga mereka yang berbisnis dengan menjual bahan-bahan sembako. Jadi mereka tidak hanya merambah ke bisnis kuliner tetapi perdagangan sembako. Dia juga masuk ke dalam situ jadi banyak orang Aceh," katanya bercerita.
"Bahkan mereka itu untuk bisa bersaing dengan orang-orang Tionghoa yang membuka kedai kedai sembako yang serupa. Karena saya lihat sistem mereka itu mirip dengan orang-orang Tionghoa. ketika berdagang jadi tidak perlu untung banyak cukup sedikit saja yang penting mutar modalnya."
Hingga kini diperkirakan orang-orang asal Aceh akan terus berdatangan.
Entah untuk menimba ilmu atau untuk membuka usaha.
Apalagi sampai kini apa yang mereka perdagangkan diterima oleh masyarakat Sumatera Utara, khususnya Medan.
Baca juga: 4 Rekomendasi Tempat Nongkrong di Berastagi, Ada yang Usung Konsep Outdoor
"Yang namanya aktivitas ekonomi kan yang namanya permintaan pasar itu semakin banyak maka harus banyak mensuplai barang kan gitu sekarang ditimbulkan dari masyarakat atau respon masyarakat itu sangat baik saya yakin mereka akan tetap berkembang."
"Pasti mereka datang dari mulai perdagangan tempat makan baik itu kafe, yang menyajikan kopi atau mie Aceh atau yang menjual sembako."
(cr25/tribun-medan.com)