KEBERANIAN Letkol Untung Syamsuri, Dapat Bintang Sakti| Temui Soeharto sebelum Habisi Jenderal

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan peristiwa sejarah G30S/PKI terjadi pada 56 tahun yang lalu.

Editor: Salomo Tarigan
DOK PEMERINTAH RI/YOUTUBE/KOLASE TRIBUNWOW.COM
Foto Penangkapan Letkol Untung Syamsuri dan Mayjen Soeharto saat di lubang buaya 

TRIBUN-MEDAN.com - Peristiwa G30S/PKI menjadi kenangan yang tak terlupakan bagi masyarakat Indonesia.

Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan peristiwa sejarah G30S/PKI terjadi pada 56 tahun yang lalu.

Meski begitu, sejarah terkait G30S/PKI masih ramai dibahas hingga sekarang.

Terlebih pada aktor-aktor yang terlibat dalam peristiwa tersebut.

Salah satunya yakni Letkol Untung Syamsuri.

Baca juga: INSIDEN MENGERIKAN Wanita Ini Terekam Jatuh dalam Kolam Hiu akibat Kecerobohan Karyawan, Videonya

Baca juga: TAJIR Melintir dengan Rumah Mewah, Artis BCL Kepergok Tidur dengan Bantal Sederhana Rp 9 Jutaan

Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer
Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer (Wikipedia)

Prajurit TNI ini sempat menjadi kebanggaan di zamannya.

Sayang, kebanggaan itu harus punah seketika saat mengetahui dialah dalang dari pembunuhan sadis.

Karena Letkol Untung Syamsuri ini merupakan pemimpin G30S/PKI.

Baca juga: BERITA PAPUA Jelang PON XX, Kapolri Listyo Sigit Prabowo Pastikan Pengamanan Ring 1 hingga Ring 4

Baca juga: CURHAT Ahmad Dhani Hidupi 5 Janda, Anaknya Dul Tanggung Seorang Janda, Kini Bicara Kondisi Ekonomi

Lantas bagaimana potret Letkol Untung Syamsuri pemimpin G30S/PKI? berikut ulasannya.

Sebelum masuk dalam potret dan gambaran sosok Pempimin G30S/PKI, berikut sosok Letkol Untung Syamsuri yang pernah jadi kebanggan bangsa.

Melansir dari akun Instagram revolusi_bangsa1965, Letkol Untung Syamsuri yang saat itu masih Mayor sempat menjadi kebanggaan bangsa.

Hal ini atas keberaniannya dalam operasi penumpasan pasukan TNI di Irian Barat.

Baca juga: Kapolri Listyo Sigit Berniat Tarik Eks 56 Pegawai KPK, Guru Besar UGM: Kapolri Akui TWK tak Relevan

Dia dinilai begitu luar biasa berani.

Atas keberaniannya itu, Letkol Untung Syamsuri mendapatkan bintang sakti.

Penghargaan itu diberikan oleh Presiden Soekarno.

Tidak sendiri, Letkol Untung juga bersama ratusan prajurit TNI, Polri hingga sukarelawan Irian Barat.

Dihukum Mati

Melihat tindakannya yang banyak menghabiskan nyawa di pristiwa G30SPKI, Letkol Untung Syamsuri dijatuhi hukuman mati.

Ini juga berdasarkan keputusan dari Mahmilub pada tahun 1966 lalu.

Dia juga dipecat dari TNI AD sejak tanggal 30 September 1965.

Sosok Pelaku G30S/PKI

Pada sebuah film dokumenter yang dirilis oleh sebuah stasiun televisi asal Amerika Serikat, ditampilkan sejumlah tokoh-tokoh PKI yang bertanggung jawab atas tragedi pemberontakan tersebut.

Lewat film dokumenter garapan National Broadcasting Company (NBC) itu nampak Subandrio dituduh melakukan pengkhianatan dan konspirasi.

Video tersebut diunggah oleh akun twitter @Aiek_Channel, Minggu (27/9/2020).

Subandrio Membantah

Soebandrio sendiri merupakan Menteri Luar Negeri Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soekarno saat itu.

Ia dituding membantu jutaan anggota PKI untuk melakukan pemberontakan termasuk membunuh sejumlah petinggi militer Indonesia.

Soebandrio juga disebut menjadi tokoh yang menghubungkan Peking (Tiongkok) dengan Indonesia.

Serta melakukan pencurian dana dari Amerika Serikat.

Baca juga: TERBONGKAR dari Melaney Ricardo,Hotman Paris yang Dijuluki Pengacara 30 M Bawa Barang Murah di Mobil

Pada video tersebut, nampak Soebandrio membantah semua tuduhan yang disangkakan kepadanya.

Selain Soebandrio, dokumenter tersebut juga menampilkan ex Kapten Suradi Prawiromihardjo yang dituding ikut merencanakan kudeta bersama PKI.

Lalu ditampilkan juga Kolonel Latief yang merupakan tahanan politik peristiwa G30S/PKI.

Selanjutnya, disorot juga wajah seseorang yang disebutkan dalam video tersebut sebagai pelaku pembunuhan Jenderal S. Parman, dan pelaku penembakan Jenderal Ahmad Yani.

HP VIVO TERKINI Spesifikasi Vivo Y53s, RAM Bisa Diperluas Jadi 11 GB| Spesifikasi Lengkap Vivo Y53s

Alasan Kapolri Rekrut 57 Eks Pegawai KPK Jadi ASN, Rekam Jejak Novel Baswedan Cs Tak Diragukan

Untung dan Abdul Latief Temui Soeharto sebelum Culik Jenderal

Eks anggota Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa memberikan pengakuan mengejutkan soal sejarah kelam pembantaian tujuh jenderal yang disebut Dewan Jenderal pada 30 September 1965.

Hingga sekarang setelah 56 tahun Gerakan 30 September 1965, banyak pihak yang masih mempertanyakan siapa dalang penculikan dan pembantaian tujuh jenderal dan dikuburkan dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta.

Setelah pembantaian tujuh jenderal yang dikenal sebagai Pahlawan Revolusi,  setidaknya 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dieksekusi massal di berbagai penjuru Indonesia.

Ada juga yang dipenjara dan diasingkan sebagai tahanan politik selama puluhan tahun tanpa pernah diadili sebagaimana layaknya warga negara. 

Satu saksi hidup yang mengetahui secara rinci kronologi peristiwa Gerakan 30 September adalah Ishak Bahar (87), warga Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.

Profil Mayjen D.I Panjaitan, Jenderal Berprestasi yang Gugur saat G30S PKI 1965.
Profil Mayjen D.I Panjaitan, Jenderal Berprestasi yang Gugur saat G30S PKI 1965. (dok. Repro/Historia.id)

Ishak Bahar bertugas sebagai Komandan Regu Pengawal Istana Batalion Cakrabirawa dengan pangkat Sersan Mayor (serma) saat peristiwa G30S.

“Saya pendidikan di Komando Pasukan Khusus (RPKAD/Kopassus) terus bertugas di pengawal Istana tahun 1964. Waktu Soekarno pidato di Konferensi Asia Afrika, saya yang mengawal presiden ke Aljazair,” kata Ishak saat berbincang di rumahnya, Rabu (29/9/2021).

Ishak Bahar mengungkapkan, keterlibatan dirinya dalam tragedi G30S adalah hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Ishak Bahar (87), eks Pasukan Batalyon Cakrabirawa yang saat ini bermukim di Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Ishak Bahar (87), eks Pasukan Batalyon Cakrabirawa yang saat ini bermukim di Kelurahan Kalikabong, Kecamatan Kalimanah, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. (KOMPAS.COM/M Iqbal Fahmi)

Ishak Bahar merasa terjebak dalam pusaran politik yang menjungkirbalikkan nasibnya dari seorang patriot yang terhormat menjadi pesakitan berlabel pengkhianat negara.

Masih jelas di ingatan, saat Letkol Untung, pimpinan Ishak di Batalion Cakrabirawa memberi perintah untuk ikut bersamanya. Padahal, sore itu juga, Ishak ada jadwal mengawal presiden ke Senayan.

“Sore itu sekitar jam 18.00 WIB, saya ada tugas untuk mengawal Soekarno ke Mabes Teknisi di Senayan, tahu-tahu Pak Untung datang minta saya ikut dia,” katanya.

Saat itu Ishak Bahar sempat bertanya kepada Untung karena perintah untuk mendampingi bertepatan dengan tugas mengawal presiden. Namun, sebagai prajurit, dia terikat oleh sumpah militer untuk patuh kepada pimpinan, tidak membantah perintah atau putusan.

“Sudah jangan mengawal (presiden), ikut saya!” kata Ishak menirukan perintah Untung. Dengan persenjataan lengkap, Ishak mengawal dalam satu kendaraan bersama Letkol Untung, Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), sopir dan ajudan.

“Saya tidak dikasih tahu tujuannya ke mana, tahu-tahu mampir ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) untuk menemui Soeharto yang sedang menjaga anaknya, Hutomo Mandala Putra (Tomy) yang lagi sakit,” beber Ishak.

Ishak Bahar sendiri tidak ikut masuk ke dalam kamar di mana Tomy dirawat. Namun, di perjalanan dia menguping jika Untung dan Abdul Latief sudah mendapat izin Soeharto untuk sebuah misi yang baru dia sadari sesudahnya.

“Baik Pak Untung dan Pak Latief itu pamitan dengan Suharto mau nyulik jenderal,” katanya dengan mantap.

Sesampainya di Lubang Buaya, Ishak diperintahkan untuk bersiaga di sebuah rumah pondok. Menjelang tengah malam, pasukan Batalion Cakrabirawa yang lain datang berduyun-duyun.

“Saya kaget malah, pasukan-pasukan datang, ya anggota Cakrabirawa, teman-teman saya. Tahu-tahu dibagi regu untuk menculik jenderal. Saya tidak (menculik), saya ngawal Untung di Lubang Buaya,” ujar Ishak Bahar.

Masuk 1 Oktober pukul 01.00 WIB, satu per satu regu bergerak untuk menculik Dewan Jenderal.

Pukul 03.00 WIB, para jenderal datang silih berganti. Ishak menuturkan, tidak semua jenderal yang dibawa oleh prajurit Cakrabirawa dalam keadaan hidup.

“Jenderal Yani (Letjen Ahmad Yani), Panjaitan (Brigjen D.I. Panjaitan), Haryono (Mayjen Harjono) mati, dan Toyo (Brigjen Sutoyo) sudah meninggal. Yang hidup hanya tiga, Jenderal Prapto (Mayjen R. Soeprapto), Jenderal Parman (Mayjen S. Parman) dan Tendean (Lettu Pirre Tandean). Jenderal Nasution enggak ada,” kata Ishak.

Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer
Letkol Untung Sutopo bin Syamsuri, tokoh kunci Gerakan 30 September 1965 adalah salah satu lulusan terbaik Akademi Militer (Wikipedia)

“Saya kaget, saya panik malah, kok ada begini, ada apa,” sambungnya. Karena kepanikan itu, para jenderal yang diculik, baik masih hidup atau sudah meninggal dijebloskan ke dalam sebuah sumur tua. Tubuh mereka dilempar lalu ditembak dari atas secara membabi-buta.

“Saya menyaksikan langsung dengan satu polisi namanya Soekitman. Awalnya, Soekitman ini suruh dibunuh, tapi saya tahan, saya lindungi, saya bilang kamu tidak tahu apa-apa,” kata Ishak sambil memperagakan detik-detik penembakan.

Kelak, Soekitman yang diselamatkan Ishak ini menjadi saksi kunci bagaimana kebiadaban para tentara Cakrabirawa membantai Dewan Jenderal.

Dia pula yang menunjukkan lokasi jasad Dewan Jenderal dibenamkan dalam sumur tua lalu diuruk dan ditanam pohon pisang. Ishak mengungkapkan, peristiwa pembantaian itu berlangsung sangat cepat.

Bahkan, sampai detik terakhir penembakan jenderal, dia masih belum percaya apa yang terjadi di depan matanya adalah nyata.

“Saya hanya sedikit tahu kalau Dewan Jenderal ini mau menggulingkan Pak Karno, sebagai pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa berkewajiban menggagalkan itu,” terangnya.

Ilustrasi Soeharto saat pecahnya G30s PKI
Ilustrasi Soeharto saat pecahnya G30s PKI (istimewa)

Ishak Bahar mulai sadar, bahwa dirinya sudah terjebak masuk dalam pusaran gejolak politik yang maha dahsyat. Meski demikian, Ishak belum sepenuhnya paham skenario seperti apa yang akan menjeratnya setelah itu.

“Setelah itu lalu bubar, saya enggak tahu (Untung dan Latief) pada ke mana, saya ditinggal dengan pasukan-pasukan yang lain. Saya pulang sendiri dengan pembawa truk, sopir dan Soekitman itu tadi,” katanya.

Sesampainya di markas Cakrabirawa, tidak berselang lama datang pasukan tentara berpita putih. Ishak Bahar dilucuti dan langsung dijebloskan ke penjara tanpa dimintai keterangan apa pun.

“Saya ditahan belasan tahun tanpa pakai persidangan apa-apa, hanya sekali dimintai keterangan jadi saksinya Untung,” ujarnya. Selama 14 hari, Ishak ditahan di LP Cipinang.

Di sinilah neraka dunia yang dirasakan bagi pasukan Cakrabirawa yang tertangkap, tidak terkecuali Ishak.

“Saya diberi makan jagung rebus saja, tapi tidak pakai piring, langsung disebar di lantai, dituturi (dipunguti) satu-satu.”

Selain itu, siksaan yang dialami selama di Cipinang juga tak bisa diceritakan dengan rinci oleh Ishak Bahar.

Dari sorot mata dan mimik muka, Ishak Bahar tampak masih menyimpan trauma akan penyiksaan saat proses interogasi di sana.

“Saya disuruh mengaku anggota ini, anggota itu, saya jawab enggak ngerti anggota, enggak ngerti partai, enggak ngerti apa-apa, gole (petugas) mukuli semaunya,” ungkapnya.

Setelah 14 hari, Ishak dan sejumlah anggota Cakrabirawa dipindah ke Salemba.

Di sana Ishak Bahar menghabiskan 13 tahun lamanya dalam jeruji besi tanpa pernah mendapat peradilan yang layak.

“Banyak yang mati karena makanan ngga cukup, banyak juga yang mati karena disiksa. Temen-temen saya (Cakrabirawa) sudah habis, di sel banyak yang mati, dibebaskan apalagi, sudah,” kata Ishak.

Belasan tahun Ishak menempati sel berukuran 4x1 meter bersama empat rekannya. Hingga akhirnya, Ishak dibebaskan pada 28 Juli 1977 berbarengan dengan ratusan ribu tahanan politik yang lain.

Sepulangnya dari hukuman, Ishak masih harus dihadapkan dengan stigma masyarakat. Terlebih Ishak merupakan keluarga terhormat, putra dari seorang ulama dan pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren.

“Masyarakat tahunya saya militer, ya pada heran kenapa Pak Ishak itu anak ulama sampai ditahan di situ sebabnya apa, wong saya jebolan pondok pesantren. Jadi saya ditahan karena PKI, orang ya heran, apa sebabnya,” katanya.

Seperti eks tapol yang lain, sulit bagi Ishak mencari pekerjaan yang layak di lembaga formal. Di masa awal dia menghirup udara bebas, Ishak Bahar rela bekerja serabutan untuk bertahan hidup.

“Umur saya baru 40-an lah waktu itu, kerja jadi buruh mencangkul, buruh menek kelapa, jual ayam, jual sayuran, jual dedak, dipikul,” katanya.

Di akhir perbincangan, kepala Ishak tertunduk, mengenang peristiwa yang telah dia alami seumur hidupnya.

Sampai saat ini setiap kepingan memori tentang peristiwa malam 30 September masih lekat di kepalanya.

Mulai dari kali pertama bertugas sebagai pengawal presiden, wajah rekan-rekan di Cakrabirawa, hingga peristiwa G30S/PKI yang seperti mimpi buruk baginya.

“Kita-kita orang enggak tahu, militer si ya, orang militer kan enggak berpolitik, belajar politik saja enggak, jadi ngertinya karena PKI,” ungkapnya.

“Jadi bagi saya, kejadian itu (G30S) seperti kejadian kemarin, masih ingat semua, masih membayang. Saya baca bukunya Soeharto itu banyak, paling berat melanggar Hak Asasi Manusia (HAM),” pungkas Ishak.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kesaksian Eks Prajurit Cakrabirawa Saat G30S/PKI: Abdul Latief dan Untung Pamit ke Soeharto Sebelum Culik Dewan Jenderal" dan i Sripoku.com  

Baca Selanjutnya: Letkol untung syamsuri

Baca Selanjutnya: Soeharto

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved