Memanen Energi Bersih di Sei Mangkei, Arus Listrik Pun Kini Lebih Stabil
Pertamina dan PTPN III melakukan kerjasama pengembangan PLTBg dan PLTS di KEK Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun.
Penulis: Truly Okto Hasudungan Purba |
Anastasia menjelaskan, KEK Sei Mangkei memiliki luas lahan 1.933,8 hektar. Untuk saat ini sudah ada enam tenant yang aktif di KEK Sei Mangkei di luar pabrik milik PTPN III yakni Palm Kernel Oil (PKO). Tenant dan Pabrik PKO ini menggunakan keseluruhan listrik yang dihasilkan PLTBg dan PLTS.
Sumber EBT sebesar 30 persen di KEK Sei Mangkei, kata Anastasia ditargetkan akan tercapai pada tahun 2030. Sedangkan kapasitas PLTBg dan PLTS yang jumlah totalnya sebesar 4,4 MW masih setara dengan 5 persen sumber EBT. Untuk memenuhi kekurangan ini, pengelola KEK Sei Mangkei akan melakukan beberapa strategi yakni membangun pembangkit listrik EBT dari bahan biomassa tahun 2022 dengan kapasitas 15 MW. Selain itu, pengelola KEK Sei Mangkei juga akan menambah (mengupgrade) PLTS dari 2 MW menjadi 5 MW.
“Dengan startegi ini, tahun 2022 mendatang, kapasitas pembangkit listrik EBT di KEK Sei Mangkei sudah mencapai 20-an persen. Kami menargetkan, ketika kawasan ini penuh, proyeksi kapasitas EBT sekitar 270 MW,” katanya.
Anastasia menjamin, KEK Sei Mangkei memiliki potensi yang cukup untuk memanen EBT sebagai energi bersih. Mengingat luasnya yang tidak sedikit, pembangkit listrik EBT akan dibuat per kluster (wilayah). “Tidak mungkin membuat satu pembangkit listrik EBT dalam ukuran besar, Nantinya di setiap kluster tersebut, akan dibangun pembangkit listrik EBT,” katanya.
Anastasia mengaku, saat ini pemerintah sangat antusias terhadap pengembangan EBT. Berbagai regulasi dihadirkan agar pihak-pihak terkait semakin dimudahkan dalam mengembangkan dan menggunakan EBT. Selain itu, pemerintah juga didorong untuk memberikan insentif pajak karbon kepada industri yang menggunakan EBT.
“Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI sepakat menetapkan tarif pajak karbon paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e). Kalau pelaku industri yang menggunakan EBT mendapatkan insentif ini, tentu menjadi nilai plus (value added) dalam menjalankan usaha,” katanya.
Arus Listrik Lebih Stabil
ASISTEN Teknik Pabrik Palm Kernel Oil (PKO) PTPN III, Lucky Sianturi mengatakan, dalam operasionalnya, pabrik PKO sudah menggunakan listrik EBT sejak beroperasi tahun 2011 lalu. Awalnya masih menggunakan biomassa. Sedangkan biogas digunakan mulai tahun 2019.
Ditegaskan Lucky, dengan penggunaaan listrik EBT, pabrik PKO semakin memposisikan dirinya sebagai perusahaan yang benar-benar memanfaatkan EBT menjadi sumber listrik. “Dengan EBT, PKO pun sudah green zone,” kata Lucky.
Menurut Lucky, selain ikut mendukung program pemerintah dalam pencapaian bauran energi dan penurunan emisi karbon, manfaat yang dirasakan pabrik dengan penggunakaan listik EBT adalah stabilitas arus.
“Arus listrik di pabrik kini lebih stabil karena menggunakan listrik EBT meski pun digunakan saat arus puncak. Saat arus puncak atau ketika semua mesin dijalankan, beban listrik sekitar 3 MW. Tetapi ketika sudah normal, beban listrik menjadi sekitar 2 hingga 2,5 MW,” kata Lucky.
Lalu, berapa banyak penghematan yang didapat perusahaan ketika menggunakan EBT. Anastasia mengatakan, karena menggunakan bahan baku renewable berupa limbah yang sebenarnya tidak dimanfaatkan lagi, maka Harga Pokok Produksi (HPP) pasti akan berada di bawah HPP energi yang menggunakan bahan fosil.
“Pengurangannya sekitar 10 persen dari HPP. Tapi, ketika tenant (perusahaan) menggunakan EBT, selain hemat 10 persen, secara otomatis akan mendapatkan kompensasi pengurangan pajak karbon saat pajak karbon diberlakukan. Artinya banyak manfaat yang diterima,” katanya.
Jangan Hanya Insentif Pajak Karbon
PENGAMAT ekonomi dari Universitas Negeri Medan (Unimed) Armin Rahmansyah Nasution mengatakan, saat ini konsep industri negara-negara maju di dunia memang sudah mengedapankan energi bersih atau EBT. Dan industri tersebut mendapatkan insentif sebagai konsekuensi positif menggunakan EBT.
