Berita Sumut

Isu Edy-Ijeck Pecah Kongsi Semakin Nyata, Pengamat Politik Sebut Tak Hanya Fenomena di Sumut

Gubernur Sumut secara terang-terangan menyebutkan dirinya bersaing dengan Golkar saat meminta dukungan pada PKS

Tribun-Medan.com/Satia
Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi saat menghadiri acara penyambutan Musa Rajekshah yang baru saja terpilih menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Sumut periode 2020-2025, di Kantor Golkar, Jalan KH Wahid Hasyim, Kota Medan, Minggu (8/11/2020). 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Gubernur Sumut Edy Rahmayadi secara terang-terangan menyebutkan dirinya bersaing dengan Golkar saat meminta dukungan pada PKS dalam pembukaan Rakerwil PKS di Hotel Le Polonia Medan, Jumat (4/3/2022) malam.

Dalam kesempatan itu Edy menyebut dirinya membutuhkan dukungan PKS jika diberi kesempatan menjadi Gubernur Sumut kembali pada kontestasi Pilkada 2024 mendatang.

Pernyataan bersaing dengan Golkar pun disampaikan blak-blakan di depan Wakil Gubernur Sumatera Utara sekaligus Ketua DPD Golkar Sumut, Musa Rajekshah (Ijeck).

"Pastinya saya kepingin didoakan, jangan lupa pak Musa didoakan juga walaupun dia sekarang sudah Golkar. Saya yakin bersaing sama Golkar. Bohong kalau tidak, pura-pura saja itu," ujar Edy.

Menanggapi hal ini, Pengamat Politik asal Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan isu pecah kongsi (pekong) itu sejatinya tidak disebabkan karena keinginan Edy-Ijeck yang sama-sama ingin menjadi Gubernur pada Pilkada 2024.

Artinya, kata dia, bukan semata karena kuatnya keinginan Edy Rahmayadi maju kembali untuk periode kedua yang bertabrakan dengan hasrat Musa Rajekshah yang juga ingin maju sebagai cagubsu pada pilgub 2024 mendatang.

Juga bukan karena faktanya kini Ijeck sudah menjadi Ketua sebuah partai besar.

"Sejatinya bukan itu. Karena, dalam pandangan saya, semua tindakan anomali yang mengemuka, yang mengindikasikan pekong, dan menjadi konsumsi publik, itu hanyalah instrumental belaka yang menunjukkan bahwa rivalitas di antara mereka berdua sudah tak lagi terhindari karena prinsip-prinsip dasar tak lagi disepakati," kata Shohibul dalam keterangan tertulisnya menjawab tribun-medan.com, Sabtu (5/3/2022).

Menurut Shohibul, prinsip dasar yang tidak lagi disepakati itu adalah soal aktualisasi otoritas yang sebetulnya sudah diatur rinci oleh Undang-Undang.

Hal ini termasuk apa tugas kepala daerah dan wakil kepala daerah.

"Wakil itu, dalam sistem demokrasi yang dikenal, tak ubahnya ban serap," tuturnya.

Namun, Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU inipun mengaku bahwa dalam praktiknya, UU yang mengatur hal tersebut tak selalu berjalan sebagaimana mestinya atau yang ia sebut "tak selalu langgeng".

"Kalau begitu ini bukan fenomena khas Sumatera Utara. Sejak dini hal ini sudah dinyatakan sebagai salah satu titik lemah model demokrasi lokal kita," ucapnya.

Menurut Shohibul, kelemahan model demokrasi ini sebenarnya sudah coba diperbaiki.

Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pascapilkada pertama, dijanjikan kajian untuk mencari model terbaik.

Mendagri waktu itu datang ke DPR, didampingi oleh pengurus asosiasi kepala daerah, menyatakan diperlukannya perbaikan sistem pemilihan Kepala Daerah.

Tindaklanjutnya ialah UU baru yang disahkan menjelang berakhir masa jabatan SBY. Setelah Joko Widodo – M Yusuf Kalla memenangi pilpres, langsung terbit Perppu yang membatalkan UU yang disahkan pada akhir masa jabatan SBY.

"Syamsul Arifin juga pekong dengan Gatot Pujonugroho dan itu meluas dalam perbincangan publik. Hal yang sama terulang pada pasangan Gatot Pujonugroho – HT Erry Nuradi," katanya.

Tetapi, menurut Shohibul praktik pekong ini tak selalu mengancam posisi satu sama lain. Ia mencontohkan apa yang terjadi pada pasangan Dzulmi Eldin dan Akhyar Nasution yang pernah menjabat sebagai Wali Kota dan Wakil Wali Kota Medan.

Ia memastikan Akhyar tak pernah menyulitkan Eldin yang akhirnya harus berhadapan dengan hukum.

Meskipun Eldin mengakui Akhyar saat itu sedang belajar menjadi Wali Kota Medan dan ia menanggapinya dengan santai.

Hal ini, kata Shohibul mengerucut pada kesimpulan bahwa masalah pekong merupakan masalah berskala nasional yang terletak pada sistem.

"Kisah Dzulmi Eldin dan Akhyar Nasution tak berbeda, sebagaimana halnya Rahudman Harahap tak pernah sedikit pun dipersulit oleh Dzulmi Eldin. Jadi, kesimpulannya, masalah ini berskala nasional, terletak pada sistem. Bedanya hanya pada kemampuan mengatur perasaan untuk menyelamatkan publik dari suguhan tontonan demokrasi yang tak bermutu," ungkapnya.

Shohibul juga memberikan contoh kasus yang sama terjadi pada Soekarno yang juga pekong dengan Hatta dan masalahnya sangatlah serius.

Sama halnya SBY pekong dengan M Yusuf Kalla karena perbedaan filosofi kenegaraan.

Ia menilai, banyak riak politik yang menunjukkan kepastian Joko Widodo tak harmonis dengan M Yusuf Kalla, dan itu berbeda penyebab dengan disharmoni antara Joko Widodo dengan KH Ma’aruf Amin saat ini.

Pada akhirnya, Shohibul mengatakan hal terpenting yang perlu dilakukan Edy-Ijeck pada saat ini, yang juga merupakan keinginan warga Sumut.

Hal itu adalah kebijaksanaan Edy-Ijeck untuk tidak mengumbar hal tersebut di depan publik yang membuat banyak opini semakin liar dan terpengaruh.

"Di atas segalanya, seburuk apa pun kondisinya saat ini, saya tetap menginginkan Eramas berusaha merahasiakan pekong mereka agar publik tidak terpengaruh. Saya jelas keberatan, dan suara saya ini saya kira dapat mewakili mayoritas rakyat yang masih diam," pungkasnya.

(cr14/tribun-medan.com)

 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved