Hari Kebebasan Pers

Kasus Kekerasan Jurnalis di Sumut Masih Tinggi, AJI Medan Harap Penegak Hukum Terapkan UU Pers

Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Sumatera Utara masih terbilang cukup tinggi hingga saat ini. Tahun 2022 saja, sudah ada tiga kasus menonjol

Editor: Array A Argus
HO
AJI Medan saat menggelar diskusi bertepatan dengan momentum Hari Kebebasan Pers, Sabtu (15/5/2022). 

TRIBUN-MEDAN.COM,MEDAN- Kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, khususnya di Sumatera Utara masih begitu tinggi.

Dari data yang dihimpun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, ada lima kasus kekerasan jurnalis di Sumatera Utara.

Mengawali tahun 2022, medio 1 Januari hingga 1 Mei kemarin, sudah ada tiga kasus kekerasan terhadap jurnalis yang dicatat AJI Medan.

Pertama kasus penghalangan peliputan di Nias.

Kemudian kasus kekerasan fisik di Mandailing Natal yang diduga melibatkan mafia tambang emas ilegal, dan kasus kekerasan di Deliserdang yang dialami jurnalis televisi ketika melakukan peliputan sengketa lahan.

"Berkenaan dengan kasus kekerasan terhadap juralis ini, selama ini penerapan pasal yang dilakukan aparat penegak hukum hanya sebatas pada Pasal 351 saja," kata Koordinator Divisi Advokasi AJI Medan, Array A Argus, Sabtu (14/5/2022), pada diskusi yang diadakan AJI Medan bertema 'Mitigasi Kekerasan Terhadap Jurnalis' bersama kalangan jurnalis dan lembaga aktivis.

Array mengatakan, sudah sepatutnya aparat penegak hukum turut menautkan Undang-undang pers dalam penanganan perkara.

Misalnya saja ketika ada seorang jurnalis yang menjadi korban penganiayaan atau kekerasan, maka, kata Array, pelakunya juga harus dijerat dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 tahun 1999.

"Dalam UU Pers tersebut sudah ditegaskan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)," kata Array.

Selain itu, sambungnya, jurnalis tidak hanya rentan menjadi korban kekerasan fisik saja, tapi juga rentan menjadi korban serangan digital.

Beberapa jurnalis pernah menjadi korban serangan digital segelintir orang, dimana data dirinya bocor ke publik, dan informasi pribadi itu digunakan untuk menjatuhkan jurnalis yang bersangkutan.

Kemudian, ada juga kasus-kasus, dimana jurnalis dijerat menggunakan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) menyangkut pemberitaan.

"Mengenai masalah ini, Kapolri dan Dewan Pers sudah menandatangani pakta integritas terkait penyelesaian sengketa pers. Sehingga, ketika terjadi persoalan menyangkut pemberitaan, maka penegak hukum harus lebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Pers," kata Array.

Ia juga menekankan, guna mengantisipasi terjadinya kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali terjadi, sudah sepatutnya semua awak media dapat menjalankan profesinya sesuai kode etik yang berlaku.

Sementara itu, Kepala Divisi Sipil dan Politik LBH Medan, Maswan Tambak mengatakan, bicara soal penanganan hukum, tentu bisa diketahui dari beberapa regulasi yang mengatur tentang pers, termasuk juga bagaimana pers bekerja.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved