Piala Dunia di Kedai Tok Awang
Jangan Sampai Messi Menangis Lagi
Argentina dan Prancis berhadapan di partai puncak Piala Dunia 2022, untuk satu gengsi dan rekor yang akan tercatat dengan tinta emas dalam sejarah.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: T. Agus Khaidir
Akhirnya sampai juga di ujung garis. Piala Dunia 2022 akan memanggungkan partai pamungkas. Argentina dan Prancis, dua negara yang mampu melewati segala halang rintang, akan saling berhadap-hadapan untuk menjadi yang terbaik. Bukan hanya untuk satu tropi, lebih jauh juga untuk pencapaian-pencapaian lain yang akan membuat mereka dicatat dengan tinta emas dalam buku sejarah.
Apabila Prancis yang menang, maka mereka akan bergabung dengan Italia dan Brasil yang berhasil melakukan back to back, juara dua kali secara beruntun. Italia melakukannya pada Piala Dunia zaman jebot, 1934 dan 1938. Adapun Brasil pada 1958 dan 1962.
Argentina sebenarnya pernah berada di posisi ini sebelumnya. Mereka juara di edisi 1986, mengalahkan Jerman (Barat) 3-2 di final. Edisi berikutnya, Italia 1990, La Albiceleste --julukan Tim Nasional Argentina-- kembali sampai di puncak. Lawan mereka sama.
Namun kali ini hasilnya berbeda. Kesaktian Diego Maradona lesap, keberuntungan mereka hilang, dan Argentina justru ketiban siap. Menit 85, mereka diganjar penalti akibat pelanggaran yang dilakukan terhadap Jurgen Klinsmann. Eksekusi Andreas Brehme gagal diadang Sergio Goycochea.
"Padahal Goycochea ini bolak-balik gagalkan penalti di babak-babak sebelumnya. Penalti Brehme pun sebenarnya bisa dibacanya. Arahnya sudah pas, kenak jugak ke tangannya, tapi gak tertahan karena kencang kali," kata Lek Tuman.
Argentina gagal menjadi negara ketiga yang mencatat back to back. Namun di Buenos Aires, juga di seluruh sudut Argentina, pandangan terhadap Diego Maradona tidak berubah. Tahun 1986 dia sudah ditahbiskan sebagai pahlawan, sebagai legenda besar, dan akan begitu selamanya. Titik yang belum bisa dicapai oleh Lionel Messi.

"Jadi sebenarnya pembanding Messi itu bukan cumak Ronaldo. Ada Maradona jugak. Dan selama Messi belum pernah jadi juara dunia, sampek kapan pun dia akan tetap dibanding-bandingkan dengan Maradona," ujar Leman Dogol yang datang ke kedai bersama Mak Idam dengan mengenakan jersey Argentina. Akunya, sebenarnya dia bukan suporter Argentina, tapi karena ada yang bagi-bagi gratis, dia pakai saja.
"Sayang, lah, kalok nggak diambil, ya, kan. Lagi pulak ini gak ada hubungannya dengan kita. Kalok jersey Malaysia tadi pasti awak tolak. Nasionalisme, bro," ucapnya diiringi tawa berderai.
Namun terlepas dari alasannya mengenakan jersey Argentina, bilang Leman, ia akan merasa sangat senang jika mereka menang di final. Bukan lantaran dengan ini mereka tinggal berjarak selangkah dari Italia dan Jerman yang pernah juara dunia empat kali, tapi semata-mata demi Messi.
"Rasa-rasanya dunia ini tak adil sama Messi," sebutnya. "Orang sudah punya tropi semua kejuaraan. Kalok di tenis dia ini Roger Federer dan Rafael Nadal."
"Kalok di bulu tangkis Lin Dan, Mak," sahut Mak Idam pula.
Lin Dan, pebulutangkis China, adalah nama terbesar di arena tepok bulu. Dia juara olimpiade dua back to back (2008, 2012), juara dunia lima kali, Asian Games lima kali, dan menjadi kampiun turnamen paling tua sekaligus paling bergengsi, All England, sebanyak enam kali. Untuk beregu, dia memimpin China memenangkan Thomas Cup enam kali dan Sudirman Cup lima kali.

Pun Federer dan Nadal di lapangan tenis. Keduanya mengoleksi lengkap semua gelar Grand Slam: Australia Open, US Open, French Open, dan Wimbledon.
Federer menyabet dua emas Olimpiade di tahun 2008 untuk ganda putra dan ganda campuran, sedangkan Nadal melakukannya di tahun 2008 untuk nomor tunggal dan 2016 untuk ganda.
Di kejuaraan beregu paling bergengsi, Davis Cup, Federer membawa Swiss juara di tahun 2014. Nadal lebih dahsyat. Ia menjadi bagian dari Tim Nasional Spanyol yang menaklukkan kejuaraan ini lima kali (2004, 2008, 2009, 2011, 2019).
