Ferdy Sambo Dihukum Mati

TERNYATA Ferdy Sambo Bisa Selamat dari Hukuman Mati, Pakar Hukum Ini Beber KUHP Pasal 100 ayat 1

Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo telah divonis hukuman mati oleh hakim terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir J

Editor: Salomo Tarigan
AFP/ADITYA AJI
Mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo melambaikan tangan ke arah kamera wartawan saat menjalani sidang vonis kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat di PN Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023). Hakim menyatakan Sambo bersalah dan menjatuhkan vonis hukuman mati. 

TRIBUN-MEDAN.com - Mantan Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo telah divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan terkait pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.

Namun pelaksanaan hukum mati pada kenyataannya masih jarang terjadi di Indonesia. Termasuk ketika putusan telah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.

Nyatanya, masih banyak terpidana hukuman mati yang tak kunjung dieksekusi.

Hal tersebut karena adanya moratorium atau penangguhan.

"Kalau bisa lihat, di Indonesia ini ada ratusan yang menunggu pidana mati, tapi tidak mati-mati. Tampaknya, sampai detik ini politik eksekusi pidana mati ini masih moratorium," ujar Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho saat dihubungi Tribunnews.com pada Senin (13/2/2023).

Eksekusi mati pun terakhir kali terlaksana di Indonesia pada tahun 2016 atas nama Freddy Budiman, terpidana kasus narkoba.

"Setelah itu tidak pernah terjadi lagi. Nah ini yang juga menjadi perhatian," kata Hibnu.

Kemudian hadirnya KUHP baru, dianggap Hibnu dapat semakin menjauhkan peluang eksekusi mati terlaksana bagi para terpidananya, termasuk Ferdy Sambo.

Sebab dalam Pasal 100 ayat 1 KUHP baru, termaktub bahwa pidana mati memiliki masa percobaan 10 tahun dengan syarat terpidana memiliki rasa penyesalan dan harapan untuk memperbaiki diri.

"KUHP baru, mati itu menjadi pidana bersyarat. Ketika syarat seseorang itu sudah baik dalam sekian tahun, menjadi tidak eksekusi mati," katanya

Sebagaimana diketahui, hari ini, Senin (13/2/2023) vonis terhadap Ferdy Sambo telah dibacakan dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Pembacaan vonis tersebut diputuskan oleh Hakim Ketua PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso

. Selain itu, ada pula dua hakim anggota yaitu Morgan Simanjutak dan Alimin Ribut.

Menurut Wahyu, Ferdy Sambo disebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan perencanaan pembunuhan yang membuat Brigadir J dinyatakan tewas.

"Mengadili, menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain," ujar Hakim Ketua PN Jakarta Selatan Wahyu Iman Santoso saat membacakan amar putusan di PN Jaksel, Senin (13/2/2023).

Karena itu, Hakim Wahyu pun menjatuhkan hukuman pidana penjara seumur hidup terhadap Ferdy Sambo.

"Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ferdy Sambo berupa pidana hukuman mati," jelasnya.

Tak hanya itu, Wahyu menyatakan Ferdy Sambo dinyatakan bersalah melakukan perusakan CCTV yang berakibat terganggunya sistem elektronik dan/atau mengakibatkan sistem elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.

Dalam kasus ini, Sambo terbukti melanggar pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Lalu, Sambo juga dinyatakan bersalah melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Nasib Bharada E

Menko Polhukam Mahfud MD berharap vonis terhadap Bharada Richard Eliezer tidak 12 tahun.

"Saya enggak tahu ya Eliezer ini divonis satu atau dua jam ke depan. Tapi saya berharap dia turun dari 12 (tahun)," kata Mahfud MD saat ditemui di acara Bersholawat Mendinginkan Suhu Politik 2023, di Jakarta Timur, Senin (13/2/2023) malam.

Hal itu dijelaskan Mahfud, karena Richard Eliezer muncul dan bersikap jujur terkait adanya skenario yang dibuat Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.

Kata Mahfud, sejak awal kasus, muncul skenario Eliezer menembak Yosua karena dia ditembak lebih dulu oleh Brigadir Yosua Hutabarat.

"Nah skenario itu dipertahankan sampai sebulan, dari 8 Juli sampai 8 Agustus (2022). Apa tujuannya? Eliezer muncul di persidangan mengaku sebagai pembunuh karena dijanjikan akan di SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," kata Mahfud.

"Gampang SP3-nya. Saya membunuh karena saya ditembak duluan, sehingga terjadi tembak menembak. Jadi dia bebas, kasus ini ditutup," sambungnya.

Namun, kata Mahfud, alih-alih melakukan hal itu, Eliezer dengan berani membuka bahwa skenario awal tersebut merupakan ide dari terdakwa Ferdy Sambo.

"Tapi Eliezer dengan berani pada tanggal 8 (2022), berani membuka bahwa ini skenarionya Sambo. Bahwa ini pembunuhan. Bukan tembak menembak."

Oleh karena itu, Mahfud menjelaskan, jika saat itu Eliezer tidak mengungkapkan kebenaran itu, maka kasus ini akan tertutup hingga saat ini.

"Sehingga saya berpikir kalau merubah keterangannya menjadi keterangan yang benar, kasus ini akan tertutup. Akan menjadi seperti dark. Kasus yang gelap," ungkapnya.

Karena hal itu, Mahfud berharap Eliezer mendapat keadilan.

Meski demikian, lanjutnya, Eliezer tetap harus dihukum karena dia juga merupakan pelaku.

"Tentu menurut saya sih dihukum juga, karena dia pelaku kan. Tetapi tanpa dia tak akan berubah kasus ini," ucap Mahfud.

Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD merespons terkait vonis hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim terhadap Ferdy Sambo.

Manfud mengatakan, vonis tersebut sudah tepat diberikan oleh Majelis Hakim terhadap Eks Kadiv Propam Polri itu.

Lanjutnya, hukuman yang diberikan itu mengingat berdasarkan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana yang diberikan terhadap Ferdy Sambo.

"Menurut saya vonis Sambo sudah tepat, karena ancaman maksimal untuk pembunuhan berencana itu memang hukuman mati," kata Mahfud, saat ditemui di acara Bersholawat Mendinginkan Suhu Politik 2023, di Jakarta Timur, Senin (13/2/2023).

Selain itu, menurutnya, hukuman mati terhadap Ferdy Sambo diberikan juga karena tidak adanya fakta meringankan terdakwa kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua Hutabarat itu.

"Itu tidak bisa dikurangi karena berdasar fakta, tidak ada satu pun fakta yang meringankan," ucapnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, hukuman terhadap seorang terdakwa bisa diturunkan jika ada sikap yang meringankan.

"Ini kan enggak. Menurut temuan hakim di mahkamah sidang jadi hukuman mati naik," kata Mahfud.

Sumber: Tribunnews.com /Ashri Fadilla)

Ferdy Sambo Bisa Selamat dari Hukuman Mati, Pakar Hukum Ini Ungkap KUHP Pasal 100 ayat 1

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved