Materi Belajar

Konflik Sosial : Pengertian dan Macam-macam Teori Konflik, Materi Belajar Sosiologi Kelas 11

Pengertian dan macam-macam teori konflik akan dibahas pada materi belajar sosiologi kelas 11 berikut ini.

Penulis: Rizky Aisyah |
HO / TRIBUN
Pengertian dan macam-macam teori konflik 

TRIBUN-MEDAN.com.MEDAN – Pengertian dan macam-macam teori konflik akan dibahas pada materi belajar sosiologi kelas 11 berikut ini.

Pengertian Konflik dan Kekerasan Sosial

Apa itu Konflik? Konflik, baik secara etimologis maupun etimologis kata, berasal dari kata latin configere yang artinya saling mengalahkan. Namun kesimpulannya, konflik bukan sekedar tamparan. Saling memukul adalah ekspresi konflik atau perselisihan antara lawan. Jadi, secara sosiologis, konflik sosial adalah konflik di mana masing-masing pihak berusaha untuk melenyapkan pihak lain.

Sekarang mari kita bicara tentang kekerasan. Konflik sosial yang terus diselesaikan tanpa solusi akan menciptakan situasi kekerasan baru. Kekerasan, menurut definisi, adalah setiap tindakan individu atau kelompok yang dapat menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa, atau menyebabkan kerugian harta benda atau tubuh orang lain.

Tahukah Anda bahwa kekerasan bukan hanya tindakan yang menyakiti orang lain secara fisik, tetapi juga mencakup tindakan yang menindas, mengurangi, mengesampingkan, mengancam, memfitnah, atau meneror hak orang lain? Jenis kekerasan ini disebut juga kekerasan tidak langsung.

Secara sosiologis, kekerasan dalam ranah sosial dapat terjadi ketika individu atau kelompok mengabaikan norma dan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Memperhatikan perlunya penjelasan ilmiah tentang kekerasan sosial, beberapa ahli telah mengemukakan teori tentang proses terbentuknya kekerasan sosial dalam suatu masyarakat.

Macam-macam Teori Konflik

Jadi kita sudah tahu apa itu konflik dan kekerasan. Sekarang mari kita bahas beberapa teori konflik. Oleh karena itu, teori-teori tersebut sangat penting untuk digunakan sebagai salah satu sudut pandang ketika kita melihat berbagai kasus konflik yang terjadi di masyarakat. Karena kasus konfliknya bisa berbeda, maka teori yang mempelajarinya juga berbeda.

1. Teori Konflik Karl Marx

Pertama, dibahas teori konflik dari pemikiran Karl Marx. Kita tahu pasti bahwa banyak pemikiran Karl Marx didasarkan pada perbedaan kelas berdasarkan kepemilikan atau ekonomi alat produksi. Hal yang sama berlaku untuk konflik atau masalah sosial.

Menurutnya, salah satu penyebab konflik terbesar adalah penerapan sistem kapitalis. Dalam sistem ini, sekelompok pemilik modal atau kelompok borjuis mengalami konflik melalui ketidaksetaraan dalam kelompok proletar atau kelompok buruh.

Dalam sistem kapitalis, borjuasi ingin mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, yang memicu perlawanan dari kelompok proletar atau buruh yang menuntut keadilan upah dan kesejahteraan. Di sinilah, dari sudut pandang Karl Marx, konflik sosial muncul.

2. Teori Konflik Gramsci

Selanjutnya kita akan membahas pemikiran Antonio Gramsci. Dibandingkan dengan Marx yang konfliknya terfokus pada sisi ekonomi, Gramsci tidak hanya berfokus pada sisi politik atau kekuasaan, tetapi juga pada sisi budaya.

Gramsci mengatakan bahwa hegemoni dapat menimbulkan konflik sosial. Tapi apa itu hegemoni? Oleh karena itu, hegemoni adalah kekuasaan yang dijalankan melalui kekerasan untuk membangun ideologi dan budaya yang diinginkan oleh kekuasaan. Kalau masih bingung, ambil contoh cara kekerasan yang digunakan Adolf Hitler untuk membangun ideologi fasis di Jerman, atau ideologi komunis yang tidak bisa disingkirkannya karena kekerasan para pemimpin Korea Utara.

Jadi kalau orang sudah punya supremasi, mereka bisa mengatur apapun yang idealnya bisa mereka pikirkan. Tapi siapa yang bisa menjalankan hegemoni ini? Dengan demikian, kata Gramsci, hegemoni ini bisa dilakukan oleh banyak pihak.

Pertama adalah partai penguasa. Mulai dari eksekutif, legislatif, militer, atau militer. Pihak kedua adalah kelompok masyarakat sipil seperti organisasi kemasyarakatan atau organisasi publik.

Loh, kok masyarakat sipil juga bisa begitu? Nah, Gramsci mengatakan hal ini dimungkinkan dengan kelompok atau organisasi massa di masyarakat sipil. Pada umumnya mereka berfungsi sebagai mediator bagi para penguasa untuk memperluas kekuasaannya. Ini seperti bersikap bermusuhan dan pro-kekuasaan terhadap kelompok swasta lain yang kritis terhadap pemerintah. Secara kasar, dapatkah Anda membayangkan apa yang terjadi dalam hidup kita?

Lalu bagaimana kita menggunakan teori Gramsci untuk melihat kasus konflik? Oleh karena itu, melalui konsep hegemoni Gramsci, kita dapat menganalisis kasus-kasus konflik yang melibatkan pemerintah dan rakyat.

Contohnya adalah pembungkaman kebebasan berekspresi bagi mereka yang kritis terhadap kekuasaan. Oleh karena itu, penguasa dapat mempertahankan kekuasaan dengan menekan kebebasan berekspresi atau kritik melalui hegemoni. Dalam hegemoni tersebut, konflik sosial dapat menghasilkan ketidakadilan terhadap mereka yang tidak memiliki kekuasaan.

3. Teori Konflik Fungsional Lewis A. Coser

Nah, setelah kita membahas teori konflik Marx dan teori Gramsci, akhirnya kita beralih ke teori konflik menurut Lewis A. Coser.

Menengok ke belakang dan menyimpulkan, misalnya bahwa menggugat Marx dan Mr. Gramsci berpendapat bahwa konflik sangat mudah melahirkan ketidakadilan, terutama bagi mereka yang tidak memiliki modal atau kekuasaan, maka menurut Coser, konflik ini tampaknya memiliki fungsi. untuk masyarakat. Jika ya, bagaimana fungsinya? Mari kita coba pahami dulu!

Jadi, dari sudut pandang Mr. Coser, teori dipandang sebagai konflik fungsional. Artinya, pandangan bahwa konflik bisa fungsional, tapi bisa juga disfungsional. Apa bedanya?

Baiklah. Ini fungsional. Artinya, konflik dapat memiliki fungsi bagi masyarakat. Misalnya, sebagai alat melawan ketidakadilan untuk memperkuat persatuan kelompok dan mendorong perubahan.

Oleh karena itu, perlawanan buruh untuk menuntut keadilan atas upah sebenarnya berfungsi untuk memperkuat solidaritas di antara kelompok mereka dan juga merupakan upaya untuk menuntut keadilan. Dalam hal kekayaan, orang bersatu karena mereka memiliki musuh yang sama!

Misalnya banyak kasus korupsi dan aparat penegak hukum mengambil tindakan tegas, mudah-mudahan ini membawa perubahan positif. Dengan kata lain, semoga pemerintah terbebas dari praktik korupsi.

Sebaliknya, menurut Coser, konflik dianggap memiliki aspek disfungsional atau justru mengganggu keharmonisan sosial. Dalam jangka panjang, misalnya konflik antar kelompok suporter sepak bola, hal ini tentu saja bisa berdampak buruk pada pecahnya kohesi masyarakat. Akibatnya, kita merasa tidak aman.

(cr30/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved