Breaking News

Mata Lokal

Penyelamat Hutan Samosir, Wilmar Simanjorang Tak Gentar dan Kenyang Tekanan Korporasi

Dr Wilmar Eliaser Simanjorang merupakan mantan bupati Samosir. Kerap menyuarakan soal lingkungan hidup dan kelestarian alam di kawasan Danau Toba.

|
Penulis: Maurits Pardosi | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUN MEDAN/HO
Doktor Wilmar Eliaser Simanjorang. 

TRIBUN-MEDAN.com, PANGURURAN - Lelaki ini memilih tinggal di pedesaan Samosir guna mendekatkan diri terhadap alam. Tinggal di dataran tinggi yang memudahkan dia memandang Pulau Samosir dengan jelas. Hutan pinus dan pohon-pohon rindang serta suara burung akan menjadi temannya bercerita di sekitar huniannya.

Sejak tahun 2012, ia aktif berkecimpung di bidang lingkungan hidup, khususnya hutan. Bermodalkan fakta di lapangan yang dia alami selama menjadi bupati Samosir pada tahun 2004 hingga 2005, ia tak gentar berjuang demi kelestarian alam. Ia sering menyuarakan, walau harus maju sendiri.

“Setelah pensiun, tidak lagi betah di metropolitan, saya berpikir untuk apa berkat yang ada pada diri saya kalau hanya untuk diri saya. Saya tinggalkan IPDN Jatinangor, saya tinggalkan semua pekerjaan saya lalu pilih pulang ke Sianjurmulamula, Samosir,” ujar Wilmar Simanjorang, Jumat (17/3/2023).

Menurutnya, Sianjurmulamula memiliki sejarah perjuangan panjang perihal hutan Tele. Ia memilih tinggal di sana, mendekatkan diri dengan alam. Berbagai permintaan dari investor yang berasal dari luar negri mengenai izin lingkungan hidup, ia tolak mentah-mentah. Pasalnya, ia sudah tahu bahwa hutan di Samosir akan banyak dibabat dengan alasan pengembangan pertanian dan peternakan.

“Waktu saya bupati, saya menolak banyak permintaan izin lingkungan untuk penggunaan hutan. Waktu itu banyak investor yang ingin menggunakan hutan kita. Setelah saya, berbeda,” sambungnya.

“Investor itu bertopengkan perkebunan dan peternakan hanya untuk mengambil kayu alam itu. Setelah itu, mereka pura-pura buat pengembangan pertanian. Tanahnya masih asam, itulah hal yang membuat mereka hengkang,” sambungnya.
Kondisi mengenaskan yang ia lihat sekarang ini adalah berkurangnya jumlah dan kualitas mata air. Pepohonan yang ditebangi selama ini, menurutnya memiliki pengaruh besar terhadap lestarinya mata air.

“Kalau soal mata air di pegunungan, khususnya di Sianjurmulamula mulai dari Sitiotio hingga perbatasan Silalahi sudah ada yang mati. Di kampungku sendiri, saat saya masih kecil hingga SMA, masih ada mata air yang berdiameter 10 centimeter, namun sekarang ukuran 5 centimeter aja tidak ada,” sambugnya.

“Di bawah pohon itu, ada tahanan air yang mengalir hingga ke jalur bawah tanah. Nah, kalau sudah ditebangi pohon, ya tentu jalur air itu pun terganggu. Ini juga yang membuat banyaknya longsor di kawasan Tele,” terangnya.

Prinsip teguhnya melestarikan hutan melalui menolak investor asing menggunakan hutan di Samosir ia jalankan karena dirinya tak mau disuap.

“Prinsipnya, saya tak mau meminta-minta uang. Sama halnya dengan prinsip yang saya jalankan ke bawahan saya. Saya tak mau minta uang. Jadi yang memberi uang merasa malu begitu juga yang menerima uang. Kalau sekarang, biarlah fakta di lapangan yang berbicara,” terangnya.

“Saya tetap bahagia tanpa uang,” terangnya.

Walau Kurang Kondusif, Ia Berharap Ada Penerus Perjuangannya

Ia sebagai aktivis lingkungan hidup berharap penerusnya tetap ada. Ia yakin, setiap orang ada zamannya dan setiap zaman ada orangnya. Walaupun demikian, dibutuhkan pengetahuan dan penguasaan perihal hukum di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Sehingga, ketika muncul permasalahan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan, pegiat lingkungan tak kelimpungan.

“Kita berharap para pegiat lingkungan, termasuk dari pihak LSM dan organisasi lainnya semakin mendalami persoalan lingkungan. Sehingga persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan-perusahaan tertentu dapat disuarakan berdasarkan fakta dan kajian hukum yang benar,” terangnya.
“Kalau tahu hukum dan apa yang dilanggar, kan tidak asal berteriak. Setelah tahu, ia harus pergi ke lapangan yang membutuhkan observasi, penelitian dan jangan sendirian sehingga dokumentasinya bisa lebih detail,” terangnya.

Selanjutnya, ia mengutarakan perjuangannya saat berada di lapangan. Berhadapan dengan para investor maupun rekanan yang membuat dirinya terancam, baginya sudah hal biasa. Ia yakin, pegiat lingkungan di Samosir akan senantiasa hadir pada setiap zaman.

“Bukan hanya diancam. Saat sidang lapangan, saya bersama anak saya dikerumuni lalu mereka membawa parang. Lalu, malam-malam, saya pernah dikejar-kejar oleh yang merasa terganggu. Kita tahu kok, karena itu sudah tersebar luas ke publik,” sambungnya.

“Saya yakin masih banyak orang yang peduli. Setelah saya nanti pergi, akan ada orang yang akan menggantikan saya. Saya yakin setiap orang ada zamannya, setiap zaman ada orangnya,” lanjutnya.

Di balik keyakinan tersebut, ia melihat juga ada oknum yang disebut-sebut pegiat lingkungan bungkam saat sudah diberi uang.

“Kita bisa lihat, ada saja orang yang mengkondisikan diri sebagai pegiat lingkungan. Lalu, setelah diberi uang, ia bungkam. Banyak pemerhati lingkungan yang tahan uji. Padahal, banyak pemerhati lingkungan hidup, sosial yang hidup dari perjuangannya. Hidup kan bukan soal uang,” sambungnya.

Bahkan, sampai sekarang, dirinya masih aktif menanam pohon.

“Sampai sekarang, saya masih menanam pohon. Pohon itu bukan sebatas tanam, tapi harus dirawat, disiangi dan dipupuk. Hutan sampai sekarang masih dibabat,” jelasnya.

Ia juga pernah meminta agar dua perusahaan besar di kawasan Danau Toba yang diduga rusak lingkungan hidup agar diaudit. Ia berjuang sendiri melawan perusahaan besar tersebut. Ia yakin, perjuangan yang sudah dimulainya akan dilanjutkan oleh penerus di masa depan dengan bekal pengetahuan yang lebih. Dan, itulah harapan besarnya bagi generasi selanjutnya.

“Kita sudah pernah lapor PT TPL, Aquafarm. Lalu diaudit dan ternyata ada peyimpangan-penyimpangan di aquafarm, tapi habis itu masih berlanjut proses. Hal sama juga sama dengan TPL sudah diaudit. Maka, kita berharap para pegiat lingkungan hidup itu harus mengerti hukum lingkungan hidup agar jangan main alip-alipan,” sambungnya.

Sosok Wilmar Eliaser Simanjorang, Bupati Pertama Samosir

Dr Wilmar Eliaser Simanjorang merupakan mantan bupati Samosir. Ia sebagai bupati pada tahun 2004 hingga 2005. Pria kelahiran Samosir pada tanggal 11 November 1954 ini, kini menjadi koordinator bidang edukasi dan litbang Toba Caldera Unesco Global Geopark.

Pria yang kerap menyuarakan soal lingkungan hidup dan kelestarian alam di kawasan Danau Toba ini, mengecap pendidikan awal di Sekolah Rakyat di Sagala, Samosir dan lulus pada tahun 1966. Lalu, ia melanjutkan pendidikan di SMP Limbong dan lulus pada tahun 1969, selanjutnya SMA di Pangururan dan lulus pada tahun 1972.

Pendidikan ia lanjutkan mengecap pendidikan di bangku kuliah hingga lulus tahun 1978 di Fakultas Sosial Politik Universitas Parahyangan, Bandung. Lalu, ia pun melanjutkan pendidikannya di Milan, Italia dan lulus pada tahun 1985.

Pria lulusan dari Napoli pada tahun 1989 ini juga melanjutkan pendidikannya di USU dan lulus pada tahun 1999. Bahkan, ia sempat melanjutkan pendidikannya di Pascasarjana IAKN jurusan Teologia/ Misiologi dan lulus pada tahun 2020.

Selama kuliah hingga menjadi ASN, ia kerap mendapat penghargaan. Setelah pensiun dari ASN, ia juga tetap berkarya. Misalnya, ia menjadi tenaga pengajar di Universitas Darma Agung Medan, tenaga pengajar di Institut Pemerintahan dalam Negeri, Jatinangor.

Ia juga terpilih sebagai koordinator bidang litbang kepariwisataan pada forum pengembangan pariwisata Samosir. Dan masih banyak lagi karya yang ia persembahkan pascapensiunan ASN.

Kegigihan dan keuletannya di bidang akademisi membuatnya kerap keluar daerah. Hingga saat ini, ia masih aktif di bidang edukasi dan lingkungan hidup serta pemberdayaan masyarakat di kawasan Danau Toba.

Di bidang lingkungan hidup, ia telah mendapat beberapa penghargaan. Piagam dari Kementerian Kehutananan pada tahun 2011 perihal lomba penghijauan dan konservasi alam wana lestari tahun 2011.

Pada tahun 2015, ia juga pernah menyabet penghargaan dari Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi atas pengabdian dan dedikasinya terhadap pengelolaan lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Utara.

Sebelumnya, pada tahun 2013, ia juga mendapat penghargaan dari Lembaga Cegah Kejahatan Indonesia (LCKI) atas kepedulian terhadap kejahatan di bidang lingkungan hidup.

Dan, pada tahun 2019, ia mendapat piagam penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya sebagai pionir pengembangan tanaman macadamia di DTA Danau Toba.

Selain mendapatkan penghargaan, ia juga kerap menjadi narasumber perihal pengelolaan lingkungan hidup dan Harian KOMPAS pernah memuatnya dalam kolom “Sosok” pada Senin (15/7/2013).

(cr3/tribun-medan.com)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved