Sosok
INILAH Sosok Menteri Termiskin Jokowi, Harga Outfitnya Jadi Sorotan Karena Tak Biasa
Tahu kah anda siapa menteri paling miskin di Kabinet Presiden Joko Widodo? Sosok menteri termiskin ini adalah Menkop-UKM Teten Masduki.
TRIBUN-MEDAN.COM - Tahu kah anda siapa menteri paling miskin di Kabinet Presiden Joko Widodo? Sosok menteri termiskin ini adalah Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop-UKM) Teten Masduki.
Teten Masduki diketahui sebagai menteri yang memiliki jumlah harta paling sedikit dibandingkan menteri-menteri lainnya di Kabinet Indonesia Maju.
Sebagai informasi, Teten dicap sebagai menteri "termiskin" karena memiliki harta paling sedikit di Kabinet Indonesia Maju.
Hal itu diketahui berdasarkan data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dihimpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data itu bisa diakses melalui situs elhkpn.kpk.go.id.
Dilihat Kompas.com pada Kamis (23/3/2023), data terakhir yang dipublikasikan KPK adalah LHKPN tahun 2021.
Jumlah harta kekayaan Teten pada 2021 mencapai Rp 4.289.787.787 (Rp 4,28 miliar). Jumlah itu bertambah Rp 389.454.427 (9,99 persen) dari 2020 yang mencapai Rp 3.900.333.360.

Sosok Teten Masduki
Tumbuh di dunia aktivis dan gerakan masyarakat sipil, pria yang pernah membongkar kasus suap eks Jaksa Agung era Presiden B.J Habibie, Andi M. Ghalib itu memilih berada di lingkaran kekuasaan sejak tahun 2014.
Pemenang Pilpres 2014, Joko Widodo, mempercayakan sejumlah jabatan strategis bagi Teten. Mulai dari Kepala Staf Kepresidenan, Koordinator Staf Khusus Presiden, hingga jabatan terbaru, yakni Menteri Koperasi dan UMKM.
Belum lagi kerja-kerja politis yang diamanatkan oleh Kepala Negara. Pernyataan sinis pun kerap datang kepada dirinya semenjak ia berada di lingkar kekuasaan. Bahkan, tak jarang terlontar dari anggota keluarga sendiri.
“Kadang-kadang istri saja juga meledek. ‘Wah kamu sudah jadi elite sekarang’. Meskipun itu hanya omongan di meja makan, tapi nyelekit juga. Belum lagi teman-teman yang lain,” kenang Teten saat berbincang dengan tim JEO Kompas.com, Juni 2021 lalu.
Bagi Teten pribadi, sebenarnya tak ada yang salah dari sikap tersebut.
Sebaliknya, justru ia menilai respons seperti itu merupakan hal yang wajar. Terutama bila orang yang disasar mengingkari nilai-nilai yang diperjuangkan dahulu dan beralih ke narasi yang menguntungkan kelompok berkepentingan saja.
Nasib anak tengah
Kisah hidup Teten berawal dari Garut, Jawa Barat, 6 Mei 1963. Sang ayah bernama Masduki merupakan pengusaha di bidang pengolahan tapioka dan jual beli hasil bumi.
Sementara, sang ibu bernama Ena Hindasyah juga terjun di bisnis yang sama. Namun, lebih mengurusi administrasi dan manajemen perusahaan.
Lahir sebagai anak ke-5 dari delapan bersaudara, Teten terbiasa dengan sikap mengalah.
Di satu sisi, ia harus rela mendahulukan adik-adiknya. Di sisi lain, ia juga mesti berbesar hati bila sang kakak mendahuluinya. Dalam hal apapun.
“Saya dijepit antara kakak-kakak dan adik-adik. Anak tengah kan biasanya dilupakan juga,” kenang Teten.
Namun, ada nilai yang tidak disadari terpupuk dalam diri Teten kecil, yakni soal bagaimana bersikap adil kepada orang-orang di sekelilingnya.
Sebagai anak tengah, ia dituntut mesti bersikap dewasa untuk menghadapi sifat kekanak-kanakan adiknya dan ego para kakak.
Maka, sadar tidak sadar ia memilih untuk bersikap adil terhadap saudara-saudarinya. Memberikan kepunyaannya secara proporsional bagi sang adik dan kakak agar tidak terjadi pertengkaran.
Oleh sebab itu, Teten sering terusik bila ada praktik ketidakadilan yang terjadi di depan matanya.
Sikap tersebut lambat laun semakin terpupuk dan bercampur baur dengan nilai-nilai lain yang ditanamkan oleh orangtuanya, yakni pendidikan,agama dan akhlak. Teten mengaku, didikan orangtuanya terkait tiga hal itu cukup keras.
Ketika memasuki bangku perkuliahan di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), nilai-nilai yang terpupuk selama ini bak menemui hilirnya.
Teten terjun dalam berbagai kegiatan politik, meski saat itu tengah gencar-gencarnya depolitisasi di tataran kampus oleh Orde Baru.
Dunia politik kampus merupakan hal yang baru dan menyenangkan bagi seorang Teten yang saat itu bercita-cita menjadi seorang guru.
“Kami berdemo, berdiskusi. Waktu itu kaya akan persoalan-persoalan sosial, lingkungan, buruh, masalah pertanahan, kemiskinan dan lain sebagainya. Termasuk masalah politik dan juga kajiannya yang sangat ilmiah dan akademis,” ujar Teten.
Gairah Teten bangkit seketika setelah diperkenalkan dengan sejumlah teori revolusi sosial, politik dan ekonomi yang menjadi landasan pergerakannya.
Salah satunya adalah teori ketergantungan yang dikembangkan ekonom Raul Presibich pada akhir tahun 1950-an.
Teori ini secara sederhana menjelaskan tentang kehidupan ekonomi negara-negara tertentu yang sedikit banyak memiliki ketergantungan pada perkembangan dan ekspansi negara-negara lain di mana negara tertentu itu hanya menerima akibatnya saja.
“Ada gap yang sangat besar antara negara-negara kapitalis di utara dengan selatan. Ini kajian yang luar biasa ketika itu dan memberikan kesadaran akan problem sosial ekonomi yang komplek,” ujar Teten.
“Saya jadi dibekali paradigma berpikir yang modern dan ilmiah untuk melihat problem-problem sosial politik yang terjadi di masyarakat Indonesia,” lanjut dia.
Kegiatan-kegiatan politik kampus seperti ini pula yang membuat Teten tak hanya larut dalam mobilisasi massa dan demonstrasi, melainkan juga memiliki pemahaman ilmiah yang komprehensif terhadap suatu persoalan sosial politik dan ekonomi.
Teten muda eksis bukan hanya fokus pada praktik kritik dan protes tanpa isi, melainkan juga mampu menjelaskan sebuah persoalan akar rumput merujuk teori yang relevan.
“Jadi, saya bukan hanya demonstran yang mengepalkan tangan meninju aparat. Di generasi kami, kami dididik untuk memahami persoalan secara mendasar dan ilmiah,” ujar Teten.
Terbiasa dengan gerakan sipil, kegiatan politik dan kerangka berpikir ilmiah membuat Teten mulai meninggalkan mimpinya sebagai seorang guru.
Selepas tamat kuliah, Teten memang sempat mencicipi menjadi guru salah satu SMK di Tangerang selama empat tahun. Namun setelah itu, Teten memilih aktif untuk menjadi pegiat hak asasi manusia (HAM).
Outfit Teten Masduki
Lalu, berapa harga outfit yang dikenakan menteri "termiskin" itu? Dalam wawancara khusus pada Senin (20/3/2023), Kompas.com mengulik harga outfit yang dikenakan Teten sehari-hari.
Teten pun menjabarkan harga dan jenis pakaiannya, mulai dari batik berwarna merah yang dikenakannya Senin lalu.
"Ya ini karena batik tulis ya, kalau batik cetak saya dimarahi oleh produsen. Nah, ini harganya di atas Rp 700.000-lah," ujar Teten kepada Kompas.com.
Kemudian, Teten mengaku, celana hitam yang dikenakannya merupakan hasil menjahit, bukan beli jadi. Modal yang dikeluarkan Teten untuk menjahit celana bahan itu sekitar Rp 500.000.
"Ya bikin sendiri, paling Rp 500.000," tutur dia.
Selain itu, Teten juga memperlihatkan sepatu kulit berwarna hitam buatan produsen dari Bandung, Jawa Barat, bermerek Fortuna Shoes.
Ia mengatakan, harga sepatu Fortuna yang ia kenakan sekitar Rp 2 juta.
"Saya mau tunjukin sepatu ini buatan asli Bandung, merek Fortuna, ini sekitar Rp 2 juta," kata Teten.
Dalam kesempatan itu, ia mengimbau masyarakat menghargai produk asli Indonesia yang kualitasnya tak kalah dari produk luar negeri.
"Kita harus menghargai kualitas seperti ini, jangan dibeli murah," tutur dia.
(*/tribun-medan.com)
INILAH Sosok Menteri Termiskin Jokowi
Harga Outfitnya Jadi Sorotan Karena Tak Biasa
Tribun Medan
Teten Masduki
Sosok
Sosok Sabar Saragih, Kadis Perhubungan Semasa Hidup, Bercita-cita Kurangi Jalan Rusak di Simalungun |
![]() |
---|
PROFIL Komjen Suyudi Ario Seto yang Kini Menjabat Kepala BNN, Berikut Rekam Jejaknya |
![]() |
---|
Sosok Harli Siregar, Putra Kelahiran Simalungun Jabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut, Alumni USU |
![]() |
---|
Dari Montana ke Medan, Cerita Nikita Shaqilla Peserta YSEALI soal Perlindungan Satwa dan Lingkungan |
![]() |
---|
Kisah Atlet Arung Jeram Ira Kusuma Ningtyas yang Raih Medali Emas, Perak dan Perunggu di PON 2024 |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.