Viral Medsos

Inilah Pasal Kontroversial di RUU Kesehatan yang Baru Disahkan DPR RI hingga IDI Ancam Mogok Kerja

DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan menjadi Undang-Undang pada Selasa (11/7/2023).

|
Penulis: AbdiTumanggor | Editor: AbdiTumanggor
Antara Foto via BBC News Indonesia
IDI ANCAM MOGOK KERJA: Pengunjuk rasa dari tenaga medis dan kesehatan melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung MPR/DPR-DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/7/2023). Mereka menolak disahkannya RUU Kesehatan menjadi Undang Undang. (Antara Foto via BBC News Indonesia) 

Apalagi menurut catatanya, sebanyak 300.000 rakyat wafat karena stroke, 6000 bayi wafat karena kelainan jantung karena tidak bisa dioperasi, 5 juta balita stunting. "Sesudah badai pandemi, ini saatnya kita melakukan perbaikan dan membangun kembali sistem kesehatan Indonesia jadi lebih tangguh untuk generasi selanjutnya," tutur Menteri Budi Gunadi.

"Menuju Indonesia Emas 2045 Indonesia perlu kerja keras, karena masa keemasan tidak bisa dicapai tanpa manusia Indonesia yang sehat."

Budi Gunadi lantas membeberkan beberapa poin dalam UU Kesehatan. Di antaranya memperkuat pelayanan primer, memperkuat pemanfaatan teknologi kesehatan seperti telemedicine. Kemudian penguatan ketahanan kefarmasian dan alat kesehatan lewat penguatan rantai pasokan dari hulu ke hilir, kata Menkes Budi Gunadi.

"Selain itu pemerintah dan DPR sepakat bahwa diperlukan percepatan produksi dan pemerataan jumlah dokter, dokter spesialis lewat pendidikan berbasis kolegium di rumah sakit pemerintah."

"Pemerintah dan DPR juga sepakat bahwa nakes memerlukan perlindungan hukum saat bertugas dari tindak kekerasan, pelecehan, dan perundungan dari sesama.

"Secara khusus nakes yang melakukan tindak pidana dalam pelayanan kesehatan harus melewati pemeriksaan majelis terlebih dahulu."

Apa saja pasal kontroversial di RUU Kesehatan?

Sejumlah organisasi profesi dan masyarakat sipil menyebut setidaknya ada 6 pasal kontroversial yang perlu dicermati, dikutip dari BBC News Indonesia.

Pasal 154 ayat 3
Pasal itu berbunyi: "Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa narkotika; psikotropika; minuman beralkohol; hasil tembakau; dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya."
Pasal ini disebut kontroversial karena memasukkan tembakau dengan narkotika dan priskotropika dalam satu kelompok zat adiktif. Organisasi profesi IDI khawatir penggabungan ini akan menyebabkan munculnya aturan yang bakal mengekang tembakau jika posisinya disetarakan dengan narkoba dan memicu polemik di kalangan industri tembakau.

Pasal 233 - 241
Sejumlah pasal tersebut akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora beroperasi di dalam negeri. Dikatakan bahwa, "Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang telah lulus proses evaluasi kompetensi dan akan melakukan praktik di Indonesia haru memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) sementara dan Surat Izin Praktik (SIP). Kementerian Kesehatan mengatakan syarat dokter asing bisa bekerja dan berpraktik di Indonesia sangat ketat dan kelak diarahkan memberikan pelayanan kesehatan ke daerah 3T (daerah tertinggal, terdepan, dan terluar). Tetapi Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Usman Sumantri, menilai 'impor' tenaga kesehatan asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. Usman juga mengatakan pemerintah semestinya lebih mengutamakan tenaga kesehatan dalam negeri demi pemerataan pelayanan.

Pasal 235 ayat 1
Tertulis di situ bahwa, "Untuk mendapatkan SIP (Surat Izin Praktik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat 2, tenaga kesehatan harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR), alamat praktik dan bukti pemenuhan kompetensi". Bagi IDI, beleid ini sama saja mencabut peran organisasi profesi dalam hal praktik nakes karena tidak diperlukan lagi surat keterangan sehat dan rekomendasi dari organisasi profesi. Padahal surat rekomendasi itu akan menunjukkan calon nakes yang akan praktik tersebut sehat dan tidak punya masalah etik dan moral sebelumnya.

Pasal 239 ayat 2
Isi pasal ini mengatakan: "Konsil kedokteran Indonesia dan Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai pasal tersebut "melemahkan" organisasi profesi lantaran sebagian besar fungsinya diambil alih oleh Kementerian Kesehatan. Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) yang sebelumnya independen dan bertanggung jawab ke Presiden nantinya akan bertanggung jawab kepada Menteri.

Pasal 314 ayat 2
Pasal itu disebut IDI akan mengamputasi peran organisasi profesi karena isinya yang menyebutkan, "Setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan hanya dapat membentuk satu organisasi profesi". Namun di Pasal 193 terdapat 10 jenis tenaga kesehatan, yang kemudian terbagi lagi atas beberapa kelompok. Dengan begitu total kelompok tenaga kesehatan ada 48. IDI sebagai salah satu penolak RUU Kesehatan, mengaku dibuat bingung, apakah satu organisasi profesi untuk seluruh jenis tenaga kesehatan, atau satu organisasi profesi menaungi setiap jenis kesehatan. Lembaga itu mencontohkan, dokter gigi, dokter umum dan dokter spesialis yang masing-masing punya peran berbeda serta visi misinya juga beda.

Pasal 462 ayat 1
Pasal tersebut menyebutkan: "Setiap tenaga medis atau tenaga kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan pasien luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun." Kemudian di pasal 2 tertulis, "Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kematian, setiap tenaga kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun". Menurut Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pasal itu sebagai "kriminalisasi dokter" lantaran tidak ada penjelasan rinci terkait poin kelalaian yang dimaksud.

Ikatan dokter, perawat dan apoteker menolak UU Kesehatan

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved