Berita Sumut

Warga Bumper Sibolangit saat Orasi di Aksi Partai Buruh: Gubernur Edy Rahmayadi Layak Ditembak Mati

Perwakilan warga Arfi Hasibuan mengatakan Gubernur Edy Rahmayadi layak ditembak mati karena sudah melakukan pembegalan terhadap rakyat.

|
Tribun Medan/Rechtin Hani Ritonga
Perwakilan Masyarakat Sibolangit Arfi Hasibuan dan Kuasa Hukum warga Dusun I dan V Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Deliserdang Tomy Aditya Sinulingga saat diwawancarai di depan kantor Gubernur Sumut, Rabu (9/8/2023). 

TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Perwakilan dari warga Dusun I dan V Desa Bandar Baru, Kecamatan Sibolangit, Deliserdang atau tepatnya di kawasan Bumi Perkemahan Sibolangit melakukan orasi saat aksi Partai Buruh di depan kantor Gubernur Sumut, Jalan Diponegoro Medan, Rabu (9/8/2023).

Dalam orasinya, perwakilan warga Arfi Hasibuan mengatakan Gubernur Edy Rahmayadi layak ditembak mati karena sudah melakukan pembegalan terhadap rakyat. Dalam hal ini adalah penggusuran yang dilakukan terhadap warga di Bumi Perkemahan Sibolangit.

Baca juga: Aksi Partai Buruh Sumut Bawa 9 Tuntutan, Kenaikan UMP hingga Aspirasi Petani di Bumper Sibolangit

"Pak Edy Rahmayadi, banyak statement yang kau sampaikan bahwa pemberantasan pembegal itu wajib dan kalau bisa ditembak mati, dan saya sampaikan bahwa pembegal rakyat itu lebih keji dan lebih layak ditembak mati. Maka saya sampaikan, saat ini saya katakan Edy Rahmayadi layak ditembak mati karena telah membegal hak-hak rakyat," ujar Arfi dalam orasinya.

Arfi menyebut, saat ini kondisi petani dan masyarakat yang tinggal di Dusun I dan Dusun V Desa Bandar Baru sedang tidak baik-baik saja.

"Kami masyarakat Bandar Baru siang malam bersedih dan gelisah, begitu juga anak-anak di sana mempertanyakan kepada ibunya kekmana kita bapak, di mana kita tinggal, bagaimana sekolah saya. Itulah yang harus kalian ketahui bahwasanya masyarakat Bandar Baru sedang tidak baik-baik saja sedang mempertanyakan kemerdekaan yang di mana kemerdekaan itu dipijak oleh Bapak Edy Rahmayadi," katanya.

Menurut Arfi, saat ini masyarakat Bandar Baru sangat kecewa dengan pernyataan yang dilontarkan Edy Rahmayadi terkait tidak diperlukannya diskusi dengan masyarakat soal lahan Buper Sibolangit.

Baca juga: Gubernur Edy Rahmayadi Sebut Penertiban Bumper Sibolangit Dilakukan Usai Kedatangan Presiden Jokowi

"Pak Edy juga berstatement bahwa tidak ada lagi diskusi terkait penggusuran. Kalau tidak mau diskusi tak usah kau jadi gubernur, kalau kau tak mau bermusyawarah tak usah jadi rakyat Indonesia," ucapnya.

"Karena Indonesia semua kepentingan itu bermusyawarah, apalagi kepentingan rakyat, kepentingan buruh, kepentingan nelayan dan petani. Jadi jangan macam-macam Bapak Edy Rahmayadi, saya tahu kau Jenderal, tapi setahu saya di dalam Undang-undang rakyat lebih tinggi dari apapun itu," tambahnya

Miliki Bukti Hukum

Kuasa Hukum masyarakat di sekitar Buper Sibolangit, Tomy Aditya Sinulingga mengatakan pihaknya memiliki bukti hukum yang cukup untuk tetap menempati wilayah Buper Sibolangit.

"Kami menyatakan bahwa SK pakai yang digunakan Pemprov Sumut dan Kwarda tidak berlaku dan dinyatakan terlantar karena sudah ditempati berpuluh tahun dan turun temurun. Karena sejarah tanah itu sebelum merdeka pun di sana sudah ada perkampungan, kita sudah membuktikan karena sudah ada batu nisan tahun 1939, dan bukti-bukti perkampungan," ujar Tomy.

Tomy menuturkan, secara historis, pada tahun 1977 masyarakat memang dipaksa meninggalkan lokasi untuk kegiatan Jambore Nasional pada masa orde baru.

Baca juga: Soal Penggusuran Bumper Sibolangit, Edy Rahmayadi: Tidak Ada Diskusi

Saat itu, kata dia, masyarakat sangat ketakutan dan meninggalkan tanahnya dan memberikan surat-surat tanah. 

"Tapi ada sebagian yang bandal. Diserahkan tanah tersebut tetapi tidak diberikan suratnya kepada pemerintah. Itu sudah ada kita buktinya. Kemudian Bupati Deliserdang pada tahun 1977 melakukan pinnjam pakai untuk dijadikan lahan jambore nasional," katanya.

Ia menuturkan, dokumen-dokumen itulah yang menjadi dasar hukum, dan menyatakan masyarakat bukan sebagai penggarap.

Kemudian, kata Tomy, pada saat jatuhnya masa orde baru tahun 1998, keesokan harinya masyarakat merebut kembali haknya.

"Sampai hari ini jadi perkampungan dan diakui Dukcapil, bahkan pemilu, pilkada mereka juga ikut mencoblos di wilayah tersebut. Dan ada juga sekolah, tempat ibadah, pesantren, gereja, kelenteng, itu sudah dimiliki di sana," ujarnya.

Tomy mengaku, pihaknya sangat kecewa dengan keputusan Pemprov Sumut untuk menggusur rumah masyarakat.

Baca juga: Rencana Penggusuran Bumper Sibolangit, Komisi A DPRD Sumut Akan Surati Gubernur Edy Rahmayadi

Ia mengaku, selama jabatan gubernur sebelum Edy Rahmayadi, belum ada yang memberikan surat peringatan kepada masyarakat.

"Tiba-tiba Pemprov Sumut tahun 2022 meminta masyarakat untuk meninggalkan kawasan itu tanpa musyawarah dalam hal ini mau melakukan penggusuran. Ini yang sangat kami kecam, Komnas HAM juga sangat marah, apakah dalam hal ini masyarakat lebih hina dari binatang Binatang saja ada relokasinya," pungkasnya.

(cr14/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved