Perang Hamas vs Israel
Duta Besar Israel untuk PBB: Menginvasi Gaza Bukan untuk Merebut Daerah, Tapi untuk Menumpas Hamas
Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan, mengatakan IDF menginvasi Jalur Gaza bukan untuk merebut daerah kantong, melainkan untuk menumpas Hamas
TRIBUN-MEDAN.COM - Presiden Iran Ebrahim Raisi menghubungi Putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, Rabu (11/10/2023).
Dikutip dari laporan Iranpress, Senin (16/10/2023), dalam pembicaraan yang dilakukan melalui sambungan telepon itu, Ebrahim Raisi dan Salman membahas konflik Palestina-Israel.
Menurut iranpress, kedua pemimpin tersebut membahas perlunya mengakhiri kejahatan perang terhadap Palestina.
Pembicaraan itu merupakan yang pertama yang mereka lakukan setelah kedua negara kembali menjalin hubungan bilateral sejak dimediasi oleh China pada Maret 2023.
Diketahui, hubungan Arab Saudi dan Iran di sebelumnya sudah lama retak. Kini, ada harapan besar bagi kawasan Timur Tengah atas pulihnya relasi kedua negara besar itu.
Sementara, Kantor Berita Resmi Arab Saudi, SPA, melaporkan, dalam pembicaraan tersebut mereka membahas juga eskalasi militer yang tengah berlangsung di Gaza.
Pangeran Bin Salman menekankan bahwa pihak Kerajaan Arab Saudi akan mengerahkan upaya maksimal untuk melibatkan semua pihak internasional dan regional untuk menghentikan eskalasi yang sedang berlangsung tersebut. Arab Saudi juga menolak segala bentuk penargetan warga sipil dan hilangnya nyawa orang tak berdosa.
Lebih lanjut Bin Salman menekankan perlunya mematuhi prinsip-prinsip hukum kemanusiaan internasional dan menyatakan keprihatinan mendalam atas situasi kemanusiaan.
“Kerajaan Arab Saudi terus teguh membela perjuangan Palestina, serta mendukung upaya yang bertujuan untuk mencapai perdamaian komprehensif dan adil yang menjamin hak-hak sah rakyat Palestina,” kata Bin Salman, dilaporkan SPA.
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, juga menegaskan bahwa ia akan mengerahkan upaya keras untuk membangun komunikasi dengan mitra regional dan internasional untuk mencapai koordinasi demi mendorong penghentian perang Israel-Hamas. Karena yang menjadi korban merupakan warga sipil yang tidak bersalah.
Di sisi lain, Israel telah membentuk pemerintahan persatuan darurat.
Dua tokoh utama Israel yang sebelumnya berseteru, yaitu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan, Benny Gantz duduk di kabinet tersebut.
Perang yang terus berkecamuk, juga memicu kekhawatiran atas nasib setidaknya 150 sandera – sebagian besar warga Israel, termasuk warga asing dan berkewarganegaraan ganda – yang ditahan Hamas di Gaza.
Para analis mengatakan perang tersebut telah memberikan pukulan berat terhadap kemungkinan kesepakatan normalisasi penting antara Arab Saudi dan Israel.
Sementara, Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden memperingatkan Iran agar jangan memperkeruh suasana atas eskalasi Hamas-Israel.

Menlu Iran Bertemu Petinggi Hamas dan Hizbullah di Suriah
Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amir-Abdollahian melontarkan ancaman, Israel bisa mengalami "guncangan besar" jika terus membombardir Gaza.
Ia menyebut organisasi Hizbullah Lebanon dapat melibatkan diri dalam konflik jika Israel terus menyerang Gaza. Hizbullah sendiri merupakan organisasi politik dan paramiliter Syiah yang disokong Iran. Saat mengunjungi Beirut, Lebanon, Amir-Abdollahian menyebut Hizbullah telah mempertimbangkan semua skenario perang.
Menteri Luar Negeri Iran tersebut pun mengaku telah bertemu dengan pemimpin Hizbullah, Sayyed Hassan Nasrallah, dan juga pemimpin Hamas, Ismail Haniyeh, di Qatar, pada Sabtu (14/10/2023) hingga Minggu (15/10/2023).
"Saya tahu tentang skenario-skenario yang telah dipersiapkan Hizbullah. Setiap langkah perjuangan yang diambil (Hizbullah) akan menimbulkan guncangan besar di dalam entitas Zionis," kata Amir-Abdollahian dikutip Associated Press.
"Saya ingin memperingatkan para penjahat perang (Israel) dan mereka yang mendukung entitas ini sebelum terlambat untuk menghentikan kejahatan terhadap warga sipil di Gaza, karena mungkin terlalu terlambat dalam beberapa jam lagi,"lanjutnya.
Menlu Iran itu juga mengaku akan berkomunikasi dengan pejabat-pejabat PBB di Timur Tengah untuk mencari inisiatif mengakhiri perang Israel-Hamas yang pecah sejak akhir pekan lalu.
Namun, menurutnya insiiatif ini "mungkin sudah terlambat (jika dilakukan) besok."
Hizbullah merupakan organisasi yang dianggap Israel sebagai ancaman paling serius.
Tel Aviv memperkirakan organisasi itu memiliki sekitar 150.000 roket dan rudal, termasuk rudal berpemandu-presisi yang dapat menjangkau setiap titik di Israel.
Hizbullah pun memiliki ribuan kombatan yang pengalamannya terasah selama 12 tahun perang sipil Suriah yang didukung Rusia.
Hizbullah juga dilaporkan memiliki berbagai jenis drone militer.
Kombatan Hizbullah dilaporkan telah berada dalam kondisi siaga penuh di perbatasan Lebanon-Israel sejak akhir pekan lalu.
Di lain sisi, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memperingatkan para pihak di Timur Tengah untuk tidak terlibat konflik.
Militer AS juga menerjunkan kapal induk ke Mediterania dan berjanji mendukung penuh Israel.

Petinggi Hamas Ismail Haniyeh Perintahkan Warga Sipil Palestina Tetap di Gaza
Sementara, Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh mendesak warga Palestina pada Sabtu (14/10/2023) untuk menolak “pengungsian” di Jalur Gaza atau keluar dari wilayah kantong yang diblokade ke Mesir. Desakan itu muncul menyusul adanya serangan udara Israel dan imbauan warga untuk mengungsi.
Dalam pidatonya yang disiarkan televisi, pemimpin yang berbasis di Qatar tersebut menyebut serangan besar-besaran yang menargetkan komunitas Israel di dekat perbatasan Gaza pada 7 Oktober sebagai “serangan strategis” yang akan membantu “pembebasan kami.” Lebih dari 1.300 orang tewas – baik dari kalangan warga sipil dan pasukan keamanan – di Israel sejak militan Hamas menyerbu wilayah selatan negara itu serta menawan sedikitnya 120 orang, menurut para pejabat Israel.
Israel menggempur Gaza dengan serangan udara dan tembakan artileri yang merenggut sedikitnya 2.215 nyawa di daerah kantong Palestina yang diblokade selama seminggu terakhir, menurut pejabat Hamas. Tentara Israel telah meminta warga Gaza di utara wilayah kantong tersebut untuk mengungsi ke selatan guna menghindari serangan.
“Tidak untuk pengungsian dari Tepi (Barat), bukan dari Gaza dan tidak untuk pengungsian dari Gaza ke Mesir,” kata Haniyeh dalam pidatonya, AP.
“Keputusan kami adalah tetap berada di wilayah kami".
"Kami ingin pendudukan ini meninggalkan tanah kami agar kami memiliki negara dan Yerusalem sebagai ibu kotanya… dan agar rakyat Palestina kami dapat kembali,” katanya Haniyeh.
Sebelumnya pada Sabtu (14/10/2023), Ismail Haniyeh menuduh Israel melakukan kejahatan perang dan mencegah bantuan kemanusiaan memasuki Gaza. “Kekejaman Israel merupakan kejahatan perang,” katanya dalam sebuah surat yang ditujukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres yang diunggah di situs kelompok Palestina.
Haniyeh juga mengutuk "pengepungan biadab yang dilakukan Israel" terhadap wilayah Palestina, dan menuduh bahwa "pendudukan Israel melarang masuknya bantuan kemanusiaan dan pasokan medis ke Jalur Gaza.” Dia mendesak Guterres untuk memberikan tekanan kepada Israel agar memungkinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.
Baca juga: Daftar Nama 7 Petinggi Hamas Berperan Penting dalam Serangan ke Israel, Ada Hidup Mewah di Qatar

Militer Israel (IDF) Persilakan Bantuan Masuk ke Gaza dengan Ketat
Sementara, stasiun televisi, Al Arabiya TV, melaporkan militer Israel menghentikan gempuran sekitar 5 jam pada Senin (16/10/2023) mulai pukul 08.00 untuk memungkinkan pengiriman bantuan kemanusiaan dan menyediakan koridor aman bagi warga Gaza yang ingin meninggalkan daerah kantong tersebut.
Al Arabiya TV menunjukkan setidaknya 100 truk berisi bantuan telah tiba di titik persimpangan Rafah, perbatasan Gaza dengan Mesir.
Ratusan truk itu menunggu jalur aman didirikan. Meski begitu, setelah bantuan tiba, militer Israel terus melancarkan serangan ke Gaza, demikian menurut laporan Al Arabiya TV.
Di sisi lain, Kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membantah adanya gencatan senjata di Jalur Gaza pada Senin (16/10/2023). "Saat ini tidak ada gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan di Gaza sebagai imbalan untuk memindahkan warga sipil (selain militan Hamas)," demikian pernyataan kantor Netanyahu, seperti dikutip AFP, Senin (16/10/2023).
Militer Israel sebelumnya mengumumkan akan menahan diri menyerang dua jalan di Jalur Gaza, demi membangun koridor aman bagi warga sipil untuk meninggalkan daerah kantong.
"Pasukan Pertahanan Israel (IDF) bakal menahan diri dari menargetkan poros yang ditunjuk dari pukul 08.00 pagi waktu setempat hingga 12.00," kata juru bicara IDF Avichay Adraee dalam unggahan di X. "Demi keselamatan Anda, manfaatkan waktu singkat ini untuk pindah ke selatan dari utara Jalur Gaza dan Kota Gaza," lanjut Adraee, seperti dikutip AFP.
Dalam pernyataan terpisah, juru bicara IDF Jonathan Conricus mengatakan dua jalan yang telah didesain bakal aman untuk dilewati warga sipil selama periode tersebut.
Sejumlah media juga melaporkan bahwa Israel, Mesir, dan Amerika Serikat sepakat untuk membuka penyeberangan Rafah, perbatasan Gaza dan Mesir, selama beberapa jam guna memudahkan evakuasi warga dan memberi jalan untuk masuknya bantuan kemanusiaan.
Israel: Menginvasi Jalur Gaza bukan untuk merebut daerah kantong, melainkan untuk menumpas milisi Hamas.
Di sisi lain, Duta Besar Israel untuk PBB, Gilad Erdan, mengatakan IDF menginvasi Jalur Gaza bukan untuk merebut daerah kantong, melainkan untuk menumpas milisi Hamas.
"Kami tidak tertarik untuk menduduki Gaza atau menetap di Gaza, tapi karena kita berjuang untuk kelangsungan hidup kami dan satu-satunya cara seperti yang didefinisikan oleh Presiden sendiri yaitu melenyapkan Hamas, jadi kami harus melakukan apa pun yang diperlukan untuk membasmi kemampuan mereka," kata Erdan, Senin (16/10/2023).
Erdan melontarkan pernyataan ini tak lama setelah Presiden Amerika Serikat Joe Biden mewanti-wanti Israel untuk tidak menduduki Gaza seiring dengan sinyal Tel Aviv yang mengaku tengah bersiap menginvasi darat Jalur Gaza. Dalam wawancara bersama CBS yang mengudara Minggu, Biden mengatakan Israel melakukan "kesalahan besar" jika menduduki Gaza.
Komentar Biden ini merupakan yang kesekian kalinya ia memperingatkan Israel untuk menahan diri dalam menanggapi serangan Hamas. Senada, Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat, Michael Herzog, mengatakan kepada CNN bahwa Israel tidak berniat menduduki Gaza setelah konflik berakhir.
"Kami tidak memiliki keinginan untuk menduduki atau menduduki kembali Gaza. Kami tidak memiliki keinginan untuk menguasai kehidupan lebih dari 2 juta warga Palestina," ucap Herzog.
Sementara itu, selain mewanti-wanti agar Israel menahan diri, Biden juga meminta Tel Aviv melindungi warga sipil dari perang yang terus berkobar itu.
Sejalan dengan itu, Washington berupaya agar warga Gaza kembali menerima pasokan makanan, air, dan gas. Erdan mengatakan pasokan air saat ini telah dihidupkan kembali di selatan Gaza. Namun, dia tak menjabarkan apakah pasokan listrik turut dihidupkan kembali.

Pernyataan Presiden Palestina Mahmoud Abbas
Di tempat terpisah, Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan tindakan dan kebijakan faksi Hamas di Jalur Gaza tak merepresentasikan rakyat Palestina.
Demikian diutarakan Abbas seperti dilansir Reuters yang mengutip kantor berita resmi Palestina, WAFA News, Senin (16/10).
Pernyataan Abbas itu disebut saat dia sedang berbicara lewat sambungan telepon dengan Presiden Venezuela Nicolas Maduro.
Abbas juga menyebut Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai "satu-satunya perwakilan sah rakyat Palestina."
Meskipun demikian, Abbas menegaskan agar serangan sporadis Israel ke Jalur Gaza sejak 7 Oktober lalu untuk 'memburu' atau 'membalas' milisi Hamas segera dihentikan.
Hal serupa disampaikan Abbas ketika dia berbincang via telepon dengan Presiden AS Joe Biden yang diberitakan WAFA pada Sabtu (14/10/2023) lalu.
Dalam pembicaraan telepon Sabtu malam waktu Palestina itu, Abbas menegaskan kepada Biden bahwa perdamaian dan keamanan di kawasan itu hanya akan tercapai melalui penerapan solusi dua negara berdasarkan resolusi legitimasi internasional.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Abbas menekankan perlunya menghentikan semua serangan dan menghormati hukum kemanusiaan internasional mengenai apa yang terjadi di Jalur Gaza.
Abbas juga menekankan kepada Biden perihal perlunya membuka koridor kemanusiaan yang mendesak di Jalur Gaza, menyediakan bahan-bahan dasar dan pasokan medis, menyalurkan air, listrik dan bahan bakar kepada warga di sana. Dia dengan tegas menolak penggusuran warga Palestina dari Jalur Gaza.
Presiden Abbas juga meminta Biden bisa mendorong untuk mengakhiri segala serangan pemukim Israel terhadap rakyat kami di kota-kota, desa-desa dan kamp-kamp pengungsi Palestina di Tepi Barat, dan diakhirinya serangan ekstremis ke Masjid Al-Aqsa.
Sehari sebelumnya, pada Jumat (13/10/2023), WAFA memberitakan, Presiden Abbas bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken di ibu kota Yordania, Amman. Dalam perbincangan tersebut, Abbas juga meminta Blinken membawa AS untuk mendorong sejumlah hal yang dituntutkannya ke Joe Biden sehari kemudian.
Sebelumnya, ketika Hamas memulai operasinya di Israel pada Sabtu (7/10/2024), pada hari yang sama, Presiden Mahmoud Abbas menyoroti hak warga Palestina untuk membela diri dari “teror pemukim Israel dan pasukan pendudukan”, menurut laporan kantor berita pemerintahan otoritas Palestina, WAFA.
Pernyataan itu disampaikan Abbas dalam pertemuan darurat yang digelar di Ramallah bersama pejabat senior pemerintahannya. Dia juga memerintahkan bawahannya untuk menyediakan segala sesuatu yang diperlukan “untuk memperkuat rakyat Palestina dalam menghadapi kejahatan yang dilakukan oleh Israel”.
Sementara, Kementerian Luar Negeri Otoritas Palestina, Riyad al-Maliki, mengunggah pernyataan di media sosial bahwa mereka “berulang kali memperingatkan konsekuensi menghalangi cakrawala politik dan tidak membiarkan rakyat Palestina menggunakan hak mereka untuk menentukan nasib sendiri.”
Rakyat Palestina telah lama menghadapi krisis kepemimpinan politik. Hamas mendapat dukungan dari Gaza, yang menyingkirkan Partai Fatah pimpinan Abbas yang lebih moderat.
Abbas didukung oleh Barat, namun dia tidak populer di kalangan masyarakat Palestina. Dia telah meminta bantuan PBB untuk menghentikan apa yang dia anggap sebagai “agresi Israel” di Gaza dalam pembalasan atas serangan Hamas. Sementara, Hamas semakin populer di kalangan Palestina yang didukung sejumlah komunitas negara Arab.
Pemerintahan Otoritas Nasional Palestina (PNA): Para sandera harus dilindungi
Dalam wawancara yang menegangkan dengan BBC, Duta Besar Palestina untuk Inggris sekaligus penasehat Presiden Abbas, Husam Zomlot, marah kepada jurnalis Lewis Vaughan Jones karena menanyakan apakah dia mendukung serangan Hamas terhadap Israel.
“Hamas adalah kelompok militan. Anda berbicara dengan perwakilan Palestina dan posisi kami sangat jelas,”tegasnya.
“Ini bukan tentang mendukung atau tidak mendukung. Saya di sini mewakili rakyat saya, rakyat Palestina, atas apa yang terjadi. Saya di sini bukan untuk mengutuk siapa pun,” ujarnya.
“Hamas bukanlah pemerintah Palestina,” tegas Zomlot lagi.
“Rakyat Palestina selalu diharapkan untuk mengutuk diri mereka sendiri (atas serangan seperti yang dilakukan Hamas). Ini adalah konflik politik dan hak-hak kami telah lama ditolak,” lanjutnya kemudian.

Dari sudut pandangnya, titik awal untuk membahas persoalan ini semestinya fokus pada akar penyebab dari apa yang terjadi.
Dia menambahkan bahwa apa yang dialami oleh orang Israel “adalah apa yang dialami orang Palestina setiap hari selama 50 tahun terakhir.”
“Gaza adalah penjara terbuka terbesar,” kata Zomlot, lalu menambahkan bahwa dua juta penduduknya “disandera” oleh Israel.
Hamas menyandera sekitar 150 warga Israel setelah menyerang pada Sabtu lalu.
Mereka mengancam akan mengeksekusi para sandera untuk setiap serangan tanpa peringatan yang dilakukan Israel di Gaza.
Ketika ditanya apa solusinya untuk konflik ini, Husam Zomlot mengatakan bahwa mereka berharap resolusi hukum internasional diterapkan secara “adil”.
Dalam wawancara lain untuk program BBC Newsnight, Husam Zomlot mengatakan bahwa Otoritas Palestina tidak menolerir kematian warga sipil.
“Sikap kami sangat jelas. Kami menolak segala serangan atau tindakan yang merugikan warga sipil dari semua pihak.”
“Kami telah berkomitmen untuk hal ini selama 30 tahun. Kami berkomitmen pada nir-kekerasan, pada negosiasi,” katanya kepada presenter Kirsty Wark.
“Para sandera harus dilindungi. Tidak ada diskusi soal itu. Kita harus mendapatkan kembali otoritas moral dan Israel harus segera berhenti menyerang warga sipil,” katanya.
Bagaimana perpecahan antara Hamas dan Otoritas Palestina (Fatah) bermula?
Abbas, sebagai Presiden Otoritas Nasional Palestina dan politisi Partai Fatah, memerintah di wilayah Tepi Barat. Sedangkan Hamas, menjalankan kekuasaan di Jalur Gaza.
Ketegangan antara Fatah dan Hamas telah mendominasi politik Palestina sejak 2006, ketika Hamas menang dalam pemilihan parlemen Otoritas Palestina untuk Dewan Legislatif Palestina.
Kemenangan (tahun 2006) itu pun mengakhiri era dominasi faksi Fatah.
Setelah konflik bersenjata antara kedua faksi dan gagalnya upaya membentuk pemerintah yang bersatu, Palestina menjadi terpecah secara politik dan teritorial sejak tahun 2007.
Ketegangan yang mendalam antara Hamas (yang dianggap sebagai faksi radikal) dan Fatah (yang dianggap sebagai faksi moderat) terus berlanjut hingga saat ini.
Meskipun Hamas dan Fatah memiliki tujuan yang sama untuk kebebasan dan hak penuh negara Palestina, metode mereka untuk mencapainya sangat berbeda.
Fatah menganjurkan solusi damai dengan Israel. Para pemimpinnya mendukung solusi dua negara, yang mengacu pada perbatasan tahun 1967, dan proses negosiasi. Mereka (faksi Fatah) tidak mendukung perjuangan kemerdekaan dengan perang bersenjata.
Hal itu pun membuat Otoritas Nasional Palestina, yang mewakili Fatah, diakui di luar negeri sebagai pemerintahan sipil di wilayah Palestina.
Di sisi lain, Hamas mengesampingkan jalur negosiasi dengan Israel dan menganjurkan perjuangan bersenjata sebagai metode perlawanan terhadap “pendudukan” Israel di wilayahnya.
Salah satu tujuannya adalah untuk membentuk negara Islam Palestina yang mencakup seluruh wilayah “Palestina bersejarah”, termasuk di mana Israel sekarang berada. Hamas ingin menghilangkan Israel dari muka bumi. Ingin mengulangi sejarah yang pernah dialami Yahudi Israel berabad-abad silam.
(*/Tribun-medan.com/AP/AFP/Reuters/BBC)
Baca juga: Daftar Nama 7 Petinggi Hamas Berperan Penting dalam Serangan ke Israel, Ada Hidup Mewah di Qatar
Baca juga: Jokowi Izinkan Andi Widjajanto Mundur dari Gubernur Lemhannas RI, Andi: Untuk Menjaga Netralitas
Baca juga: Society 5.0 vs Komunikasi IT: Andi Widjajanto vs Budi Arie Setiadi - TPN Ganjar vs Projo Prabowo
Baca juga: ISRAEL DIKEPUNG BANJIR Usai Bombardir Palestina, Serangan Darat Lawan Hamas Ditunda!
Baca juga: KERAS! Iran Ancam Bombardir Israel Jika Terus Serang Gaza & Hamas, Kirim Hizbullah Gempur Zionis!
Baca juga: PERANG DI LAUT, Israel Tembaki Prajurit Hamas yang Berenang ke Pantai Israel
KENAPA Hamas Minta Jusuf Kalla Jadi Mediator Perang Palestina vs Israel? Ini Sederet Pengalaman JK |
![]() |
---|
Serangan Hizbullah Rudal Fasilitas Militer Israel, Klaim Semua Tentara IDF Tewas di Tempat |
![]() |
---|
Mati Konyol, 2 Tentara Israel Tewas Tertembak Tanknya Sendiri, IDF: Tak Sengaja, Dikira Hamas |
![]() |
---|
Dirilis Militer Israel, Inilah Foto dan Video Terowongan Hamas di Gaza, Diklaim Jadi Tempat Sandera |
![]() |
---|
Baru Ketahuan, 4.000 Tentara Bayaran Israel Warga Prancis, Bukannya Perang Malah Terancam Penjara |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.