Sumut Terkini
LPSK Sebut Saksi Masih Alami Trauma saat Jalani Sidang TPPO Terbit Rencana di PN Stabat
Keenam orang saksi yang dalam perlindungan LPSK, masih mengalami trauma hingga sampai saat ini.
Penulis: Muhammad Anil Rasyid | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com, LANGKAT - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) ungkap kondisi saksi-saksi yang pada hari ini menjalani sidang perkara terdakwa Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin pada kasus Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO) di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Selasa (24/10/2023).
Keenam orang saksi yang dalam perlindungan LPSK, masih mengalami trauma hingga sampai saat ini.
Adapun saksi-saksi tersebut bernama Yanen Sembiring, Edo Syahputra Tarigan, Suherman, dan Heru Pratama Gurusinga. Namun kedua saksi lainnya belum dibeberkan identitasnya di dalam persidangan, karena mengikuti sidang secara online.
"Hari ini ada enam orang saksi yang merupakan perlindungan LPSK yang dihadirkan pada sidang hari ini. Empat orang diantaranya akan bersidang secara offline dan dua orang menjalani sidang online," ujar Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi saat diwawancarai di PN Stabat, Selasa (24/10/2023).
"Situasi sebenarnya korban yang masih dalam perlindungan LPSK masih mengalami trauma karena peristiwa yang dialami ketika dikereng (kerangkeng) itu, masih membekas sama mereka," sambungnya.
Lanjut Edwin, sesuatu yang dilakukan di luar jiwa kemanusiaan, tentu itu tidak akan mudah hilang dari ingatakan para saksi.
"Kami juga tadi menyaksikam sidang yang dibuka oleh majelis hakim. Kami menyampaikan apresiasi kepada majelis hakim yang memperhatikan posisi terlindung kami, hakim sangat peduli bahwa situasi korban yang masih potensi traumatis, sehingga kemudian pemeriksaan saksi secara offline pun tidak dihadiri oleh terdakwa di dalam ruang sidang," ujar Edwin.
Edwin menambahkan, hal ini bisa menjadi contoh bagi pengadilan yang lainnya, bahwa udang-undang korban memang memfasilitasi adanya pemeriksaan keterangan saksi, tanpa dihadiri terdakwa.
Tak hanya itu, Edwin menguraikan, jika korban ada sekitar 14 orang yang dalam lindungan LPSK pada perkara TPPO.
"Namun ada 18 orang korban yang kerugiannya atas peristiwa yang dialami sudah kami hitung. Dan hasil perhitungannya sudah kami sampaikan ketika diproses penyidikan termasuk sudah masuk di dalam dakwaan," ujar Edwin.
Dan biasanya juga, Wakil Ketua LPSK ini menjelaskan, hakim akan meminta kepada LPSK untuk menjelaskan bagaimana penghitungan itu.
Apa saja kerugiannya dan bagaimana cara menghitungnya.
"Pada akhirnya kami serahkan ke majelis hakim untuk mengabulkan permohonan kami tersebut. Restitusi bagian dari hak korban, kalau menyangkut tuntutan terhadap terdakwa, tentu itu wilayahnya jaksa. Harapan kita tentunya majelis hakim memvonis terdakwa seadil-adilnya," ujar Edwin.
Dengan demikian total biaya restitusi korban sejumlah Rp 2.677.873.143.
Dikabarkan sebelumnya, tak digaji selama setahun, itulah yang diungkapkan oleh Heru Pratama Gurusinga saat ia bekerja di pabrik kelapa sawit PT Dewa Rencana Perangin-Angin (DRP).
Hal ini diungkapkan Heru saat menjadi salahsatu saksi korban dalam lindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) pada sidang perkara terdakwa Bupati Langkat nonaktif, Terbit Rencana Perangin-Angin pada kasus Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO).
Tak hanya Heru ada lima saksi korban lainnya yang dimintai keterangannya. Namun terdakwa Terbit yang semulanya berada di dalam ruang sidang, terpaksa dikeluarkan sebelum sesaat saksi Heru memasuki ruangan sidang Pengadilan Negeri (PN) Stabat, kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
"Saya dikerjakan di pabrik terdakwa, tidak di gaji selama setahun saya kerja. Cuma makan dapat tiga kali sehari," ujar Heru dihadapan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Stabat, Andriyansyah dan hakim anggota, Cakra Tona Parhusip, serta Zainal Hasan, Selasa (24/10/2023).
Heru pun menceritakan bagaimana awal dirinya bisa bekerja di pabrik kelapa sawit PT DRP.
"Awal mula saya dikerangkeng dulu di belakang rumah terdakwa. Saya dikerangkeng karena narkoba pada awal bulan tahun 2021 lalu," ujar Heru.
Pada saat itu Heru menambahkan, dirinya dijemput oleh anak buahnya terdakwa Terbit Rencana bernama Jerapah dan Jurnalista Surbakti alias Uci.
Dihadapan majelis hakim Heru mengaku, ternyata penjemputan itu atas restu orangtuanya.
"Di Lapangan Binjai saya dijemput. Dipiting langsung dibawa masuk ke dalam mobil dan langsung dibawa ke kerangkeng yang berada di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala," ujar Heru.
Heru pun menggambarkan suasana kerangkeng pada saat pertama ia dimasukkan. Ada sekitar 30 orang yang berada di dalam sel kerangkeng.
"Saya baru diperkerjakan di pabrik atas perintah Uci, setelah dua Minggu berada di dalam kerangkeng. Tapi pertama kali saya masuk, saya diselangi (dipukul pakai selang kompresor)," ujar Heru.
Berjalannya waktu, Jurnalista Surbakti alias Uci yang juga menjadi pembina selama berada dikerangkeng, ternyata memiliki niat jahat juga terhadap terdakwa Terbit Rencana.
"Saya disuruh Uci nyuri sawit dan besi di pabrik terdakwa. Setiap nyuri saya dikasih imbal sabu oleh Uci. Setelah enam bulan dikerangkeng, saya baru makai sabu dan dikasih Uci," ujar Heru.
Majelis hakim pun bertanya kepada Heru, apakah terdakwa Terbit Rencana sering ke kerangkeng apa tidak.
"Sering terdakwa datang ke kerangkeng, terdakwa juga sering datang ke pabrik," ujar Heru.
Sedangkan itu Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Langkat, menyoal apakah saksi Heru selama dikerangkeng pernah mendapat pengobatan yang layak seperti halnya pecandu narkoba.
"Saya gak pernah dapat pengobatan layaknya pengobatan pecandu narkoba. Intinya kalau kami perintah, kami diselang. Asal anak baru masuk diselang, kalau gak bisa dibina ya dibinasakan," ujar Heru.
Sementara itu penasihat hukum terdakwa Terbit Rencana Perangin-Angin menyoal soal fasilitas apa saja yang didapatkan Heru selama dikerangkeng.
"Saya dikasih makan tiga kali sehari. Kalau makan dan minum disitu cukup. Uang air dan listrik gak bayar. Sabun dan odol orangtua yang sediakan. Fasilitas hanya tempat tidur, makan, dan habis itu kerja dipabrik," urai Heru.
Bahkan Heru sempat bertanya ke penasihat hukum terdakwa yang berulang kali menyebutkan di dalam persidangan jika kerangkeng yang dimaksud adalah tempat rehabilitas.
Menurut Heru ia tak merasa sebagai orang yang sedang direhabilitas.
"Saya keluar saya ceritakan apa yang saya alami selama di dalam kerangkeng ke orangtua. Orangtua saya menyesal telah memasukkan saya. Saya pun keluar pas lagi-lagi heboh kerangkeng waktu itu," ucap Heru.
Penasihat hukum terdakwa kembali menanyai Heru, kalau menyesal kenapa tidak melaporkannya ke pihak kepolisian apa yang sudah ia alami selama dikerangkeng.
"Saya tidak berani membuat laporan polisi usai keluar dari kerangkeng. Dan saya tidak berani menceritakan ke orangtua saat menjenguk saya, karena sudah ada perjanjian. Kalau kami mengadu ada hukumannya," ujar Heru.
Adapun yang menjadi alasan orangtua Heru memasukkan anaknya ke kerangkeng, karena banyak warga yang keluar dari kerangkeng berubah dan tak menggunakan narkoba lagi. Namun pada akhirnya penyesalan yang didapatkan.
"Kata orangtua saya, banyak orang yang berubah kalau keluar dari kerangkeng. Dan lebih dekat dari rumah," ucap Heru.
"Saya sudah berkeluarga. Istri tidak senang kalau saya di dalam kerangkeng. Apalagi nampak luka yang ada dibelakang tubuh saya, menangis dia. Pada intinya saya keluar dari kerangkeng dalam keadaan cacat, dan kandung kemih saya dioperasi karena turun saat kerja dipabrik," sambungnya.
Usai mendengarkan keterangan saksi Heru, terdakwa Terbit Rencana dihadirkan kembali ke dalam ruang sidang.
Dan diminta majelis hakim menanggapi apa yang disampaikan saksi Heru.
"Yang disampaikan saksi saya keberatan yang mulia, karena itu semua tidak benar. Karena saya tidak mengenal saksi Heru. Dan pemaparannya itu, soal tempat pembinaan punya saya, saya keberatan yang mulia. Itu bohong yang mulia," ujar Terbit usai mendengar pemaparan majelis hakim seperti apa yang telah disampaikan saksi Heru.
"Karena yang mulia menyebut nama kereng (kerangkeng) sebenarnya itu bukan kereng. Karena itu tempat penyebutan penyembuhan orang yang menyalahi penggunaan narkoba. Karena itu salahsatu program organisasi," sambungnya.
Dikabarkan sebelumnya, Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Perangin-Angin kembali menjalani sidang kasus Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO) di Pengadilan Negeri (PN) Stabat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Selasa (24/10/2023).
Persidangan yang semestinya digelar pada pukul 10.00 WIB akhirnya dimulai pada pukul 13.30 WIB, dengan beragendakan pemeriksaan saksi.
Saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Langkat berjumlah enam orang saksi korban.
Keenam orang saksi tersebut berasal dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Amatan wartawan, kawasan atau areal Pengadilan Negeri Stabat, juga dijaga ketat oleh pihak kepolisian yang berasal dari Polres Langkat dan Brimob Polda Sumut.
Bahkan Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi juga tampal hadir di Pengadilan Negeri Stabat.
"Menurut keterangan dari pihak kejaksaan dan pihak LPSK, ada enam orang saksi yang hendak didengar keterangannya dimuka sidang, namun mengenai namanya kami belum bisa sebutkan," ujar Juru Bicara PN Stabat, Cakra Tona Parhusip.
Cakra menambahkan, pada dasarnya LPSK memiliki tugas dan wewenang sebagaimana diatur oleh UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.
Untuk mendampingi saksi dan korban yg meminta perlindungan.
"Tentunya telah melalui telaahan sebagaimana standar operasional prosedur di instansi mereka," ujar Cakra.
"Dan LPSK juga telah berkoordinasi dengan pihak Pengadilan Negeri Stabat perihal kehadiran mereka dalam rangka pendampingan dan perlindungan terhadap saksi dan korban, dalam perkara dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang," sambungnya.
Sementara itu, perbuatan terdakwa Terbit Rencana Perangin-Angin sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (2) jo Pasal 7 ayat (2) jo Pasal 10 Undang-undang RI Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Adapun barang bukti dalam perkara ini yaitu, tanah dan bangunan sel/kereng/kerangkeng yang dipergunakan untuk mengurung/menampung para korban/anak kerangkeng berikut dokumen kepemilikan tanah dan bangunan tersebut.
Perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit milik PT. Dewa Rencana Perangin-angin. berikut dokumen kepemilikan yang diduga sebagai tempat para koban (anak kereng) dipaksa bekerja tanpa gaji/upah.
Pembukuan, dokumen laporan keuangan PT. Dewa Rencana Perangin-angin sejak tahun 2010 s/d 2022.
(cr23/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.