Berita Viral

POSISI Gibran Cawapres Tak Tergoyangkan Meski Pamannya Terancam Dipecat, MKMK Tak Bisa Ubah Putusan

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membocorkan hasil pemeriksaan terhadap Ketua MK Anwar Usman.

HO
Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan telah selesai memeriksa paman Gibran Rakabuming.  

TRIBUN-MEDAN.com - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) membocorkan hasil pemeriksaan terhadap Ketua MK Anwar Usman

Berdasarkan pemeriksaan, kata Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie, Anwar Usman dinyatakan melanggar kode etik dan terancam dipecat. 

Anwar Usman disebut bersalah atas putusan batasan usia minimal Capres/Cawapres. 

Putusan MK itu disebut tidak adil dan terkesan nepotisme untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming, keponakannya, maju di Pilpres 2024. 

Pada hari ini, Selasa (7/11/2023), MKMK bakal mengumumkan hasil pemeriksaan.

Namun meski Anwar Usman disebut bersalah, Gibran Rakabuming dipastikan tetap maju di Pilpres 2024. 

Gibran tetap memenuhi syarat menjadi Cawapres sebab berdasarkan keputusan yang baru bahwa usia minimal yakni 35 tahun dan pernah menjadi kepala daerah.   

Hal senada diungkap oleh pakar hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) Sangap Surbakti, substansi tugas dan keberadaan MKMK hanya menyangkut etika dan perilaku hakim MK.

"Sekali lagi saya ingatkan, putusan MK itu final dan mengikat sebagaimana yang tertuang dalam UU No 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi," ujarnya, Senin (6/11/2023).

Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan telah selesai memeriksa paman Gibran Rakabuming. 
Ketua MK Anwar Usman dan Gibran Rakabuming. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menyatakan telah selesai memeriksa paman Gibran Rakabuming.  (HO)

"Jadi, Prof Jimly jangan mengurusi hal yang tidak substansi atas MKMK itu," imbuh Sangap yang dikutip dari Tribunnews.com.

Sangap mengambil contoh kasus mantan Ketua MK, Akil Mochtar, yang dipecat akibat perkara tindak pidana korupsi.

"Apakah ketika Pak Akil dipecat karena perkaranya itu lantas putusan perkara yang dia tangani batal atau disidang ulang? Kan tidak. Sepengetahuan saya sampai hari ini putusan itu tetap berlaku," ucapnya.

Sangap yang juga Ketua Pengurus Pusat (PP) Jaringan Nasional Aktivis 98 ini menyoroti soal pernyataan Jimly yang menyebut putusan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 dapat dibatalkan oleh MKMK.

Menurut Sangap, pernyataan Jimly tersebut merupakan bentuk manuver politik, karena bikin resah pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka.

"Jadi begini, MKMK inikan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, jadi dia (Jimly) berbicara soal bagaimana Mahkamah ke depannya saja, bukan mencampuri keberlakuan putusan yang telah diambil," ucapnya.

"Saya jadi apatis terhadap keberadaan MKMK yang dipimpin Jimly ini," tambah Sangap.

Baca juga: PREDIKSI SKOR AC Milan vs PSG Liga Champions, Catatan Pertemuan AC Milan vs PSG, Prediksi Line up

Baca juga: MOTIF Perkelahian Geng John Kei vs Nus Kei yang Akibatkan Satu Orang Tewas Ditembak di Kepala

Sebelumnya, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menyatakan Anwar Usman benar terbukti bersalah dalam memutuskan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia minimal capres-cawapres.

"Iyalah (terbukti bersalah)," kata Jimly, di Gedung MK, Jumat (3/11/2023).

Jimly mengungkapkan Anwar Usman merupakan hakim yang paling banyak dilaporkan.

"Total ada 21 semuanya (laporan), namun yang terkait Anwar Usman ada 15 laporan" kata Jimly.

Jimly menjelaskan bahwa pihaknya memiliki waktu 30 hari untuk memproses seluruh laporan.

Namun, Jimly merasa bersyukur karena ia mampu menyelesaikannya dalam tempo 15 hari.

Jimly pun boleh berbangga karena seluruh proses sidang pemeriksaan pelapor sudah selesai.

Kini MKMK hanya tinggal memeriksa Anwar Usman yang dilakukan Jumat (3/11/2023).

"Tinggal kami merumuskan putusan dan itu butuh waktu, karena semua laporan itu harus dijawab satu per satu," kata Jimly.

Kemudian terkait bukti-bukti penguat dugaan pelanggaran etik Anwar Usman, Jimly mengatakan semuanya sudah lengkap.

Bukti-bukti tersebut termasuk keterangan ahli, saksi, rekaman kamera pengawas atau CCTV, dan sejumlah surat-menyurat.

Menurut Jimly untuk kasus ini ia tak merasa kesulitan untuk membuktikannya.

"Lagipula ini kasus tidak sulit membuktikannya," kata Jimly.

Dan terkait bukti-bukti yang menguatkan dugaan pelanggaran etik Anwar Usman, Jimly berujar jika itu adalah permasalahn tentang perbedaan pendapat atau dissenting opinion yang ditarik kembali, kisruh internal, dan perbedaan pendapat yang bocor ke luar.

"Informasi rahasia kok sudah pada tahu semua, ini membuktikan ada masalah," katanya.

Dari 21 laporan yang masuk, kata Jimly ada sembilan poin yang utama.

Pertama, pelapor mempermasalahkan hakim yang dinilai punya kepentingan tidak mengundurkan diri dalam memutuskan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat batas usia capres-cawapres.

Dalam perkara tersebut, Ketua MK Anwar Usman yang merupakan adik ipar Presiden Jokowi ikut memutuskan perkara tersebut.

Putusan itu pun dianggap sarat kepentingan lantaran Gibran adalah keponakannya.

"Jadi yang dipersoalkan saat ini, utamanya itu soal hakim tidak mengundurkan diri, padahal dalam perkara yang (ditangani) dia punya kepentingan, dia punya hubungan keluarga," kata Jimly.

Permasalahan kedua, isu mengenai hakim membicarakan substansi berkaitan dengan materi perkara yang sedang diperiksa.

"Ketiga, ada hakim yang menulis dissenting opinion (perbedaan pendapat dalam putusan), tapi bukan mengenai substansi," ujarnya.

"Jadi dissenting opinion itu kan perbedaan pendapat tentang substansi, tapi di dalamnya juga ada keluh-kesah yang menggambarkan ada masalah dalam mekanisme pengambilan keputusan. Padahal itu adalah (urusan) internal," lanjut Jimly.

Permasalahan keempat, isu mengenai adanya hakim yang berbicara masalah internal MK di publik.

Menurut Jimly, hal itu tak boleh karena dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi MK.

Kelima, pelanggaran prosedur, registrasi dan persidangan yang diduga atas perintah ketua hakim.

Keenam, pembentukan MKMK yang dianggap lambat, padahal sudah diperintahkan oleh UU.

"Dewan etik Pak Bintan dulu mantan Dewan Etik, tapi setelah dua tahun terakhir ya sudah nggak ada, mati suri. Jadi nggak dibikin-bikin," tuturnya.

Ketujuh, soal manajemen dan mekanisme pengambilan keputusan.

Kedelapan, MK dijadikan alat politik, memberi kesempatan kekuatan dari luar menginterfensi ke dalam dengan nada kesengajaan.

Kesembilan, isu mengenai adanya pemberitaan di media yang sangat rinci.

Menurut Jimly, hal ini menjadi masalah internal MK.

(*/tribun-medan.com)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved