Tribun Wiki
Tradisi Ngumbung pada Suku Karo yang Sejalan dengan Kehidupan Alam Semesta
Masyarakat suku Karo memiliki satu tradisi yang namanya Ngumbung. Tradisi ini adalah ketika masyarakat suku Karo tidak pergi ke ladang
TRIBUN-MEDAN.COM,KARO- Masyarakat suku Karo memiliki beragam tradisi yang hingga kini masih bertahan.
Namun, ada tradisi yang mulai memudar di kalangan suku Karo, yakni tradisi Ngumbung.
Tradisi Ngumbung adalah dimana masyarakat suku Karo tidak pergi ke ladang pada hari keenam (Cukera Enem Berngi) panen padi.
Warga suku Karo biasanya tidak akan menginjakkan kaki di ladang di hari keenam panen.
Alasannya, karena tidak ingin mendapatkan kesialan atau tertimpa musibah.
Baca juga: Upacara Perumahan Begu, Ritual Pemanggilan Roh Suku Karo
Dalam mitologi yang berkembang, Ngumbung dikenal juga sebagai Rebu Kejuma.
Rebu Kejuma ini merupakan hari pantangan bagi masyarakat suku Karo untuk pergi ke ladang.
Mereka meyakini, bahwa pada hari keenam proses panen padi, maka roh atau begu akan mengunjungi ladang tersebut.
Sehingga, masyarakat suku Karo diminta untuk tidak menginjakkan kaki di ladang, agar tidak berpapasan dengan begu atau roh yang ada di ladang tersebut.
Baca juga: Mengenal Ritual Hahonim Horja Bius yang Ada pada Masyarakat Batak Toba
Jika pantangan ini dilanggar, masyarakat suku Karo yakin, mereka akan jatuh sakit dan terkena musibah.
Namun, dibalik mitos dan pantangan itu, ternyata ada makna lain yang tersirat di dalamnya.
Secara tidak sadar, mitologi ini berhubungan erat dengan kehidupan alam semesta.
Dalam satu tulisan yang dibuat oleh Edy Ridwanda, peraih juara satu lomba tulisan Essay Contest 3 yang diselenggarakan oleh CTSS IPB University, disebutkan bahwa tradisi Ngumbung ini memiliki ritme yang selaras dengan alam.
Baca juga: Sosok Kades Grobogan Pamer Uang 5 Kardus Hasil Ritual Gaib, Terkuak Fakta Sebenarnya
Edy dalam tulisannya menjelaskan, sehari setelah proses panen padi, biasanya banyak biji padi yang tertinggal, baik yang berjatuhan selama proses panen maupun yang tersisa pada tangkai padi.
Ceceran biji padi ini akan mengundang burung, karena biji padi menjadi makanan pokoknya.
Selain itu, sehari setelah proses panen, ladang tersebut akan menjadi breeding ground bagi banyak jenis serangga.
Sedangkan tikus-tikus tanah akan mulai bermigrasi meninggalkan lahan, karena mulai tidak adanya tanaman padi.
Cara masyarakat tradisional membersihkan lahan pascapanen biasanya dengan cara membakar jerami yang tersisa di sawah atau ladang.
Baca juga: Mengenal Tradisi Panjopputan di Kalangan Petani Kabupaten Labuhanbatu Utara
Jika proses pembakaran ini dilakukan di saat proses panen, maka hal ini akan mengganggu ekosistem alam.
Burung, serangga, dan tikus yang menjadi rantai makanan akan musnah dalam sekejap.
Oleh karena itu, adanya ngumbung tersebut memastikan tidak ada intervensi manusia selama proses ekologis tersebut berlangsung.
Selain pada hari ke-enam, ngumbung juga dilakukan pada hari pertama kalender, yaitu pada hari Aditia.
Sehari sebelumnya yaitu pada hari ke-tigapuluh (Sami Sara), terjadi akhir siklus revolusi bulan yang ditandai dengan bulan mati atau bulan tidak terlihat.
Baca juga: Mengenal Tradisi Mameakhon Sipanganon yang Kini Sudah Jarang Ditemui
Selama bulan mati, banyak jenis burung dan serangga yang kawin dan berkembang biak di perladangan.
Biasanya telur-telur serangga dan sarang burung banyak ditemukan di perladangan setelah bulan mati.
Secara kebetulan, adanya mitos begu pada hari Aditia mampu mecegah intervensi manusia yang mungkin dapat mengganggu proses perkembangbiakan hewan-hewan tersebut.
Berbeda dengan hewan-hewan yang berkembang biak pada bulan mati di area perladangan masyarakat, banyak jenis hewan atau burung di hutan justru berkembangbiak pada saat bulan purnama.
Baca juga: Sirang-sirang, Tradisi Pemakan dengan Cara Kremasi Masyarakat Karo
Pada tahap ini lah, mitos mengenai begu memiliki peran penting.
Masyarakat Karo dilarang untuk membuka lahan di daerah hutan ketika hari Tula, yaitu hari ke-lima belas.
Di hari sebelumnya yaitu Belah Purnama Raya, kemungkinan banyak jenis hewan dan burung yang berkembang biak dan menghasilkan telur di cabang-cabang pepohonan.
Proses ngumbung pada hari Tula dapat memastikan bahwa burung-burung dapat bertelur setelah bulan purnama, tanpa takut diganggu oleh manusia.
Adanya ngumbung pada Masyarakat Karo karena mitos mengenai begu terbukti efektif dalam mengontrol perilaku masyarakat dalam eksploitasi lahan.
Adannya jeda tersebut memberikan waktu bagi makhluk-makhluk lain untuk melakukan akvitas esensial mereka seperti kawin, menghasilkan telur maupun migrasi ke tempat baru karena hilangnya sumber makanan.
Aktivits hewan-hewan tersebut digambarkan oleh leluhur sebagai begu atau roh ghaib yang mengunjungi perladangan dan dihindari untuk berpapasan.
Mitos-mitos tersebut memastikan bahwa aktivitas ekologis hewan-hewan seperti serangga dan burung terjamin sehingga populasi mereka tetap terjaga.
Dari penjabaran yang ditulis oleh Edy Ridwanda tersebut, maka tradisi Ngumbung akan terasa lebih rasional.
Manusia dapat menjaga kelestarian alam, meski awalnya meyakini mitos yang sudah dikisahkan dan dipercaya secara turun temurun itu.(tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.