Tribun Wiki
Mengenal Pustaha Laklak Peninggalan Nenek Moyang Orang Batak Berisi Penolak Bala Hingga Ilmu Hitam
Nenek moyang orang Batak memiliki sebuah peninggalan bernama Pustaha Laklak. Peninggalan ini berisi beragam rahasia
TRIBUN-MEDAN.COM,-Pernah kah Anda mendengar tentang Pustaha Laklak?
Pustaha Laklak ini merupakan peninggalan nenek moyang orang Batak.
Pustaha Laklak sendiri berisi tentang beragam ilmu, mulai dari yang putih hingga hitam.
Adapun benda ini berupa tulisan berisi mantra atau informasi yang ditulis di atas kulit kayu yang dilipat menggunakan mode concertina (semacam akordion), dan terkadang dilengkapi dengan papan.
Bahasa tulis yang digunakan dalam pustaha tetap seragam tanpa mengurangi ciri khas lokalnya meskipun bahasa Batak memiliki banyak dialek.
Baca juga: Tradisi Martondi Hau Masyarakat Batak Toba yang Mulai Punah
Setidaknya ada lima jenis aksara yang ditinggalkan nenek moyang di Sumatera Utara, yakni Aksara Toba, Aksara Karo, Aksara Mandiling, Aksara Dairi, dan Aksara Simalungun.
Kelima aksara itulah yang kemudian dijadikan dasar penulisan karya tulis pustaha Laklak etnis Batak.
Naskah-naskah Batak pada umumnya ditulis pada tiga jenis bahan yakni kulit kayu (laklak), bambu dan tulang kerbau.
Pustaha Laklak sendiri merupakan kitab peninggalan nenek moyang Batak yang bertuliskan Aksara Toba.
Pustaha Laklak yang ada di Sumatera Utara umumnya berisi tentang ilmu-ilmu hitam seperti pangulubalang, tunggal panaluan, pamunu tanduk, gadam, dan lainnya.
Baca juga: Mengenal Tradisi Ritual Marrobu-robu Masyarakat Batak Simalungun Sebelum Menanam Padi
Selain ilmu hitam, ada juga tentang ilmu putih penolak bala, dan pagar serta tentang ilmu nujum seperti meramal dengan menggunakan tanda-tanda binatang dan masih banyak ilmu lainnya.
Uli Kozok melalui karyanya yang berjudul Surat Batak Sejarah Perkembangan Tulisan Batak yang diterbitkan EFEO dan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2009 mencatatkan hal ini.
Dan yang tidak kalah pentingnya, juga ada mengenai rahasia pengobatan tradisional menggunakan ramuan tanaman rempah-rempah.
Rusmin Tumanggor, antropolog Universitas Indonesia, mengatakan, "Saat ini di Eropa, di belahan dunia sebelah sana, para ilmuwan sedang melakukan penelitian ilmiah tentang khasiat rempah dan teknik pengobatan ini."
Baca juga: Tradisi Ritual Mangalontik Ipon pada Masyarakat Batak Toba Sebagai Tanda Kedewasaan
Churmati Nasoichan dalam bukunya Media Penulisan Pustaha Laklak, mengungkapkan bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan dalam penulisan pustaha laklak.
Itu harus dilakukan dengan ritua yang dipimpin oleh seorang datu dan dilakukan pada hari-hari tertentu.
Seperti halnya membuat objek-objek sakral lainnya seperti patung pangulubalang dan tongkat tunggal panaluan, pustaka laklak juga merupakan suatu kitab yang dibuat melalui proses yang sakral.
Pustaha Laklak terbuat dari sebuah pohon yang bernama kayu alim, yang berasal dari Asia Tenggara, khususnya di hutan hujan tropis baik di Indonesia, Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam maupun di India Utara.
Baca juga: Mengenal Ritual Mangan Napaet Sebagai Penghapusan Dosa pada Masyarakat Ugamo Malim
Kulit kayu alim kemudian dikupas dari pokoknya dalam kupasan yang panjangnya dapat mencapai 7 meter dan lebarnya hingga 60 cm tergantung pada besarnya pohon.
Kulit kayu alim ini diolah menjadi buku yang disebut pustaha yang bentuk dan ukurannya berbeda-beda dan tidak memiliki sampul kayu untuk menjilidnya.
Kemudian, pustaha laklak ditulis menggunakan tinta hitam yang penulisannya dibuat berlipat-lipat dan bolak-balik untuk memudahkan dalam pembacaannya.
Sebuah pustaha atau buku terdiri dari laklak dan lampak.
Baca juga: Tradisi Meraleng Tendi pada Suku Pakpak, Ritual Penjemput Semangat
Laklak adalah kertasnya, yaitu lembaran-lembaran sebagai media penulisan, sedangkan lampak adalah sampul bukunya.
Saat ini, pustaha laklak dapat dijumpai di Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara, Museum Nasional Jakarta, bahkan ada juga yang disimpan di museum-museum luar negeri seperti di Belanda dan Jerman.
Siapa Suku Batak?
Dilansir dari kompas.com, Batak merupakan suku yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Suku ini tersebar hampir di seluruh wilayah provinsi Sumatera Utara.
Dilansir dari Suku-suku Bangsa di Summatera karya Giyanto, nenek moyang Suku Batak merupakan kelompok Proto Melayu atau Melayu Tua.
Kelompok ini berasal dari Asia Selatan dan bermigrasi ke Nusantara melalui Pulau Sumatera.
Dari semenanjung Malaya, mereka menyeberang ke Pulau Sumatera dan akhirnya menetap di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara.
Kelompok Proto Melayu kemudian membangun sebuah permukiman di Sianjur Mula-Mula.
Pemukiman tersebut berkembang dan menyebar ke wilayah sekitarnya.
"Ada beberapa versi tentang nenek moyang suku bangsa Batak. Salah satu versi menyebutkan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah si Raja Batak," tulis Giyanto.
Menurut buku Tarombo Borbor Marsada yang dikutip Giyanto, Raja Batak memiliki tiga orang putra.
Ketiga anak tersebut yang menjadi awal mula marga di suku Batak.
Sebelas subsuku Batak
Menurut Giyanto, Suku Batak memiliki sebelas subsuku yang tercatat.
Subsuku tersebut meliputi, Batak Karo, Batak Toba, Batak Papa, Batak Simalungun, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Dairi, Batak Nias, Batak Alas, Batak Gayo, dan Batak Kluet.
"Dari subsuku bangsa tersebut ,ada lima subsuku bangsa yang menjadi subetnis utama Batak, yaituu Toba, Pakpak, Simalungun, Karo, dan Mandailing," terang Giyanto.
Subsuku lainnya diketahui memisahkan diri dan membentuk identitas baru menjadi suku berbeda.
Misalnya saja subsuku Gayo yang menjadi Suku Gayo dan subsuku Nias yang menjadi Suku Nias.
Suku Batak menyebar hampir di seluruh Provinsi Sumatera Utara dan sebagian wilayah Aceh.
Sebagian besar dari mereka masih tinggal di sekitar Danau Toba.
Menurut Giyanto, Suku Batak hidup secara berkelompok dalam satu kampung yang disebut huta atau kuta dalam bahasa Karo.
Setiap huta biasanya didiami beberapa keluarga yang masih memiliki ikatan kekerabatan.
Bahasa Batak
Suku Batak menggunakan bahasa Batak untuk berkomunikasi sehari-hari.
Setiap subetnis memiliki logat atau dialek tersendiri dalam mengucapkan bahasa Batak.
Dilansir dari Warisan Leluhur karya Uli Kozok, ahli bahasa membedakan bahsa batak ke dalam dua cabang.
Perbedaan dari kedua cabang tersebut terlalu besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok bahasa tesebut.
Batak Angkola, Mandailingi, dan Toba membentuk rumpun selatan.
Sedangkan Batak Karo dan Pakpak-Dairi termasuk ke dalam rumpun utara.
Batak Simalungun sering digolongkan ke dalam rumpun ke tiga yang berada di antara utara dan selatan.
Namun menurut ahli bahasa Adelaar, dialek Simalungun sebenarnya berasal dari rumpun selatan.
"Semua bahasa Batak berasal dari satu bahasa purba (proto language) yang sebagian kosa katanya dapat direkonstruksi," tulis Kozok dalam buku tersebut.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.