Sumut Terkini

2 Tahun Berlalu, Pemko Siantar Belum Terima Uang Kerugian Negara yang Diakali Oknum Jaksa

Dua tahun berlalu, kasus ini belum juga menemukan titik terang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. 

Penulis: Alija Magribi | Editor: Ayu Prasandi
HO
Kantor Wali Kota Pematang Siantar 

TRIBUN-MEDAN.com, SIANTAR - Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar belum juga menerima uang kerugian negara yang diduga diakali Oknum Mantan Pejabat Kejaksaan Negeri Pematangsiantar.

Dua tahun berlalu, kasus ini belum juga menemukan titik terang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI. 

Diketahui, temuan BPK RI terkait Pembangunan Jembatan VIII STA.13+441 s.d STA 13+436 Sebesar Rp.2.944.381.551 (Rp 2,9 miliar) yang jumlahnya dikurangi Kasi Intel Kejari Pematang Siantar, Bas Farmasi Jaya Laia dengan menggandeng Politeknik Negeri Medan menjadi hanya Rp 304 juta. 

Inspektorat Pemerintah Kota Pematangsiantar, Herry Okstarizal mengatakan belum ada penambahan kerugian negara dari kontraktor. 

"Belum ada (penambahan). Masih Rp 304 juta," ujarnya yang mengaku Pemko Pematangsiantar tetap menagih nilai kerugian berdasarkan temuan BPK RI, bukan Politeknik Negeri Medan. 

Pengamat Kebijakan Publik dan Anggaran, Ratama Saragih menilai, bahwa upaya mengurangi nilai temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI yang sebelumnya ditemukan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) adalah perbuatan melawan hukum.

"Apalagi menguranginya dengan tidak sepengetahuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan menggunakan jasa auditor lembaga yang tak jelas dasar hukumnya," sebut Ratama Saragih menanggapi polemik yang terjadi di kota Pematangsiantar.

Dijelaskan Ratama, Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah bagian dari rangkaian pemeriksaan keuangan negara yang sumber hukumnya adalah hukum formil sebagaimana dijelaskan dalam Pasla 23E ayat (1) dan Pasal 23G unang-undang Dasar (UUD) 1945.

"Bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan suatu badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri," katanya. 

Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pemeriksaan yang dilaksanakan yang didasarkan pada kriteria yaitu kesesuaian dengan standart akuntansi pemerintah, kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan efektivitas sistem pengendalian intern.

Wewenang untuk menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian  keuangan negara pada hakekatnya berada pada Badan Pemeriksa keuangan, dalam arti Lembaga Pemeriksa keuangan maupun Akuntan lain tidak berwenang menetapkan jumlah kerugian keuangan negara tanpa menggunakan atau Atas Nama Badan Pemeriksa Keuangan alias Persetujuan badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 

Hal itu diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Ratama menegaskan bahwa apa yang dilakukan ini merupakan perbuatan melawan hukum dan memberi potensi terkait kebocoran keuangan negara. 

"KPK jangan tutup mata, karena nilai kerugiannya besar, kredibilitas KPK dipertaruhkan dalam hal mengungkap kasus korupsi ini. Sepatutnya kasus ini sudah ketahuan oleh Tim Jamwas Kejagung ketika melakukan monitoring ke daerah," ujar pemilik sertifikat Aspek Hukum dalam Pemeriksaan Keuangan Negara. 

Sementara itu, Koordinator Sub Pencegahan KPK, Marulitua Manurung yang dikonfirmasi mengenai perkembangan temuan pihaknya atas kasus ini, lebih mengarahkan wawancara kepada Humas KPK Ali Fikri. 

"Silakan langsung ditanyakan ke Biro Humas KPK ya," singkatnya. 

(alj/tribun-medan.com) 

 

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved