Berita Simalungun Terkini

Sidang Lanjutan Kasus Konflik Lahan Dolok Parmonangan, Tokoh Simalungun Bantah Adanya Tanah Adat

Sarmedi Purba, Ketua Pemangku Adat atau Partuha Maujana Simalungun (PMS), memberikan pernyataan bahwa tidak ada tanah adat di Simalungun.

Penulis: Alija Magribi | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUN MEDAN/HO
Masyarakat adat dari Komunitas Ompu Umbak Siallagan melakukan protes atas dakwaan yang diberikan kepada ketua mereka, Sorbatua Siallagan 

TRIBUN-MEDAN.com, RAYA -  Sidang lanjutan kasus konflik lahan Dolok Parmonangan dengan terdakwa Ketua Adat Ompu Umbak Siallagan kembali digelar oleh Pengadilan Negeri Simalungun, Kamis (4/6/2024).

Dalam sidang ini sejumlah saksi dihadirkan mulai dari saksi asal BPN Simalungun hingga Tokoh Etnis Simalungun/Partuha Maujana.

Dalam persidangan, saksi dari BPN Simalungun Andrey Sarbadia S.H selaku kepala Seksi Pengendalian dan Penanganan Sengketa mengungkapkan bahwa meskipun belum pernah ada pendaftaran masyarakat adat di BPN Simalungun, ia belum pernah turun langsung ke wilayah Dolok Parmonangan untuk memverifikasi informasi tersebut.

Sementara itu, Sarmedi Purba, Ketua Pemangku Adat atau Partuha Maujana Simalungun (PMS), memberikan pernyataan bahwa tidak ada tanah adat di Simalungun.

Pernyataan ini bertentangan dengan klaim masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang telah mendiami wilayah tersebut secara turun-temurun

"Wilayah Simalungun dulunya merupakan kerajaan dengan tujuh kerajaan yang berdiri di sana, menunjukkan kompleksitas sejarah dan adat istiadat di wilayah tersebut," kata Sarmedi.

Sementara itu, saksi ahli Roy Syah Yudi, S.P selaku Pejabat di Penata Gambar pada Bidang Tata Lingkungan dan Penatagunaan Dinas Lingkungan Hidup dan kehutanan Provinsi Sumatera Utara mengakui bahwa sering terjadi tumpang tindih penguasaan tanah di Sumatera Utara, mencerminkan permasalahan krusial tata kelola lahan di Indonesia. Namun, saksi tetap menyatakan bahwa tanah yang menjadi objek perkara merupakan wilayah konsesi TPL, memicu kekhawatiran masyarakat adat akan perampasan wilayah mereka.

Pendapat sebaliknya, Audo Sinaga yang merupakan penasihat hukum Sorbatua Siallagan, mempertanyakan kehadiran saksi dari BPN dalam persidangan karena BPN tidak memiliki kewenangan dalam kasus yang terjadi di kawasan hutan.

Audo Sinaga juga mengecam KLHK atas kelalaiannya dalam memverifikasi keberadaan masyarakat adat sebelum menetapkan status kawasan hutan dan kurangnya transparansi dalam prosesnya.

"Bahwa penetapan status kawasan hutan tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat merupakan tindakan yang tidak adil dan melanggar hak-hak mereka," kata Audo.

"Hal ini telah memperkuat posisi TPL dan memperburuk situasi Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan," kata Audo.

Di luar sidang, masyarakat dari Komunitas Ompu Umbak Siallagan melakukan aksi dan ritual adat "Pangurason" di depan Pengadilan Negeri Simalungun.

Pangurason merupakan ritual adat Batak yang bertujuan untuk memohon kekuatan dan perlindungan dari leluhur. Ritual ini menjadi simbol penolakan mereka terhadap kriminalisasi Sorbatua Siallagan dan tekad mereka untuk mempertahankan hak-hak adatnya.

(alj/tribun-medan.com)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram, Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved