Kisah Batu Parsidangan, Situs Peradilan di Samosir dengan Cerita Kanibalisme, Kini Jadi Objek Wisata

Huta Siallagan merupakan perkampungan dengan luas sekitar 2.400 meter persegi dan dikelilingi oleh tembok batu setinggi 1,5 sampai 2 meter.

Editor: Juang Naibaho
Istimewa
Batu Parsidangan di Huta Siallagan, Kabupaten Samosir, kini menjadi spot wisata unggulan. Batu ini merupakan tempat persidangan bagi pelaku kejahatan di masa lampau. 

TRIBUN-MEDAN.com - Di balik pesona keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir, ada satu spot wisata dengan kisah kelam dalam kehidupan masyarakatnya.

Tepatnya Batu Parsidangan di Huta Siallagan, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir.

Huta Siallagan merupakan perkampungan dengan luas sekitar 2.400 meter persegi dan dikelilingi oleh tembok batu setinggi 1,5 sampai 2 meter.

Batu-batu itu menjadi benteng dan dilengkapi bambu yang tajam untuk melindungi desa dari binatang liar dan serangan dari kelompok lain.

Di lokasi ini, terdapat spot wisata dengan story telling atau kisah kelam, yakni Batu Parsidangan atau batu persidangan.

Batu ini dijadikan tempat peradilan bagi masyarakat yang melanggar hukum adat atau pelaku kejahatan.

Sesuai namanya, batu-batu berbentuk kursi tersusun melingkar dan tepat di tengahnya terdapat meja berbentuk bulat. Lokasi itu dijadikan tempat persidangan.

Meja dan kursi persidangan ini diperkirakan telah berusia lebih dari 200 tahun. Batu ini konon menjadi saksi bisu dari sejarah kanibalisme masyarakat Batak di zaman dahulu.

Batu Parsidangan di Huta Siallagan ini terbagi dua. Masing-masing memiliki aturan dan fungsi yang berbeda.

Kelompok batu pertama berlokasi di tengah Huta Sialagan. Di sana raja atau penatua adat akan membicarakan dan menjatuhkan pidana bagi pelaku kejahatan atau pelanggar adat, apakah itu kejahatan ringan atau berat.

Jika kejahatan ringan akan dihukum pasung, tapi untuk kejahatan berat biasanya akan dihukum pacung alias hukuman penggal.

Dalam mengambil keputusan, raja juga mendapat bantuan dari Pohon Hariara. Ini merupakan pohon yang dikeramatkan oleh suku Batak kala itu

Pohon ini tumbuh di samping kelompok batu pertama. Pohon ini juga disebut pohon kebenaran, karena semua keputusan pengadilan disumpah di pohon ini dan pohon ini juga akan menunjukkan tanda-tanda apakah putusan itu sudah adil atau tidak.

Sementara kelompok batu kedua ditempatkan di sebelah utara dari kelompok batu pertama.

Pada kelompok batu kedua ini terdapat kursi untuk raja, penasihat raja, tokoh adat, serta masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukum mati.

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved