Kisah Batu Parsidangan, Situs Peradilan di Samosir dengan Cerita Kanibalisme, Kini Jadi Objek Wisata

Huta Siallagan merupakan perkampungan dengan luas sekitar 2.400 meter persegi dan dikelilingi oleh tembok batu setinggi 1,5 sampai 2 meter.

Editor: Juang Naibaho
Istimewa
Batu Parsidangan di Huta Siallagan, Kabupaten Samosir, kini menjadi spot wisata unggulan. Batu ini merupakan tempat persidangan bagi pelaku kejahatan di masa lampau. 

Fakta menarik dari hukuman mati adat batak ini adalah, tidak sembarang hari bisa melakukannya.

Karena di masa itu para pelaku kejahatan berat kerap memiliki ilmu hitam, sehingga perlu dilihat hari baik atau buruknya.

Tanggal eksekusi juga akan ditentukan di hari yang dianggap buruk bagi terpidana.

Setelah tiba hari penghakiman, terpidana mati akan ditempatkan di meja batu dengan mata tertutup ulos.

Lalu terpidana mati akan diberikan ramuan untuk melemahkan ilmu hitamnya. Kemudian pakaian dari terpidana akan dilepas untuk memastikan tidak ada lagi sisa-sisa dari jimatnya.

Setelah itu, seluruh tubuh akan disayat. Jika sudah mengeluarkan darah, artinya terpidana sudah tidak terpengaruh ilmu kebal lagi.

Ketika tubuh terpidana mengeluarkan darah, selanjutnya disiram air asam agar semakin melemahkannya.

Setelah semua proses tadi berjalan lancar, baru hukum pancung atau pemenggalan dilakukan.

Tak sampai situ, setelah acara pemenggalan selesai konon jantung dan hati terpidana mati akan dimakan oleh sang raja.

Kala itu ada keyakinan di tengah-tengah masyarakat, bahwa memakan hati dan jantung manusia dapat menambah kesaktian serta kekuatan dari sang raja.

Suasana di Kampung Siallagan, Samosir. Pengunjung dapat melihat secara detail bagaimana musyawarah kampung di zaman dulu. 
Suasana di Huta Siallagan, Samosir. Pengunjung dapat melihat secara detail bagaimana musyawarah kampung di zaman dulu.  (TRIBUN MEDAN/MAURITS)

Kepala yang sudah terpisah dari tubuh itu biasanya akan diletakkan di depan pagar kampung.

Ini untuk menunjukkan kepada masyarakat dan musuh agar tidak melakukan perbuatan yang sama.

Setelah membusuk, kepala akan dibuang ke dalam hutan di belakang perkampungan.

Tubuh dari terpidana akan dibuang ke Danau Toba selama tujuh hari tujuh malam. Selama itu juga masyarakat dilarang beraktivitas di Danau Toba.

Hukuman sadis ini berakhir sejak agama Kristen masuk dan diperkenalkan oleh misionaris Ludwig Ingwer Nommensen.

Kini hukum pancung dan kisah kanibalisme itu sudah tidak ada lagi.

Sedangkan batu peradilan yang menyeramkan itu dijadikan sebagai objek wisata yang dapat kita kunjungi.

Situs bersejarah ini juga sudah mengundang perhatian turis nasional sampai internasional untuk datang berkunjung. (*)

Ditulis oleh mahasiswa magang dari Fisip USU, Sion Philip Sagala

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved