Catatan Sepak Bola

Euro dan Copa America 2024 Berakhir Senyum di Berlin, “Kutukan” Kane, dan Tangis Messi

PERTANDINGAN final akan berujung pada kemenangan atau kekalahan. Bahagia di satu sisi, sedih di sisi yang lain.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
AFP/INA FASSBENDER
BERPELUKAN - Pemain Tim Nasional Spanyol Lamine Yamal (tengah) berpelukan dengan rekannya Nico Williams dan Pedri (tanpa seragam) usai memenangkan laga final Euro 2024 atas Inggris di Olympiastadion di Berlin, Senin (15/7/2024) dinihari (WIB) 

PERTANDINGAN final akan berujung pada kemenangan atau kekalahan. Bahagia di satu sisi, sedih di sisi yang lain. Senin, 15 Juli 2024, nun dari Jerman dan Amerika Serikat, kedua sisi perasaan ini menyeruak di penjuru empat negara; Spanyol, Inggris, Argentina, dan Kolombia.

Spanyol dan Argentina yang berbahagia, Inggris dan Kolombia yang berduka. Di Inggris, untuk kali kesekian, air mata mengucur beriring teriak-teriak kesal, bahkan kata maki. Inggris kembali pulang, tanpa membawa serta sepak bola. Iya, sejak 1966, ‘football’ belum juga ‘coming home’. Setelah “berumah” di Roma, tropi Euro menyeberang ke Madrid, ibu kota Spanyol.

Publik sepak bola Spanyol yang berbahagia. Tropi keempat sejak kejuaraan ini digelar tahun 1960. Sekarang La Furia Roja –julukan Tim Nasional Spanyol– jadi yang terbesar di Eropa.

Namun kebahagiaan terbesar rasa-rasanya datang dari lapangan. Senyum mengembang di bibir Luis de La Fuente Castillo. Kemenangan 2-1 atas Inggris di Olympiastadion, Berlin, membuatnya menorehkan rekor istimewa. La Fuente kini jadi satu-satunya pelatih di Spanyol yang mampu memenangkan medali dan tropi kejuaraan besar tiga kategori usia. Ia membawa Spanyol menang di UEFA Euro U-19 (2015), UEFA Euro U-21 (2019), dan UEFA Euro senior. Sekiranya Spanyol tidak takluk 1-2 dari Brasil di Olimpiade Tokyo 2020, ia juga akan mengoleksi medali untuk Spanyol U-23. Tahun lalu, Luis de La Fuente memenangkan Europa Nation League.

Nico William tersenyum. Lamine Yamal tersenyum. Nico, anak kedua Felix dan Maria, sepasang pelarian dari Ghana, memberikan tropi pada penampilan ke-20 untuk Spanyol. Nico tersenyum, tapi di matanya ada kebeningan yang mengaca. Dia memang tak ikut merasakan bagaimana melepuhnya kaki ayah dan ibunya tatkala melintasi panas Gurun Sahara. Dia memang tak ikut merasakan dinginnya ubin di balik terali besi ketika mereka tertangkap petugas imigrasi. Namun kisah pelarian Felix dan Maria, yang dituturkan sebagai semacam cerita sebelum tidur, tak pernah luntur dari ingatannya, dan malam itu di Berlin, usai laga, dengan nada suara bergetar Nico mengatakan dia tidak pernah bermimpi dapat menjadi bagian dari sejarah besar ini.

“Saya mencetak gol dan kami menang. Malam yang luar biasa dan barangkali tidak akan terlupa,” katanya. Di panggung untuk pemenang, Nico tersenyum, bertepuk tangan, lalu menari-nari bersama Lamine Yamal.

Di Euro 2024, kedekatan Nico dan Yamal jadi cerita tersendiri. Usia mereka terpaut lima tahun dengan hari jadi yang hanya berselisih satu hari (Nico Wiliam lahir 12 Juli 2002 sedangkan Lamine Yamal 13 Juli 2007). Luis de La Fuente menempatkan mereka di sisi yang berseberangan di starting line up. Nico di sayap kiri sedangkan Yamal di kanan.

Spanyol tidak datang ke Jerman dengan skuat gemerlapan. Beda jika dibandingkan dengan, misalnya, skuat mereka di Euro 2008, Piala Dunia 2010, dan Euro 2012. Skuat “pilih tanding”. Gabungan penggawa Real Madrid dan Barcelona yang untouchable, plus beberapa pemain klub lain yang juga betul-betul mumpuni dan populer juga. Pendek kata, skuat para mega bintang.

Sekarang tidak. Memang tetap bintang tapi pada kelas yang –boleh dikata– sekadar. Rodri pemain penting di Manchester City, tapi bintang paling terang di sana adalah Erling Haaland, Kevin de Bruyne, dan Phil Foden. Kadar kebintangan Rodri bahkan masih kalah bersinar dari Jack Grealish dan Bernardo Silva.

Siapa lagi? Dani Carvajal? Nacho? Pedri? Ferran Tores? Dani Olmo? Fabian Ruiz? Joselu? Marc Cucurella? Atau Alvaro Morata? Tidak ada yang betul-betul berkelas super star. Simaklah nama-nama ini: Alex Grimaldo, Alex Remiro, Martin Zubimendi, Fermín Lopez, Ayoze Perez. Siapa mereka? Luis de La Fuente bahkan masih memilih Jesus Navas yang sudah berusia 38.

Namun dengan pemain-pemain ini, Luis de La Fuente, bisa meracik skuat yang memainkan sepak bola trengginas. Tidak lagi terlalu kental dengan filosofi tiki-taka, tapi tetap kuat dalam penguasaan bola. Dengan kata lain, hebat dalam kontrol sekaligus tajam dalam menyerang. Dan dalam skemanya, Luis de La Fuente, di samping Rodri, menempatkan Nico Wiliams dan Lamine Yamal sebagai aktor-aktor utama. Di laga final, Yamal memberikan assist untuk Nico yang menjadi gol pertama Spanyol.

Yamal, sebagaimana Nico, memang tidak tergantikan. Satu-satunya hal yang bisa membuat dia tak menuntaskan laga adalah regulasi Jerman menyangkut ketenagakerjaan. Di Jerman terdapat undang-undang yang mengatur pembatasan kerja, dan siapa pun yang berusia di bawah 18, tidak boleh beraktivitas di atas pukul 20.00. Guna menghindari sanksi, Yamal sempat ditarik keluar di dua laga. Tidak jelas apakah ada lobi-lobi antar federasi (atau malah antar negara?) hingga Yamal bisa bermain di dua laga pamungkas yang digelar di atas ambang waktu maksimal tersebut.

“Ini hadiah ulang tahun terbaik untukku. Sejauh ini, yang terbaik. Malam yang luar biasa,” kata Yamal yang kurang satu jam pascamengangkat tropi, termasuk tropi pemain muda terbaik kejuaraan, menunjukkan sedikit “sikap keremajaannya” dengan memotret rekan-rekannya dalam keadaan setengah telanjang dan telanjang di ruang ganti, lantas mengunduhnya ke media sosial.

Pendeknya semua yang berada di kubu Spanyol berbahagia. Berkebalikan dengan kubu Inggris. Sedih, terpukul, marah juga. Inggris kalah dan harapan untuk mengembalikan sepak bola ke “tanah leluhurnya” sirna. Jargon ‘Football’s coming home’, sejak lepas tropi Piala Dunia lepas pada edisi 1970, telah dilesatkan 54 tahun dan entah sampai kapan akan berkesudahan.

Sepenjuru Inggris sedih, terpukul, marah juga. Hanya sebagian mereka yang masih bisa memandang secara objektif. Bahwa Inggris memang tidak pantas juara. The Three Lions –julukan Tim Nasional Inggris– bermain buruk di seluruh laga Euro. Termasuk di final. Mereka benar-benar berada di bawah tekanan Spanyol. Jika Jordan Pickford tak tampil gemilang, gawang Inggris paling sedikit akan jebol enam kali. Pickford mementahkan peluang-peluang tersebut, meski akhirnya tak kuasa menghempang cocoran Mikel Oyarzabal enam menit sebelum waktu normal usai.

Sumber: Tribun Medan
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved