Catatan Sepak Bola
Euro dan Copa America 2024 Berakhir Senyum di Berlin, “Kutukan” Kane, dan Tangis Messi
PERTANDINGAN final akan berujung pada kemenangan atau kekalahan. Bahagia di satu sisi, sedih di sisi yang lain.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
Memang, Inggris sebelumnya berhasil menyamakan skor lewat tendangan sensasional Cole Palmer. Namun secara keseluruhan, mereka berantakan. Inggris bermain tanpa game plan yang jelas, dan nyata terlihat bingung, dan panik, dalam tekanan Spanyol yang bertubi-tubi.
Sampai di sini mencuat pertanyaan, siapa yang patut ditunjuk sebagai biang kesalahan? Nama pertama tentu saja Gareth Southgate, sang juru taktik. Southgate dinilai kurang cakap, kurang mumpuni, overall, miskin taktik. Walau mampu meredam friksi antar pemain yang selama bertahun-tahun jadi persoalan besar, hal ini dianggap masih jauh dari cukup untuk mengangkat Tim Nasional Inggris ke podium tertinggi. Inggris perlu game plan yang lebih ciamik, dan mental yang lebih kuat. Keberuntungan? Inggris selalu beruntung. Mereka bermain buruk, membosankan, menjengkelkan, tapi selalu beruntung.

Namun keberuntungan ini, entah kenapa, kerap pula usai di laga-laga puncak. Di semi final, atau di final, keberuntungan Inggris pergi. Ada yang patut dipersalahkan? Selain garis nasib, suporter Inggris punya satu nama untuk ditumbalkan, Harry Kane. Mereka menyebutnya The Harry Kane Curse. Iya, Kutukan Harry Kane [terhadap tropy]. Bagaimana mungkin seorang pemain dengan level dan kualitas setinggi Kane tidak pernah berhasil meraih tropi kejuaraan. Nol tropi di Tottenham Hotspur, nol tropi (sejauh ini) di Bayern Munchen, dan nol tropi (sejauh ini) di Tim Nasional Inggris. Kane sempat dipinjamkan setahun ke Leicester City. Dia duduk di bangku cadangan pada laga semi final playoff musim 2012/2013 melawan Watford, dan mereka kalah.
Kenapa demikian? Apakah Kane benar-benar menyimpan kutukan? Tentu tak satu orang pun di Inggris dan di kolong jagat ini bisa menjawab. Termasuk Kane sendiri. Pastinya, Harry Kane “baru” 30 tahun, dan ia masih punya waktu bermain beberapa tahun lagi.
Sedih dan Bahagia
Kurang lebih lima jam berselang, di Hard Rock Stadium, Miami Gardens, Florida, ada tawa dan tangis yang lain. Argentina tentu saja jadi pihak yang tertawa dan Kolombia menangis. Gol Lautaro Martinez di menit 112 itu jelas menyakitkan.

Meski demikian, ternyata, bukan hanya kubu Kolombia yang menangis. Lionel Messi, bintang terbesar Argentina, juga menangis. Laga belum genap berjalan setengah babak, Messi, yang mendarat dengan canggung dalam upayanya mengambil bola, terjatuh. Engkel kakinya bengkak, dan Lionel Scaloni, pelatih Argentina, menariknya keluar.
Messi menangis barangkali lantaran merasa kehilangan peluang memberikan gelar Copa America terakhir untuk Argentina. Usia Messi 37, dan tidak ada jaminan dia masih bisa bermain dua tahun mendatang.
Namun tangis sedih Messi berubah jadi tangis bahagia. Argentina bertahan dari tekanan Kolombia dan berhasil membalikkan keadaan di babak tambahan. Messi, dengan langkah tertatih, naik ke podium untuk mengangkat tropi Copa America. Tropi ke 16 untuk Argentina.(t agus khaidir)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.