Sigale-gale, Kisah Kesedihan Raja karena Anak Semata Wayang Meninggal, Kini Jadi Ikon Budaya Batak

Sigale-gale dikenal sebagai salah satu ikon budaya Batak Toba. Berupa patung kayu unik yang didesain mirip manusia.

Editor: Juang Naibaho
TRIBUN MEDAN/SEPTRINA
PENGUNJUNG menari bersama di pertunjukan tari Sigale-gale Desa Tomok Kecamatan Simanindo, Rabu (17/2/2021). 

TRIBUN-MEDAN.com - Sigale-gale dikenal sebagai salah satu ikon budaya Batak Toba. Berupa patung kayu unik yang didesain mirip manusia.

Asal katanya adalah gale yang dalam bahasa Batak Toba memiliki arti lemah gemulai.

Sigale-gale memiliki sebuah mitos kisah sedih dalam kehidupan masa lalu masyarakat Batak, khususnya di Pulau Samosir dan berkaitan erat dengan upacara kematian.

Ada beberapa versi cerita yang diyakini oleh masyarakat sebagai asal-usul legenda patung Sigale-gale.

Cerita paling sering terdengar adalah kesedihan sang raja karena anaknya meninggal dunia.

Dikutip Tribun-medan.com dari berbagai sumber, pada zaman dahulu hiduplah seorang raja yang bernama Raja Rahat. Dia memerintah di kawasan Samosir.

Raja Rahat cuma memiliki satu anak bernama Manggale.

Ketika kerajaan yang dipimpin Raja Rahat mengalami peperangan untuk memperebutkan kekuasaan, Manggale ikut ke medan perang. Ia menjadi panglima perang yang memimpin pasukannya dalam pertempuran tersebut.

Dalam pertempuran itu, Manggale meninggal dunia.

Mendengar kabar duka itu, Raja Rahat pun jatuh sakit.

Karena kebaikan dan kemurahan hati sang raja, para rakyat tidak tega. Mereka juga khawatir melihat kondisi Raja Rahat.

Rakyat bergegas membawa seorang tabib untuk mengobati Sang Raja.

Tabib bernama Sibaso itu, menyarankan untuk membuat replika Raja Manggale menggunakan patung yang terbuat dari kayu.

Patung tersebut didandani oleh para rakyat sehingga menyerupai Manggale. Karena kemiripan tersebut, akhirnya patung tersebut dinamai Sigale-gale.

Sibaso ingin menjadikan patung ini sebagai penghubung untuk pemanggilan roh Manggale.

Pada ritual tersebut, Sibaso memainkan alat musik dan memanggil arwah Manggale.

Ketika ritual berhasil, patung Sigale-gale pun bergerak dan menari mengikuti lantunan musik yang ada.

Melihat patung tersebut persis dengan wajah anaknya, dan bergerak menari, kesehatan sang raja pun semakin membaik.

Di kalangan masyarakat Batak pada masa itu, banyak yang meyakini bahwa setiap orang yang meninggal dan dilakukan upacara Sigale-gale, maka roh dari orang yang meninggal akan tinggal di dalam patung Sigale-gale.

Patung ini konon katanya dapat menangis seperti layaknya manusia.

Setelah masuknya kepercayaan seperti agama Kristen, Islam, patung Sigale-gale bergeser fungsi menjadi warisan budaya atau hiburan.

Sampai saat ini, Sigale-Gale masih ada di Pulau Samosir dan masih sering dimainkan dengan menggunakan iringan musik.

Sigale-Gale menjadi salah satu ikon kebudayaan Sumut yang masih menarik perhatian pengunjung baik dari lokal maupun internasional.

Dalam tradisi masyarakat Batak di Samosir, tari Sigale-gale biasanya dilakukan dalam upacara kematian.

Terutama ketika yang meninggal adalah laki-laki.

Masyarakat percaya bahwa tarian ini bisa mengantar arwah yang sudah meninggal.

Sigale-gale digerakkan dengan cara memegang talinya. Dengan iringan musik tradisional, boneka itu pun digerakkan layaknya manusia yang sedang menari.

Tari Sigale-Gale ini biasanya akan diiringi dengan musik tradisional, di setiap pertunjukannya.

Musik yang mengiringi tarian ini disebut dengan musik gondang. Musik gondang sendiri biasanya terdiri dari suling, gendang, dan gong.

Iringan musik ini akan dimainkan sesuai dengan gerakan para penarinya.  (*/tribunmedan.com)

Ditulis oleh mahasiswa magang dari Fisip USU, Muhammad Farhan Yazid Hsb

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved