TRIBUN WIKI
Apa Itu Doom Spending, yang Bisa Bikin Miskin Gen Z-Milenial
Doom spending adalah kondisi saat seseorang berbelanja tanpa berpikir untuk menenangkan diri karena pesimis terhadap kondisi ekonomi dan masa depan
TRIBUN-MEDAN.COM,- Beberapa hari belakangan warganet ramai membahas tentang doom spending.
Hal ini dihubungkan dengan kebiasaan yang dilakukan Generasi Z dan Y atau milenial.
Beberapa pendapat mengatakan, bahwa doom spending ini merupakan sebuah kebiasaan buruk yang mulai banyak dilakukan anak muda.
Kebiasaan ini justru dianggap bisa membawa petaka, dan dapat merugikan orang yang melakukannya.
Lantas, apa itu doom spending, dan kenapa dianggap begitu buruk?
Dilansir dari Kompas.com, secara harfiah doom spending bermakna "pengeluaran yang sia-sia".
Baca juga: Apa Itu Sesar Garsela, Seberapa Bahayanya Bagi Pulau Jawa? Simak Penjelasan Para Ahli
Menurut ulasan Psychology Today, doom spending adalah kondisi saat seseorang berbelanja tanpa berpikir untuk menenangkan diri karena pesimis terhadap kondisi ekonomi dan masa depan.
Tidak hanya kesenjangan ekonomi yang kian melebar, perilaku ini juga dapat terjadi ketika seseorang merasa stres dengan hal-hal tertentu, termasuk kekacauan politik dan iklim.
Guna mengatasi stres, mereka pun akhirnya membeli lebih banyak barang untuk mendapatkan kesenangan.
Namun, langkah menghamburkan uang ini justru dapat menjerumuskan Gen Z dan Milenial ke lubang utang.
Baca juga: Apa Itu Penyakit OI atau Osteogenesis Imperfecta? Simak Penjelasannya
Gen Z-Milenial terjerat doom spending
Dosen senior keuangan di King’s Business School, London, Inggris, Ylva Baeckstrom mengatakan, praktik doom spending tidaklah sehat dan dapat berakibat fatal.
Saat ini, menurut dia, kaum muda dari Gen Z dan Milineal terus-menerus menerima berita buruk yang membuat mereka merasa seperti kiamat.
"Kaum muda ini kemudian menerjemahkan perasaan buruk itu ke dalam kebiasaan belanja yang buruk," kata dia, seperti dikutip CNBC, Senin (23/9/2024).
Baca juga: Apa Itu Boneka Labubu yang Viral dan Diperebutkan Banyak Orang di Indonesia? Simak Jawabannya
Sebagai gambaran, data dalam survei Intuit Credit Karma terhadap lebih dari 1.000 warga Amerika menunjukkan, 96 persen orang merasa khawatir dengan kondisi ekonomi saat ini.
Jajak pendapat pada November 2023 itu mengungkapkan, lebih dari seperempatnya rela mengeluarkan uang untuk mengatasi stres.
Sayangnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Amerika Serikat.
Generasi pertama yang akan menjadi lebih miskin
Berdasarkan CNBC’s International Your Money Financial Security Survey, hanya 36,5 persen orang dewasa di seluruh dunia yang merasa lebih baik daripada orangtua mereka secara finansial.
Sementara, 42,8 persen lainnya berpikir mereka sebenarnya memiliki kondisi finansial yang lebih buruk dari orangtuanya.
"Generasi yang tumbuh sekarang adalah generasi pertama yang akan lebih miskin daripada orangtuanya untuk waktu yang sangat lama,” kata Baeckstrom.
Baca juga: Apa Itu Topan Yagi yang Memporakporandakan Vietnam, Akankah Sampai di Indonesia?
Bahkan, dia melanjutkan, sering kali ada perasaan dalam diri Gen Z dan Milenial, mereka mungkin tidak akan pernah dapat mencapai apa yang telah dicapai oleh orangtua.
Akibatnya, muncul perilaku doom spending yang menciptakan ilusi kendali di dunia yang terasa di luar kendali ini.
"Namun, yang sebenarnya terjadi adalah Anda jadi tidak punya banyak kendali di masa depan," terang dia.
Sebab, seseorang menjadi tidak memiliki uang untuk masa mendatang karena tak ada tabungan ataupun investasi yang dapat membantu.
Cara mengatasi doom spending
Baeckstrom menekankan pentingnya memahami hubungan dengan uang jika ingin keluar dari perilaku doom spending.
Menurut dia, hubungan manusia dengan uang itu sama halnya hubungan satu orang dengan orang lain.
Hubungan ini dimulai sejak masa anak-anak, dan sangat dipengaruhi oleh bagaimana mereka dibesarkan oleh keluarganya.
Baca juga: Apa Itu Susu Ikan yang Ramai Dikaitkan dengan Program Makan Siang Gratis Prabowo Subianto
Misalnya, dibesarkan dalam keluarga miskin atau kaya, bagaimana keluarga mengelola uang, atau siapa yang mengendalikannya.
"Jika merasa memiliki kemampuan membangun hubungan yang sehat dan aman dengan uang, Anda dapat membuat penilaian yang baik terhadap sesuatu," kata Baeckstrom.
Sebaliknya, jika merasa tidak aman, maka seseorang akan cenderung tergoda untuk menerapkan perilaku doom spending.
Terpisah, Samantha Rosenberg, salah satu pendiri platform pembangun kekayaan Belong mengatakan, belanja online memperburuk masalah pengeluaran yang tidak masuk akal alias doom spending.
Berbeda, melihat-lihat barang secara langsung dapat membantu mencegah pembelian impulsif yang berujung pada doom spending.
"Titik-titik keputusan tambahan, seperti memilih toko, pergi ke sana, mengevaluasi barang secara langsung, dan kemudian harus mengantre untuk membelinya akan membantu berpikir lebih kritis tentang membeli sesuatu," ujarnya.
Rosenberg juga menyarankan untuk kembali menggunakan uang tunai dibandingkan pembayaran mudah dan praktis seperti melalui mobile banking.
Cara tersebut dapat membantu mengurangi pengeluaran yang tidak perlu karena membutuhkan lebih banyak usaha untuk bertransaksi.
Membayar tunai juga akan memunculkan perasaan "sakit", terutama ketika menyerahkan uang secara langsung ke pedagang.
"Metode ini (pembayaran nontunai) mengabaikan emosi yang berkaitan dengan proses pengambilan keputusan pembelian. Mereka juga menghilangkan rasa sakit karena harus membayar,” kata Rosenberg.(tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.