Berita Viral

SEKOLAH Swasta Bakal Protes Jika MK Kabulkan Permohonan Pendidikan Dasar Tak Dipungut Biaya

Para pengurus Sekolah swasta bakal melakukan protes jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan usulan sekolah pendidikan dasar gratis.

HO
Suasana sidang putusan uji materi UU Pemilu di Gedung MK, Jakarta, (11/1/2018).(KOMPAS.com/Ihsanuddin) 

TRIBUN-MEDAN.com - Para pengurus Sekolah swasta bakal melakukan protes jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan usulan sekolah pendidikan dasar gratis. 

Hal ini disampaikan oleh Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS).

Ketua Umum BMPS Saur Panjaitan saat menyampaikan pandangannya dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk perkara nomor 03-PUU-XXII/2024, Kamis (3/10/2024).

"BMPS menyampaikan pendapat berkeberatan jika sekolah swasta dilarang memungut biaya dari masyarakat," ujar Saur.

Sebagai informasi, pemohon dalam sidang ini meminta MK mengabulkan supaya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tidak dipungut biaya.

Lebih lanjut, Saur menjelaskan alasan penolakan ini didasari oleh beberapa pertimbangan seperti:

Mengganggu operasional pendidikan di sekolah swasta dapat menghilangkan identitas dan eksistensi keberadaan sekolah swasta, dan keterbatasan kemampuan keuangan negara.

Baca juga: KISAH TKW 1,5 Tahun Kerja di Taiwan, Bangga Bisa Bangun Rumah Berdinding Bata, Dulu Lantainya Tanah

Baca juga: Cochineal, Serangga yang Digunakan pada Makanan dan Produk Kecantikan, Ini Kata MUI

Dengan asumsi biaya pendidikan siswa SD Rp7 juta rupiah per tahun dan siswa SMP Rp7,5 juta per tahun, alokasi pendidikan yang dibutuhkan bakal mencapai angka Rp297.174.568.000.000 per tahun.

Simulasi BMPS ini didasari dengan jumlah siswa berdasarkan Emis Kemenag TA 2024/2025 dan Dapodik Kemenag, Juni 2024.

"Dengan demikian, apabila seluruh pembiayaan dasar pendidikan dasar ditanggung pemerintah, izinkan kami melihat dari kejauhan, apakah kapasitas kemampuan negara cukup untuk menyelesaikan seluruhnya," tutur Saur.

Saur juga menyoroti ihwal bagaimana saat ini sekolah swasta masih disubsidi pemerintah melalui dana BOS dan tunjangan sertifikasi guru.

Jumlah baru mencakup sekitar 15 persen dari biaya operasional sekolah.

"Dana BOS yang saya sampaikan rata-rata untuk SD dan madrasah itu 900 ribu sedangkan yang SMP 1 juta 100 ribu, maka angka ini masih jauh di bawah rata-rata kalau kita asumsikan standar biaya itu 7 juta atau 7,5 juta per tahunnya," pungkas Saur.

Perkara 03 ini dimohonkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) .

Dalam petitumnya mereka meminta MK menyatakan Pasal 34 Ayat (2) sepanjang frasa “Wajib Belajar Pada Jenjang Pendidikan Dasar Tanpa Memungut Biaya” Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Inkonstitusional secara bersyarat dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Wajib Belajar Pada Jenjang Pendidikan Dasar yang dilaksanakan.

Panggil Kementerian Keuangan

Mahkamah Konstitusi (MK) akan memanggil Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengenai gugatan agar biaya pendidikan SD dan SMP gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Sidang dijadwalkan pada Kamis (1/8/2024) depan.

Hal tersebut disampaikan Ketua MK Suhartoyo pada sidang lanjutan uji materi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di MK, Selasa (23/7/2024).

"Kami bersurat ke menteri saja untuk memberi kesempatan Mahmakah Konsitutusi mendengarkan keterangan dari Dirjen Anggaran atau Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sidang hari ini belum bisa dilanjutkan dan akan dibuka kembali pada hari Kamis, tanggal 1 Agustus 2024 pukul 10.30 WIB," ucap Suhartoyo.

Pada sidang Selasa (23/7/2024), hadir Kepala Biro Perencanaan Kemdikbudristek Vivi Andriani sebagai saksi dari pemerintah dan Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Nisa Felicia sebagai ahli dari pemerintah.

Pendanaan SD-SMP Tidak Cukup

Vivi mengatakan pendanaan belum cukup untuk pendidikan dasar SD dan SMP. Sementara itu, Kemendikbudristek tidak terlibat secara keseluruhan, terutama dalam pengalokasian anggaran pendidikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

"Pendanaan yang kami ajukan belum sepenuhnya dipenuhi, (sehubungan) dengan hal-hal yang disampaikan oleh Kementerian Keuangan dan Bappenas bahwa terkait dengan ketersediaan pada tahun tertentu sehingga akan ada skala-skala prioritas, mana-mana saja yang kemudian akan dibiayai pada tahun tertentu," ucapnya.

Terkait belanja Kemendikbudristek untuk pendidikan dasar tahun 2024, Vivi mengatakan ada Rp 20,38 triliun dari total anggaran Kemendikburistek Rp 98 triliun yang dialokasikan untuk pendidikan dasar SD dan SMP, termasuk untuk belanja Program Indonesia Pintar (PIP).

"Pendanaan ini masih bersifat minimum. Jadi apabila diinginkan agar pendidikan tanpa dipungut biaya, ini tentu saja pendanaan minimum tidak memadai," kata Vivi.

"Jadi pendanaan yang dianggap cukup adalah sebesar Rp 345 triliun. Dan ini baru menghitung layanan SD dan SMP saja, belum menghitung kebutuhan untuk yang di madrasah," imbuhnya.

Sementara itu dari total anggaran pendidikan 2024 sebesar Rp 665 triliun, yang dialokasikan ke pendidikan dasar SD dan SMP adalah Rp 227 triliun.

Vivi mengatakan, adapun komponen Dana Alokasi Umum (DAU) pada anggaran pendidikan yang ditentukan penggunaannya (specific grant) diberikan untuk kebutuhan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pendanaan bidang pendidikan.

"Apabila ada penerimaan PPPK untuk guru, maka akan dipenuhi dari DAU specific grant. Namun pada tahun-tahun selanjutnya ini akan masuk ke DAU yang tidak ditentukan penggunaannya, yaitu DAU block grant," ucapnya.

Saran Penegerian Sekolah Swasta

Sementara itu Direktur Eksekutif Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) Nisa Felicia sebagai ahli dari pemerintah menyarankan penguatan pendirian sekolah negeri, penegerian swasta, atau kolaborasi yang tidak hanya memberikan sekolah gratis, tetapi juga berimbang. Dalam hal ini, sekolah swasta dapat menarik biaya dengan memberi pendidikan yang melampaui standar pemerintah.

Nisa mengatakan, sekolah swasta gratis tidak relevan dan bukan solusi efisien. Ia menjelaskan, pemberian anggaran bagi pemerintah memicu sejumlah konsekuensi akuntabilitas pada sekolah swasta.

"Memberikan dukungan sepenuhnya kepada swasta sehingga tidak ada lagi pungutan yang harus diberikan kepada peserta didik itu bukanlah solusi yang menurut kami relevan dan juga bukan solusi yang efisien, begitu juga dari tata kelola," ucapnya.

"Beberapa sekolah swasta itu bahkan tidak menerima BOSP (Bantuan Operasional Satuan Pendidikan) dengan sengaja karena tidak ingin independensi tersebut (hilang), termasuk keleluasaan memilih guru, menentukan kepala sekolah. Apabila menerima anggaran negara, maka konsekuensinya, kebebasan-kebebasan tersebut pun harus hilang," ucapnya.

Ia menjelaskan, sejumlah sekolah swasta menyelenggarakan program-program tertentu yang melampaui standar minimum pemerintah sebagaimana concern orang tua akan pendidikan berkualitas untuk anak. Karena itu, sekolah swasta punya alasan untuk menarik biaya dari orang tua dan tidak bisa dicabut negara. Di sisi lain, negara juga tidak boleh melarang sekolah swasta untuk tidak memungut biaya alias gratis.

Antisipasi Kesenjangan Naik

Nisa mengakui kesenjangan kesempatan pendidikan masih menjadi tantangan pendidikan di Indonesia. Namun, pihaknya menilai pemerintah perlu berhati-hati agar penambahan anggaran justru tidak memicu meningkatnya kesenjangan pendidikan.

Ia mencontohkan kesenjangan sekolah negeri di Amerika Serikat (AS) dengan sekolah negeri AS yang berbentuk charter school. Sekolah negeri charter school menerima pendanaan dari pemerintah, tetapi memiliki independensi yang lebih leluasa daripada sekolah negeri di sekitarnya sehingga dapat berpengaruh pada kualitas layanan pendidikannya.

"Sekolah ini (charter school) menyebabkan meningkatnya kesenjangan kesempatan pendidikan. Mengapa? Karena pilihan adalah sesuatu yang menguntungkan bagi mereka yang mampu, mereka yang memiliki informed decision. Tetapi bagaimana dengan keluarga dari kelompok miskin? Mereka harus rela dengan apa yang sudah tersedia di sekitar mereka (sekolah negeri)," ucapnya.

Inilah mengapa, lanjut Nisa, Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) tidak mendorong adanya privatisasi, bentuk-bentuk dukungan yang sepenuhnya, peningkatan dukungan yang lebih dari sepatutnya.

Nisa mengatakan, ketika sekolah swasta didukung besar-besaran, maka muncul pilihan-pilihan pendidikan bermutu. Namun, masyarakat mampu saja yang dapat keuntungan dari adanya pilihan tersebut.

"Ini bukan sesuatu yang saya rasa seusai dengan ideologi kita juga, karena kita ingin hak dasar itu dipenuhi secara adil dan merata untuk anak-anak kita. Tentu dalam sejarahnya pendidikan swasta itu memberi banyak. Hingga hari ini, angka partisipasi (sekolah) itu banyak didukung swasta," katanya.

Tapi, imbuh Nisa, balik lagi ke prinsip bahwa kualitas dan akses harus berjalan seiringan. Harus dipastikan juga lingkungan yang stabil dan sustainable.

"Maka kami sangat menyarankan justru gerakannya adalah penguatan pendirian sekolah negeri, penegerian swasta, atau kolaborasi yang tidak hanya masalah memberikan gratis, tetapi juga berimbang," ucap Nisa memberikan solusi.

(*/tribun-medan.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved