Breaking News

Catatan Sepak Bola

Musuh dalam Selimut, El Brutus

Hentakan pertama menyenangkan, tapi pelan-pelan jadi kurang menyenangkan setelah terkorelasi dengan hentakan kedua dan ketiga.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
Erick Thohir berbicara kepada awak media menjelang pemilihan Ketua Umum PSSI di Jakarta, beberapa waktu lalu. Erick terpilih sebagai Ketua Umum PSSI dan melakukan banyak gebrakan, di antaranya terkait peningkatan kualitas Tim Nasional Indonesia di semua level dan perbaikan mutu kompetisi domestik. 

TRIBUN-MEDAN.com- Sudah tahun 2025, dan saya memulainya dengan tiga hentakan sekaligus.

Hentakan pertama menyenangkan, tapi pelan-pelan jadi kurang menyenangkan setelah terkorelasi dengan hentakan kedua dan ketiga.

Saya memainkan video game sepak bola dengan seorang kawan, yang setelah memenangkan beberapa pertandingan mulai mengoceh ke mana-mana, hingga tiba pada satu pertanyaan [entah sebenarnya pernyataan] yang memaksa saya mengangguk-angguk: kau tahu, untuk sampai pada kualitas grafis yang membuat permainan sepak bola hampir senyata di lapangan seperti sekarang, dibutuhkan evolusi yang berlangsung setengah abad (?)
Eh, setengah abad sama dengan 50 tahun. Waktu yang panjang.

Benarkah demikian?

Sepenuhnya benar. Persisnya bahkan 51 tahun.

Video game sepak bola pertama di dunia dirilis secara terbatas pada tahun 1974 oleh satu perusahaan console bernama The Binatone TV Master MK IV.

Nama produknya, ‘Soccer’, dengan bentuk dan tampilan yang amat sangat sederhana. Hanya grafis hitam putih, bangun bujur sangkar, dengan empat garis pendek sejajar yang diletakkan di dalamnya, yang bisa digerak-gerakkan untuk memantulkan satu bulatan yang diandaikan sebagai bola.

Skor berubah apabila bulatan masuk ke ruang kosong di kedua sisi bangun bujur sangkar; gawangnya, tanpa tiang, tanpa jaring. Tidak ada garis-garis yang membentuk penalti dan bulatan di tengah lapangan.

Di tahun yang sama, perusahaan ini juga merilis versi lain. Versi lebih lengkap dan full colour. Ada lapangan, ada gawang, juga masing-masing 11 pemain di kedua sisi. Namun semuanya statis.

Pemain hanya pajangan, sebab yang bergerak adalah dua berbentuk segi empat dan satu bulatan, “pemain” dan “bola”. Konsepnya mirip permainan pinball.

Dari titik ini evolusi dimulai. Tahun 1978 dan 1979, lewat ‘Football’ dan ‘NASL Soccer’, meski tetap ditampilkan seperti gambar orang-orangan oleh tangan paling kanak-kanak, para pemain sudah tidak lagi statis. Pemain bisa bergerak ke kiri, kanan, maju, dan mundur.

Lalu angle, alias sudut pengambilan gambar. Puluhan video game yang dirilis silih berganti tampil dengan angle beragam; ada yang dari sisi depan, dari atas, bahkan menyerong mengambil sudut 90 derajat.

Suara juga mulai masuk. Dari monotone, dualtone, hingga stereo yang mengadaptasi teriakan penonton, lengking pluit, terompet, tetabuhan genderang, sampai siaran pandangan mata dari komentator.

Kemudian, di tahun 1994, Konami, perusahaan game dari Jepang, merilis‘Internasional Superstar Soccer’ yang menjadi check point pertama video game sepak bola modern, disusul seri-seri pertama ‘Kick Off’, ‘FIFA’, ‘Winning Eleven’, dan ‘Pro Evolution Soccer’.

Jadi sampai di sini memang masih menyenangkan. Namun segera berubah setelah saya mendapatkan satu video di TikTok yang berisi penyataan [ini benar-benar pernyataan] dari akun yang mendaku sebagai bagian dari suporter sepak bola Indonesia.

Terkhusus Tim Nasional (Timnas) Indonesia. Suporter yang benar-benar suporter, yang tidak hanya ikut merayakan kemenangan.

Menyebut diri sebagai ‘Kami’, akun ini memaparkan pentingnya proses dalam membangun sepak bola. Terlebih-lebih bagi sepak bola Indonesia yang selama ini sekarat.

Saya kira benar sekali. Sepak bola Indonesia memang tidak cocok dianalogikan sebagai macan tidur.

Indonesia adalah macan yang sekarat, yang kurus-kering tergeletak tak berdaya menunggu mati, karena malnutrisi. Macan yang hakekatnya karnivora tentu harus menyantap daging dan sebangsanya. Bukan mengunyah rumput atau menelan dedak.

Kondisi malnutrisi ini telah diperbaiki. Pelan-pelan, macan kurus kering yang hampir mati dibangkitkan, diberi daging, disuntikkan berbagai vitamin.

Otot-ototnya pun terbentuk, kuda-kudanya kokoh, pergerakannya mulai gesit. Aumannya sudah pula menggelegar. 

Dengan kata lain, macan sudah kembali menjadi macan. Namun untuk mengalahkan macan-macan di gelanggang tarung alam bebas dia tetap perlu waktu.

Kadang dia bisa menang, kadang kalah. Maka ketika menang tak usah terlalu disanjung, sebaliknya saat kalah jangan dirundung.

Seperti evolusi video game yang terentang panjang setengah abad, dan pastinya belum akan berhenti, pembangunan sepak bola Indonesia juga harus dilakukan dengan sabar, cermat, dan tidak buru-buru.

Masalahnya, tidak semua orang Indonesia berpikiran demikian. Tidak hanya suporter, sebagian pengamat sepak bola (kita sekarang ikut-ikutan menyebutnya ‘pundit’), termasuk juga orang-orang dalam federasi (baca: pengurus teras PSSI), masih menginginkan hasil yang instan.

Hasil yang sekonyong-konyong, seperti simsalabim abrakadabra, macan sekarat berubah jadi raja rimba.

Kalau sekadar begini pada dasarnya tak soal juga. Artinya menjadi pretensi pribadi. Ngedumel, tapi ditelan dan disimpan dalam hati. Celakanya, kita tahu, tidak begitu.

Sikap dan pandangan diutarakan ke publik, lantas dipaksakan jadi sikap dan pandangan umum pula. Lebih celaka lagi, makin ke sini, tolok ukurnya makin subjektif.

Makin menjurus kepada ketidaksenangan pribadi. Peluru demi peluru silih berganti ditembakkan.

Mulai dari local pride, Shin Tae-yong out, sampai refresh PSSI yang berujung pada wacana pelengseran Erick Thohir dari kursi ketua umum. 

Belakangan muncul isu lain yang lebih menyesakkan, bahwa sumber dari segenap sengkarut datang dari dalam PSSI sendiri. Ini sebenarnya bukan isu yang sama sekali baru.

Sejak “ribut-ribut” naik ke permukaan, kecurigaan peluru-peluru yang ditembakkan bersumber dari lingkaran PSSI sudah mencuat. Hanya saja, kala itu, siapa aktor-aktornya masih serba samar.

Kekalahan Indonesia di ajang ASEAN Mitsubishi Electric Cup (AMEC) 2024 sedikit banyak mulai menguak tabir. Belum 100 persen fix, memang. Belum A1.

Namun setidaknya sudah mengerucut ke berapa nama. Termasuk seorang anggota Executive Committee (Exco) PSSI. Di bagan organasisasi PSSI, Exco bukan “Orang Dalam”, melainkan “Orang Dalam Sekali”, dan isu ini jadi menyesakkan lantaran Exco dimaksud bahkan termasuk “tangan kanan” Erick Thohir.

Orang yang nyaris sehari-hari bersamanya. Orang yang sangat boleh jadi ia percaya hingga berkali-kali bicara atas namanya. Seperti Julius Caesar dan Marcus Junius Brutus.

Sir William Shakespeare menulis ‘Julius Caesar’ pada tahun 1599, dan alih-alih dimaknai sebagai tragedi dengan latar belakang ambisi politik dan kekuasaan, drama ini lebih dikenang sebagai kisah pengkhianatan.

Julius Caesar, raja dan panglima besar Romawi, menghadapi hantaman-hantaman yang bertujuan menggulingkannya dari kursi tertinggi.

Caesar tak ingin terguling, dan ia mempercayai Brutus, sahabat yang juga sepupunya dari sebelah ibu.

Kepercayaan berujung petaka. Saat menghadiri rapat senat di Teater Pompey, Caesar diserang, ditikam 23 kali dan mati.

Sebelum mengembuskan napas penghabisan, Caesar melihat Brutus di antara para penyerangnya, dan mengucapkan sebaris kalimat tanya yang barangkali bisa disebut paling dramatis sepanjang sejarah manusia: “Et tu, Brute?”

Iya, kau juga, Brutus? Di ujung napasnya, Caesar baru menyadari betapa Brutus terlibat dalam konspirasi untuk menyingkirkannya.

Catatan sejarah kemudian mengungkap bahwa Brutus bukan sekadar terlibat, justru dialah pemimpin konspirasi. 

Konon, Brutus tidak ingin kekuasaan Caesar jadi makin absolut. Brutus tak ingin Caesar jadi raja. Brutus ingin menyelamatkan demokrasi, dan oleh sebab itu, Romawi harus tetap berbentuk republik.

Pertanyaannya, jika “oknum” Exco tersebut bisa dianalogikan sebagai Brutus, apa yang hendak ia selamatkan?

PSSI, sepak bola Indonesia, atau jangan-jangan sekadar kepentingan dirinya sendiri? 

(t agus khaidir)

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved