Berita Viral

NASIB Nenek Yati, Tinggal di Rumah tanpa Atap, Ketakutan Setiap Mendung, Keberadaan Anaknya Disorot

Sesekali wajah Yati tampak mendongak ke atas memastikan mendung yang bergayut tidak menjadi hujan. Saat hujan turun ia ikut berteduh di rumah tetangga

KOMPAS.COM/SUKOCO
KETAKUTAN SETIAP MENDUNG: Kondisi rumah Yati yang tak lagi beratap karena lapuk yang membuat atap rumahnya ambruk belasan tahun lalu. Ia pun ketakutan setiap mendung 

Ia juga mengaku tidak bisa sekolah lantaran ekonomi keluarga angkatnya.


Ketika bekerja di salah satu pabrik di Jakarta, Yati mengaku bertemu dengan suaminya, Warsini, yang berasal dari Kabupaten Magetan, dan menikah.

“Sejak menikah sampai punya dua anak, kami sering pindah kontrakan kerja serabutan sampai akhirnya pulang ke sini karena anak ketiga saya mau lahir,” tuturnya.

Membangun rumah mungil

Di Desa Pelem, suaminya Warsini membangun rumah mungil dengan sumur di bagian belakang rumah. 

Setelah anak ketiga lahir, suaminya kembali ke Jakarta untuk bekerja. Hingga saat ini, rumah yang dibangun perlahan hancur. Yati mengaku tak tahu lagi keberadaan suaminya. 

“Suami saya berkali-kali menikah, tapi sampai saat ini saya tidak pernah bertemu lagi. Sampai rumah yang dia bangun ini hancur, saya tetap tinggal di sini,” kata Yati sambil terlihat air mata di sudut matanya. 

Meski mengaku hidup sulit, dia mengaku bisa membesarkan anak-anaknya hingga anak pertamanya menyusul bapaknya ke Jakarta dan hingga saat ini tidak diketahui keberadaannya. 

Sementara itu, anak keduanya yang sudah menikah saat ini mengontrak rumah di desa lain karena hanya bekerja sebagai buruh bangunan. 

Adapun anak ketiganya yang sudah memiliki tiga anak juga sempat mengontrak rumah yang tak seberapa jauh dari rumahnya saat ini. 

“Kalau malam saya dulu numpang tidur di rumah kontrakan anak, tapi karena tidak enak, mereka juga ngontrak sekarang, ya numpang di rumah siapa saja,” ucapnya sambil menyeka air matanya. 

Bergantung hidup dari belas kasihan Untuk menyambung hidup, Yati mengaku hanya bisa bergantung pada belas kasihan tetangganya. 
Sesekali dia mengaku diajak salah satu perangkat desa untuk mendapatkan bantuan. 

Dia mengaku sedih dan bingung harus ke mana menghadapi hidupnya. 

Satu-satunya harapan adalah dengan menempati rumah yang dibangun suaminya meski kondisinya saat ini hanya beratap langit. 

“Saya juga bingung harus bagaimana. Kemarin ada tawaran dari desa untuk tinggal di SD, tapi saya tidak kerasan,” ujarnya. 

Halaman
1234
Sumber: Tribun Jabar
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved