Catatan Sepak Bola

Angkat Kepalamu, Tegakkan Harga Dirimu!

Spanduk raksasa kreasi kelompok suporter La Grande Indonesia, bergambar burung garuda, dengan tulisan ‘show your dignity’.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
tribunnews/herudin
KOREOGRAFI - Kelompok suporter La Grande Indonesia menampilkan koreografi untuk mendukung Tim Nasional Indonesia pada laga melawan Bahrain di Stadion Gelora Bung Karno (SUGBK) Jakarta, Selasa (25/3). 

TRIBUN-MEDAN.com- Sesaat sebelum kick off Indonesia versus Bahrain di matchday delapan Kualifikasi Piala Dunia 2026, Selasa, 25 Maret 2025, di tribun utara Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, terbentang koreografi spektakuler.

Spanduk raksasa kreasi kelompok suporter La Grande Indonesia, bergambar burung garuda, dengan tulisan ‘show your dignity’.

La Grande memang kerap menyajikan koreografi menakjubkan.

Kala Indonesia bersua Jepang, 15 November 2024, mereka memampangkan gambar raksasa pertarungan Gundala Putra Petir kontra Godzilla, karakter-karakter fiksi legendaris dari kedua negara. 

Duel Gundala dan Godzilla disertai kalimat, ‘Untungnya ku tak pilih menyerah’, yang dicuplik dari lagu Bernadya.

Unik dan menarik, dan karenanya mengagumkan.

Namun spanduk garuda pada laga melawan Bahrain, tidak sekadar mengundang decak kagum. 

Ia juga menggugah, menggetarkan hati dan jiwa. Tunjukkan harga dirimu!

Kenapa La Grande menulis demikian? Kenapa mereka menekankan perihal harga diri?

Barangkali bisa dikedepankan setidaknya dua jawaban.

Laga versus Bahrain berjarak hanya lima hari dari “Tragedi Sidney”. Lima gol digelontorkan Australia ke gawang Indonesia. Lima gol yang sungguh terasa menyakitkan, terutama lantaran ekspektasi yang mengawalinya.

Penurunan performa Australia, plus ketidakhadiran tujuh pemain penting mereka, melejitkan keoptimistisan. Suporter jadi sangat percaya diri karena di lain sisi, Indonesia sedang “cantik-cantiknya”.

Meski ada hantaman keras; PSSI memecat Pelatih Kepala Shin Tae-yong (STY) dan menggantinya dengan Patrick Kluivert, keberhasilan menambah amunisi pemain diaspora berkelas tetap menjaga keyakinan.

Namun Sidney pada akhirnya, kita tahu, memang menjadi tragedi. Indonesia yang memulai bentrok dengan cemerlang harus keluar lapangan dengan dada sesak.

Lima gol yang boleh dikata begitu mudah. Bek-bek Indonesia; Jay Idzes, Mees Hilgers, serta Kevin Diks dan Calvin Verdonk di kedua sisi lapangan, yang notabene bukan pemain “kacang-kacang” di liga-liga top Eropa, dibikin seperti pesakitan tanpa daya. Mereka kelihatan begitu konyol di hadapan pemain-pemain Australia.

Kekalahan ini, seperti yang telah menjadi adat kebiasaan di negeri terkasih ini, segera melesatkan huru-hara kata. Jempol-jempol bergerak liar di kolom-kolom komentar berbagai macam unggahan di media sosial.

Sasaran tembak: Diks yang gagal penalti, Hilgers yang bermain serba canggung, Nathan Tjoe A-on yang kebingungan, dan –sudah barang tentu– Kluivert.

Wajah Kluivert yang datar, juga yang menunjukkan senyum tipis kala VAR memutuskan Indonesia mendapatkan penalti, menjadi komoditi-komoditi utama penghujatan.

Tak tanggung pula, sudah ada yang menyuarakan pendepakan. Tanda pagar (#) PatrickOut sempat menjadi trending.

Diakui atau tidak, Kluivert dan para asistennya; Alex Pastoor, Denny Landzaat, dan Gerald Vanenburg, memang membuat kesalahan.

Mereka mengambil resiko besar, mengubah skema permainan dari tiga bek sentral menjadi empat bek sejajar, dengan dua defensive midfielder (DM).

Padahal, sejak era STY, skema empat bek sejajar, dengan dua bek tengah, hampir-hampir tidak pernah digunakan.  

STY, hingga laga terakhirnya kontra Arab Saudi, tetap setia dengan formasi tiga bek. Termasuk kala menurunkan komposisi “aneh” melawan China. STY menempatkan Idzes diapit Hilgers dan Verdonk. 

Lantas sekonyong-konyong, Kluivert mengubahnya menjadi empat bek sejajar. Idzes berduet dengan Hilgers.

Ini duet bernilai pasar 13,2 juta euro atau setara Rp 236,38 miliar (nilai tukar Rp 17.908). Hampir empat kali lipat lebih tinggi dari trio bek tengah Australia; Cameron Burgess, Kye Rowles, dan Jason Geria.

Total nilai mereka “hanya” 3,8 juta euro atawa Rp 68 miliar. Persoalannya, harga, ternyata tidak berbanding lurus dengan kualitas.

Dalam hal ini khususnya korelasi dan soliditas. Kebiasaan bermain di klub yang menerapkan pola berbeda, Venezia dengan tiga bek tengah dan Twente dengan dua bek, membuat Idzes dan Hilgers tak gampang padu.

Langkah keputusan yang mereka ambil nyaris selalu berujung pada ancaman yang membahayakan gawang Paes.

Belum lagi ruang-ruang antara, ruang kosong yang tercipta lantaran keduanya kerap berada di posisi yang saling berjauhan [atau sebaliknya kelewat rapat], berulangkali membawa petaka.

Pertanyaan pun melesat berseliweran, apakah Kluivert, dan para asistennya, tidak dapat menangkap sisi lemah ini sebelumnya? Apakah ia tidak menjadikan pola-pola terapan STY sebagai referensi analisis? Atau pertanyaan-pertanyaan dengan tendensi kecurigaan semacam apakah ia terlalu tinggi gengsi untuk meneruskan kerja pendahulunya (?), atau jangan-jangan memang ada yang berupaya merusak tim dari dalam (?)

Tak cukup sampai di sini, ribuan pasang jempol jahat yang digerakkan oleh otak-otak serba kotor dan busuk, mulai membombardirkan narasi-narasi menyesatkan.

Terutama sekali yang menggiring opini untuk mempercayai, bahwa situasi di tubuh Tim Nasional Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Kluivert, misalnya, disebut mengkhawatirkan Bahrain, menyebut Bahrain sebagai lawan berat dan meminta suporter sepak bola Indonesia untuk bersabar dan berbesar hati apabila laga berkesudahan dengan kekalahan.

Poin yang dikedepankan sebagai dasar argumentasi adalah pengalaman pahit Kluivert yang pernah digelontor Bahrain empat gol tanpa balas saat membesuit Curacao.

Padahal Kluivert sama sekali tidak pernah melepas kalimat seperti itu. Dia tidak pernah mengaku cemas.

Tidak pernah menyerah sebelum bertanding. Justru sebaliknya, Kluivert, dengan tetap percaya diri, menyebut di laga melawan Bahrain Tim Nasional Indonesia akan kembali mengusung pola menyerang.

Bagaimana mungkin kebohongan seperti ini bisa diapungkan? Beberapa jam sebelum pertandingan, muncul foto Kluivert dan Pastoor, yang tengah berbincang dan menunjukkan mimik wajah serius. Namun narasi yang dikemukakan adalah perpecahan.

Tim Nasional Indonesia punya dua nakhoda yang mulai berjalan ke arah berlawanan. Semacam dua matahari yang mulai berbenturan.

Ada pula yang mulai menyenggol-nyenggol Erick Thohir, membentur-benturkannya dengan STY, dengan kelompok-kelompok suporter. Disebutkan, suporter mendesak Erick untuk mengembalikan STY ke tim nasional.

Suporter tidak puas dengan kinerja Erick dan PSSI, dan memberikan ultimatum, sekiranya kembali gagal kontra Bahrain, maka Erick dan seluruh gerbongnya wajib mundur.

Angin Kongres Luar Biasa atawa KLB mulai diembuskan.

Untungnya, kelompok-kelompok suporter ini, yang masih menjaga kewarasan, tidak cepat terpancing.

Sebaliknya, mereka mengabaikan isu-isu tersebut dan memilih menyatukan suara, sepakat untuk membantu membangkitkan moral bertanding para penggawa Tim Nasional Indonesia agar jangan sampai jatuh ke titik beku.

Kita tahu, upaya ini, sedikit banyak memang membantu. Bentangan koreografi itu, juga gemuruh sorak-sorai yang tiada henti itu, menyulut lagi semangat pemain. Ibarat tungku pembakaran mereka membara lagi.

Sejak pluit kick off, pemain-pemain Indonesia menggempur pertahanan Bahrain dari semua lini. Namun kali ini dengan pertahanan yang lebih rapi terkoordinir.

Kluvert, dan Pastoor, dan Landzaat, dan Gerald Vanenburg, agaknya benar-benar menjadikan kekalahan di Sidney sebagai pelajaran.

Mereka kembali memainkan tiga bek, memilih kombinasi terakhir, dan mungkin yang paripurna, dari STY; Idzes, Justin Hubner, dan Rizky Ridho.

Mereka juga memberi caps pada Joey Pelupessy, menempatkannya di pos DM, dan duetnya dengan Thom Haye, menciptakan kekokohan di satu sisi dan keluwesan di sisi yang lain.

Hasil akhirnya melegakan. Indonesia menang 1-0 melalui lesakan Ole Romeny.

Kerjasama apik Pelupessy, Haye, Marselino Ferdinan, dituntaskan dengan dingin sekali oleh Ole, yang kemudian merayakannya dengan cara yang tak kalah bikin bergidik.

Ole berlari, lantas menopangkan tangannya di bawah dagu, ‘head high always’. Ole pernah bercerita, gestur tangan pada selebrasi ini merupakan pengingat atas nasihat neneknya, bertahun lalu.

Nenek Ole, Helene Wilhelmina Degenaars, yang lahir di Medan, Sumatra Utara, pada 2 April 1923, selalu bilang agar cucunya percaya diri dan tidak minder kepada siapa pun. Tegakkan, angkat kepalamu! Tunjukkan harga dirimu!

Ole melakukannya tiap kali mencetak gol, dan kini ia melakukannya lagi, bukan hanya untuk Sang Nenek tapi juga untuk Indonesia.

(t agus khaidir)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved