Catatan Sepak Bola

Tak Perlu Main Bagus yang Penting Menang

Lebih baik kalah daripada menang dengan cara seperti itu. Menang tanpa kebanggaan. Istilah yang lebih tolol, menang rasa kalah.

Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
doc.pssi/instagram erickthohir
MENANG - Pemain Tim Nasional U-17 Indonesia Evandra Florasta berteriak di depan kamera usai mencetak gol yang mengantarkan kemenangan Indonesia atas Korea Selatan di kejuaraan Piala Asia U-17 yang digelar di Riyadh, Arab Saudi, kemarin. 

TRIBUN-MEDAN.com- Adakah yang tidak benar-benar ikut bergembira menyambut kemenangan Tim Nasional U-17 Indonesia atas Korea Selatan di Kejuaraan Piala Asia di Riyadh, Arab Saudi, malam kemarin? Seribu persen kali seribu pangkat seribu, jawabannya ada. Bahkan banyak jumlahnya.

Apa boleh buat, ini Indonesia! Negeri yang rakyatnya miskin literasi, sungkan membaca, tapi amat sangat gemar memberi pendapat yang berangkat dari keyakinan sendiri.

Tidak peduli apakah keyakinan itu berpijak pada fakta bertolok ukur ilmiah, penuh pertimbangan dan perhitungan, atau justru ngawur belaka. Sekadar pakai “ngelmu” kira-kira. 

Namun ini belum seberapa. Sebagian dari mereka yang ngawur ini bermental inferior pula.

Mental inlander, yang selalu merasa kecil, merasa kalahan dan tak berdaya, yang celakanya, di saat bersamaan coba ditutupi dengan sikap sok gagah.

Satu kecenderungan yang kemudian melahirkan ambiguitas absurd.

Ingin menang, tapi ketika kemenangan benar-benar datang, justru ramai-ramai dicibir, diejek-ejek, dipandang sinis, bahkan digugat, seolah yang lebih pantas diraih adalah kekalahan.

Lebih baik kalah daripada menang dengan cara seperti itu. Menang tanpa kebanggaan. Istilah yang lebih tolol, menang rasa kalah.

Pertandingan melawan Korea Selatan  di matchday pertama Grup C Babak Penyisihan Piala Asia U-17 2025 jadi contoh anyar.

Contoh nyata yang bikin siapa pun yang masih bisa berpikir lurus, dan waras, akan merasa perlu untuk mengurut dada.

Evandra Florasta melesakkan gol di menit 90 + 1.

Namun gol ini kemudian ditanggapi dengan pertanyaan yang sungguh kelewatan konyolnya.

Ada banyak variasi, tapi kurang lebih narasinya begini: apakah cocoran Evandra atas bola pantul dari kiper Korea setelah ia gagal melakukan eksekusi penalti pada kesempatan  pertama, tergolong sah atau tidak?

Argumentasi terkait aturan baru penalti dikedepankan: bahwa bola pantul dari kiper dalam situasi penalti di waktu normal yang disambar oleh pemain yang menjadi eksekutor tidak dihitung sebagai gol.

Lalu ada yang dengan keyakinan level aduhai menjatuhkan vonis gol Evandra tidak sah, tanpa mencari tahu terlebih dulu apakah aturan baru perihal penalti ini sudah diterapkan atau belum.

Ada pula yang berandai-andai, seumpama misalnya aturan sudah diberlakukan, maka Indonesia akan gagal menang.

Astaga! Ulat macam apa yang blingsatan jungkir balik di kepala orang-orang ini? Apakah mereka merasa lebih kompeten dari wasit yang ditunjuk FIFA untuk memimpin pertandingan? Betul-betul kocak.

Untung saja Pak Edy Rahmayadi sudah lengser dari jabatan Ketua Umum PSSI. Kalau tidak, niscaya beliau akan menyergah dengan hardikan, apa hak Anda mempersoalkan gol itu? Sepanjang wasit tidak menganulir, artinya final dan sah! Tak ada opsi.

Tak ada gugatan. Terlebih-lebih dari luar lapangan. 

Ambiguitas absurd lain melejit dari perdebatan menyangkut ball possesion atawa penguasaan bola.

Indonesia diserang dari segenap penjuru mata angin, habis-habisan, dari menit pertama sampai 100.

Para pemain Korea sama sekali tidak memberi kesempatan penggawa-penggawa Indonesia untuk berlama-lama menguasai bola.

Persentasenya jomplang sekali, 70 berbanding 30.

Dari serangan-serangan mereka yang mengalir dahsyat, Korea melepas tak kurang 20 tembakan, separuhnya mengarah ke gawang.

Tiga di antaranya bahkan benar-benar merupakan peluang matang.

Ibarat emas murni, peluang ini berkadar 99,9 persen alias mesti berbuah gol.

Nyatanya, tak satu kali pun kiper Garuda Muda memungut bola dari dalam gawang. Indonesia? Hmmm... Sepanjang 100 menit yang terkurung itu praktis hanya ada dua peluang, dua tembakan ke gawang, yang ternyata menghasilkan satu gol.

Beruntung? So what? Apa yang salah dari keberuntungan? Dalam sepak bola, atau dalam olahraga apa saja, keberuntungan menjadi satu di antara faktor kemenangan.

Apakah ada pula masalah dengan peluang yang minim? Apakah ada persoalan dengan persentase 30 berbanding 70? Apakah kalah statistik berarti kalah dalam pertandingan? Apakah memalukan?

Sama sekali tidak. Hakekat sepak bola adalah menang atau kalah, bukan siapa yang paling banyak menguasai bola dan menciptakan peluang. Satu peluang satu gol jauh lebih baik ketimbang 20 peluang tanpa gol. 

Tim Nasional U-17 Indonesia besutan Nova Arianto sudah berada di jalan yang benar.

Jalan yang berpotensi tiba di gerbang yang juga benar, gerbang menuju Piala Dunia U-17 yang akan dihelat 3-27 November 2025 di Qatar.

Tiga poin dari Korea Selatan membuat Indonesia untuk sementara berada di peringkat dua klasemen, di bawah Yaman, yang berselang beberapa jam setelah laga Korea versus Indonesia menekuk Afganistan 2-0.

Seturut regulasi FIFA untuk Piala Dunia U-17, tiket emas itu, akan dikantongi apabila Yaman juga bisa dibekap di laga yang berlangsung Senin, 7 April.

Ya, AFC, lewat Piala Asia yang dijadikan fase akhir kualifikasi, mendapatkan jatah delapan slot plus tuan rumah. Artinya, dua kontestan dari tiap grup bakal lolos langsung ke Qatar. 

Apakah Indonesia akan kembali bermain defensif dan tidak menarik seperti saat menghadapi Korea? Barangkali tidak.

Yaman bukan Korea. Persisnya, tidak memiliki kualitas dan pengalaman di pentas dunia setara Korea. Barangkali Indonesia akan lebih menyerang, lebih atraktif, dan oleh sebab itu akan kelihatan lebih menarik. 

Namun sekiranya tetap defensif, tetap tidak menarik, tetap membosankan, menjengkelkan, dan bikin degdegan tak keruan, apa masalahnya? Bukankah dengan tiga poin tambahan kita akan pergi ke Piala Dunia? Bukankah memang ini tujuan utamanya? 

Kedengaran pragmatis, tapi sekali lagi, apa masalahnya? Jose Mourinho pernah bilang tak perlu bermain bagus yang penting menang.

Ingat baik-baik strategi terapan, jaga konsentrasi, jangan terlalu percaya diri dan jangan pernah merasa menang sebelum pertandingan betul-betul selesai. Ini kuncinya. 

Tidak usah macam-macam. 

Carlos Bilardo, pelatih yang membawa Argentina satu kali juara dan satu kali runner up Piala Dunia, mengaku lebih suka menang meski babak belur ketimbang merasa ciamik, digdaya dan perkasa, tapi kalah angka. Main bagus percuma belaka kalau ujung-ujungnya tidak menghasilkan apa-apa. 

Bagaimana dengan premis kemenangan yang indah? Bukankah kemenangan bisa sekaligus diraih dengan bermain bagus, bermain cantik?

Tentu saja. Tiki Taka memesona. Pun Gegenpressing dan Totaalvoetbal, dan Ginga membuat tiap anggota skuad Tim Nasional Brasil di Piala Dunia 1958 dan 1970 menarikan Samba yang sangat boleh jadi akan dikenang sepanjang masa.

Namun bukankah Catenaccio yang sama sekali tidak indah juga mengantarkan Italia empat kali jadi juara dunia?

Dengan kata lain, sekiranya memang tidak bisa memukau, tidak memiliki kapasitas untuk bermain dengan cara yang mengundang decak kagum, maka sepanjang tetap menjunjung tinggi asas-asas kehormatan dan sportivitas, bermainlah dengan cara apa saja.

Mau parkir bus, parkir kereta api, atau parkir pesawat ulang-alik sekali pun, lakukanlah. Jangan sesekali ragu. Peduli setan pada mereka-mereka yang terlalu menghamba pada keindahan itu.

Apalagi badut-badut yang sebentar bicara begini sebentar begitu atas dasar kepentingan-kepentingan pribadi itu.

Tampik saja. Anggap angin lalu. 

Sebab ketika wasit meniup pluit panjang tanda pertandingan berakhir, yang keluar lapangan dengan kepala tegak adalah para pemenang.

Dalam sepak bola, atau olahraga apa saja, pada dasarnya tidak ada kekalahan yang terhormat.

Istilah ini keliru dan menyesatkan dan harus segera dikubur dalam-dalam dan jangan pernah dibiarkan bangkit sampai hari kiamat tiba.

Kalah terhormat tidak lebih dari sekadar upaya pengingkaran yang menyedihkan terhadap kenyataan.

Menang ya menang. Kalah ya kalah. Raja tanpa mahkota hanya hidup dalam dongeng-dongeng melankolis.

(t agus khaidir)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter   dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

 

Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved