Catatan Sepak Bola
Korea yang Ini Lebih “Danger”
Tim nasional tidak akan dibubarkan, dan Nova tetap di kursinya, tidak mengulang nasib yang dialami mentornya, Shin Tae-yong.
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Ayu Prasandi
TRIBUN-MEDAN.com- Tujuan utama Tim Nasional U-17 Indonesia berlaga di kompetisi Piala Asia U-17 2025 sudah tercapai. Indonesia mengantongi tiket ke putaran final Piala Dunia U-17 yang akan digelar di Qatar, November 2025.
Maka apabila para petinggi PSSI tidak “gatal tangan”, tidak digelitiki ulat yang jumpalitan dalam kepala, semestinya tim nasional muda ini, dan sudah barang tentu posisi Nova Arianto pelatihnya, sudah lebih dari sekadar aman.
Dengan kata lain, apapun hasil Piala Asia selanjutnya, entah terus melaju sampai penghujung kompetisi atau terhenti sampai di sini, tidak akan berpengaruh apa-apa.
Tim nasional tidak akan dibubarkan, dan Nova tetap di kursinya, tidak mengulang nasib yang dialami mentornya, Shin Tae-yong.
Sebutlah saja Nova aman. Meski kerap disebut berpola pandang “Shin-Tae-yongisme”, Nova boleh dikata tidak punya banyak musuh.
Para pengamat bermulut “lemes” yang beropini miring terhadapnya hampir tidak ada. Paling-paling Tommy Welly. Itu pun sudah dibantah menyusul kehebohan di media sosial: Towel, begitu sapaan populernya, ditantang adu pukul di atas ring oleh aktor Hamba Ramanda alias Yama Carlos.
Pun “orang-orang dalam” PSSI, setidaknya sampai sejauh ini, juga aman. Tidak ada yang tampil di podcast-podcast, di acara televisi, lalu mengusiknya soal komposisi pemain atau pemilihan strategi. Tidak ada yang mempersoalkan friksi di kamar ganti.
Nova dan pemain-pemainnya, terjauhkan sepenuhnya dari perkara-perkara tidak penting di luar lapangan.
Pun di media sosial. Kebijakan Nova melarang para pemain membuka media sosial berdampak baik. Mereka steril dari “sampah” dan “hama”, dan oleh sebab itu, seyogianya bisa fokus, berkonsentrasi penuh ke pertandingan selanjutnya. Terlepas dari nantinya menang atau kalah.
Pertanyaannya, seberapa besar peluang Indonesia untuk menang atau kalah? Lawan yang menanti di fase perempat final adalah Korea Utara, runner up grup D.
Mereka melorot ke posisi dua, setelah di laga pamungkas lain di grup ini, Tajikistan menekuk Iran 3-1. Korea Utara sendiri ditahan imbang Oman 2-2.
Ini Korea kedua yang dihadapi Indonesia. Ketiga jika tim Korea Korea Selecao (KKS) besutan Justinus Laksana yang lucu-lucu itu turut dihitung.
Dari ketiganya, baik dari hitung-hitungan statistik maupun performa di lapangan, Korea Utara terbilang (akan jadi) yang paling berat. Mereka jauh lebih “danger”, lebih berbahaya dan mematikan ketimbang saudara serumpun sekaligus musuh terbesarnya, Korea Selatan.
Korea dari sisi utara ini menjejakkan kaki di Arab Saudi setelah merajai babak kualifikasi.
Mereka kala itu berada di grup A, bersaing dengan Iran, Hongkong, Suriah, dan Yordania.
Bemain di Yordania yang ditunjuk sebagai tuan rumah, mereka menuntaskan empat laga dengan kemenangan meyakinkan, melesakkan total 17 gol dan hanya kemasukan 4 gol.
Mereka bahkan menghajar Iran, yang notabene merupakan salah satu raja sepak bola Asia, dengan skor 4-1.
Di Saudi, Korea Utara kembali bertemu Iran dan hasilnya tetap positif. Memang, Iran kali ini berhasil menahan mereka 1-1.
Namun nyaris 90 menit laga berjalan “separuh lapangan”, berat sebelah. Iran dipaksa sepenuhnya bertahan. Tajikistan yang akhirnya keluar grup sebagai juara, diempaskan tiga gol tanpa balas.
Kecemerlangan Korea Utara terletak pada kecepatan dan penempatan bola-bola mereka yang presisi. Selain itu, tentu saja, fisik.
Secara kasat mata, fisik pemain-pemain Korea Utara yang sebagian besar belum lepas usia remaja ini sudah kelihatan hampir jadi.
Tinggi badan dan volume otot-ototnya hampir ideal. Tidak seperti, katakanlah, pemain-pemain Yaman atau Afganistan yang dihadapi Indonesia.
Tinggi bagus tapi tidak dengan volume otot. Perbandingan yang membuat mereka cenderung tampak “cungkring”.
Di media sosial, sejumlah warganet Indonesia, didorong “kejulidan” dan entah pula keisengan, menaruh curiga bahwa Korea Utara melakukan pencurian umur.
Sejumlah pemain, sebut mereka, mungkin saja lebih tua. Kocak, tapi tidak terlalu ngawur.
Ada sedikit pijakan logika: dengan kuasa yang mutlak pemerintah Korea Utara memang bisa melakukan apa saja, dan AFC, atau bahkan FIFA, akan merasa “tidak punya waktu” terbang ke Pyongyang untuk memeriksanya.
Sekali lagi ini anekdot. Terlepas dari itu, secara teknis Korea Utara terbilang dahsyat. Mereka kokoh dan padu di tiap lini, dari kiper sampai barisan penyerang. Seperti tetangga di Selatan, mereka juga bermain sistematis.
Tiap-tiap aliran bola bergerak dengan pola-pola yang terukur dan terencana. Termasuk dalam hal memutus serangan lawan. Kontra Oman mungkin bukan performa terbaik Korea Utara, tapi versus Iran dan Tajikistan, mereka betul-betul menunjukkan soliditas.
Indonesia pun bermain buruk di laga terakhir. Walau menang 2-0 atas Afganistan, organisasi permainan Indonesia secara keseluruhan kacau balau.
Terutama sekali di babak pertama.
Pemain-pemain “lapis dua”, pemain yang relatif mendapatkan menit bermain sedikit, seolah ingin show off di depan Nova Arianto.
Berlama-lama dengan bola, gocek sana gocek sini, ujung-ujungnya lelah sendiri. Bola lepas peluang melayang. Tindakan yang sudah barang tentu merugikan tim.
Namun rasa-rasanya Indonesia tidak akan seceroboh ini di hadapan Korea Utara.
Nova Arianto pastinya sudah berhitung-hitung –dan sudah sampai pula pada ujung hitungan.
Kecuali ada “sesuatu dan lain hal”, peristiwa atau kejadian yang betul-betul tidak diperkirakan sebelumnya, kemungkinan besar Nova akan memilih formasi yang diturunkannya pada laga melawan Korea Selatan dan Yaman.
Apakah ini berarti Indonesia akan kembali bermain lebih bertahan dan mengandalkan serangan balik? Apakah Indonesia akan parkir bus? Bertahan, parkir bus, atau parkir kapal laut, kereta api dan pesawat ulang-alik sekali pun, tidak jadi masalah.
Tidak masalah bermain dengan cara yang tidak enak ditonton, membosankan, atau sebaliknya bikin jantung empot-empotan tak keruan, terpenting bisa meraih kemenangan dan melaju ke fase selanjutnya.
Jadi tak usah pedulikan suara-suara sumbang. Tak usah tanggapi ocehan “sampah” dan “hama” yang ingin numpang tenar.
Peduli setan dengan Towel. Sekiranya kali ini dia “berulah” lagi, melempar pernyataan-pernyataan yang menjengkelkan dan tidak respek terhadap perjuangan anak-anak bangsa, maka sepertinya memang perlu dicarikan sponsor, agar tantangan Yama Carlos untuk berduel dengannya di atas ring dapat terwujud.
(t agus khaidir)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.