Laporan Wartawan Tribun Medan/Alija Magribi
TRIBUN-MEDAN.com, MEDAN - Kepala Kepala Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Prof Edi Yunara SH mengakui beberapa dosen hukum di USU sangat tertarik meneliti kasus korupsi yang diduga dilakukan Tamin Sukardi. Dia mengatakan harusnya ada tersangka lain dalam kasus ini.
Edi dalam paparannya mengatakan bahwa pihaknya telah memperhatikan kasus tersebut dari media sejak Tamin Sukardi jalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Medan atau 6 Agustus 2018 lalu.
"Sejak tuntutan saya sudah menganggap kasus ini menarik. Kemudian lebih intens saya pelajari kasus ini sejak Jumat, 4 hari yang lalu mengingat kasus ini cukup menyita perhatian" ucap Edi Yunara kepada wartawan, Rabu (7/11/2018)
Sebagai seorang profesor yang bekerja di dunia pendidikan, Edi Yunara mengatakan fungsi pendidik selain meng-edukatif juga memberikan pengetahuan keahliannya kepada masyarakat banyak.
"Karena keputusan hakim dalam kasus ini unik, kami sebagai akademisi hukum USU berencana memberikan pandangan kami tapi bukan bermaksud menyalahkan siapa-siapa," ucapnya.
Edi mewakili empat ahli hukum USU lain, dalam pengetahuannya menyimpulkan sementara bahwa kasus korupsi lahan eks HGU PTPN2 Helvetia seluas 106 Hektar perlu ditinjau lagi. Edi menjelaskan banyak hal yang tidak diperhatikan dalam kasus tersebut.
Edi Yunara mengatakan bahwa posisi Tamin Sukardi (74) ditetapkan sebagai tersangka sendiri adalah hal yang aneh. Imbuhnya dari kronologi, status Tamin Sukardi hanya saksi. Sehingga bagaimana mungkin seorang saksi jual-beli tanah ditetapkan sebagai tersangka sementara yang menjual maupun yang membeli tidak dihukum.
"Kasus Tamin Sukardi cukup unik, karena yang melawan perbuatan hukum sebenarnya tidak diproses. Malahan, saksi (Tamin Sukardi) yang dijadikan tersangka," ucap Prof Edi Yunara
Dalam perkara ini putusan hukum terhadap terdakwa bersumber dari dakwaan jaksa dinilai keliru. Sebagai contoh, sebut Edi, pelakunya satu orang tetapi diterapkan Pasal 55 KUHP. Hal ini jelas bertolak belakang, karena dalam penerapan pasal tersebut cenderung lebih dari satu orang pelakunya.
"Bisa dibilang kecelakaan hukum dalam dunia peradilan di Sumatera Utara. Kalau seperti ini kondisi hukum kita, tentu masyarakat akan takut menjadi saksi karena bakal terlibat lantaran mengetahui. Kondisi hukum seperti itu juga merupakan suatu kemunduran dan sangat bahaya," tuturnya.
Ia menambahkan, uang kerugian 132,4 Miliar harusnya dihitung kejaksaan dari audit BPK RI ataupun BPKP Sumatera Utara, bukan berasal dari audit independen swasta yang sangat mungkin tidak menghitung secara objektif.
"Setahu saya, Peraturan Mahkamah Konstitusi audit kerugian negara yang valid itu dihitung oleh BPK RI ataupun BPKP. Bukan melalui akuntan publik swasta," pungkasnya
Diketahui terdakwa Tamin Sukardi diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Medan pada 27 Agustus 2018 lalu. Kala itu hakim Wahyu Prasetyo Wibowo memutus Tamin Sukardi dengan pidana penjara selama 6 tahun, denda 500 juta rupiah subsider 6 bulan.
Selain itu Tamin Sukardi diharuskan membayar kerugian negara sebesar 132,4 miliar rupiah dengan ketentuan apabila tidak sanggup membayar dalam waktu satu bulan atau jika harta bendanya tidak cukup membayar uang tersebut akan diganti pidana penjara selama 2 tahun.