Sekitar satu jam kemudian, untuk kedua kalinya laki-laki tadi datang lagi. Kali ini ia membawa seorang tentara bersamanya.
Melihat orang tersebut datang dengan tentara, anak-anak itu langsung ketakutan dan berlari.
Mereka trauma mengingat ayah mereka juga pernah dibawa paksa oleh tentara.
"Kakak sudah berfirasat sejak awal, melihat dari jauh ada tentara datang berdua begitu, kakak langsung menggendong adik yang masih bayi dan langsung lari," tutur Saifuddin awal Juni lalu yang dikutip dari BBC Indonesia, Sabtu (24/5/2023).
Saking takutnya, sang abang masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu, tanpa sadar Saifuddin masih di luar.
Saifuddin lari ke samping rumah. Namun, tentara itu dengan mudah menyambar kaki mungilnya lalu memaksanya naik ke atas sepeda motor.
Ia bercerita, sepanjang jalan hanya bisa menangis, saat dibawa ke Rumoh Geudong, beberapa kilometer dari Desa Krueng Jangko, rumah Saifuddin.
Teriakan tak bisa didengar, musik dibunyikan kencang
Dalam penjelasan di buku Rumoh Geudong, the Scar of The Acehnese, disebutkan bahwa tentara Indonesia (Kopassus) menduduki rumah khas Aceh tersebut sejak 1990 dan mulai menjadikannya sebagai kamp penyiksaan di ujung tahun 1995.
Saifuddin sendiri mengaku dibawa ke sebuah ruangan yang merupakan lantai dasar Rumoh Geudong. Namun, ia tidak ingat dengan jelas bentuk ruangan tersebut.
Menurut buku itu, di lantai dasar rumah tersebut terdapat ruang penyiksaan yang berada di depan dan sebuah ruangan lagi "untuk menyimpan jenazah para tahanan yang dibunuh di ruang lainnya".
Seingat Saifuddin, ia didudukkan oleh salah seorang tentara ke atas meja terbuat dari ban yang sangat besar—diyakininya merupakan ban alat berat.
Di atasnya telah dilapisi dengan kaca bundar.
"Di tepinya ada ditaruh benda semacam baterai mobil begitu, sebesar ini."
Ia mengangkat kedua tangan, membayangkan ukuran benda tersebut di sana. "Seperti baterai mobil truk," tambahnya.