Dalam kondisi terluka secara fisik dan batin, Li hanya bisa menangis mengenang masa lalunya.
“Dulu aku percaya bahwa akulah wanita paling bahagia. Ia berkata aku adalah anugerah yang akan dijaganya seumur hidup. Namun ternyata, bahkan anak kami pun tidak dianggap manusia oleh dia,” ujarnya getir.
Kini, Li berjuang membesarkan anaknya seorang diri sambil menanggung beban utang dan trauma.
Ia mencoba mencari nafkah dengan bekerja daring dan sesekali harus meminta bantuan teman serta dermawan untuk mencukupi kebutuhan anaknya, seperti susu dan obat-obatan.
Beberapa pakar hukum di Tiongkok menyatakan bahwa jika terdapat unsur paksaan atau penipuan dalam proses pinjaman, maka Li dapat mengajukan gugatan untuk membatalkan utang tersebut.
Selain itu, suami yang menelantarkan istri dan anaknya juga dapat dikenai kewajiban hukum untuk memberikan tunjangan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Tiongkok.
Namun hingga kini, belum ada laporan terkait intervensi resmi dari lembaga hukum.
Kisah ini memicu kemarahan publik. Banyak yang mengecam tindakan suami Li sebagai tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Meski begitu, sebagian netizen menyayangkan keputusan Li yang dianggap terlalu cepat percaya dan kurang mempertimbangkan kondisi kesehatan serta keuangan sebelum memutuskan memiliki anak.
(cr31/tribun-medan.com)
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan