Berita Nasional
Amnesty Internasional Desak Batalkan RKUHAP yang Disahkan DPR, Minim Transparansi Partisipasi Publik
Diwarnai penolakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mensahkan revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
TRIBUN-MEDAN.com - Diwarnai penolakan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena angkat bicara mengenai pengesahan revisi RKUHAP oleh DPR.
Menurutnya RKUHAP tersebut harus dibatalkan karena minim transparansi, memanipulasi partisipasi publik serta banyak pasal bermasalah.
“Pengesahan revisi KUHAP hari ini menandai kemunduran serius dalam komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Alih-alih menjadi tonggak pembaruan hukum acara yang lebih modern dan berkeadilan, revisi ini justru memperlihatkan regresi yang mengkhawatirkan," kata Wirya, Selasa (11/7/2025).
Ia menilai proses penyusunannya berlangsung minim transparansi, bahkan memanipulasi partisipasi publik.
Meski masyarakat sipil telah berkali-kali meminta agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru merevisi KUHAP demi menghasilkan regulasi yang berkualitas dan berkeadilan.
“Bahkan, DPR baru mengunggah draf KUHAP yang disahkan kurang dari 24 jam sebelum waktu pengesahan. Hal ini tentu sangat menyulitkan terjadinya partisipasi bermakna dengan masyarakat sipil.” imbuhnya.
Substansi revisi KUHAP pun, dinilainya sarat dengan pasal-pasal bermasalah yang memperlebar ruang penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, terutama kepolisian.
"Warga negara dapat sewaktu-waktu diposisikan sebagai tersangka tanpa perlindungan memadai. Bahkan, KUHAP yang disahkan menentukan pemenuhan hak atas bantuan hukum berdasarkan besarnya ancaman pidana," ungkapnya
Padahal menurutnya akses atas bantuan hukum, baik di pra-peradilan, penahanan, maupun investigasi merupakan prinsip dasar terpenuhinya hak atas peradilan yang adil.
"Di sisi lain, revisi KUHAP memberikan kewenangan penangkapan dan penahanan tanpa izin pengadilan, sehingga memperbesar kemungkinan tindakan sewenang-wenang seperti yang terjadi pada gelombang penangkapan massal pasca-demonstrasi Agustus 2025.
Ini adalah pelanggaran terhadap hak atas pembelaan dan peradilan yang adil," jelasnya.
Lanjutnya begitu pula ketentuan mengenai pembelian terselubung, penyamaran, dan operasi pengiriman di bawah pengawasan oleh penyelidik tanpa batasan jenis tindak pidana dan tanpa pengawasan hakim.
"Metode penyelidikan ini membuka peluang praktik penjebakan kepada warga, sehingga merekayasa terjadinya tindak pidana beserta pelakunya. Tindak pidana pun tercipta dalam situasi yang belum tentu terjadi jika tidak ada praktik penjebakan," imbuhnya.
Revisi tersebut dikatakannya juga memungkinkan warga ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan ketika belum ada kepastian telah terjadinya tindak pidana.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/Anggota-Dewan-di-Gedung-DPR-RI-Senayan.jpg)