Berita Nasional
YLBHI Desak Presiden Prabowo Terbitkan Perppu Batalkan KUHAP yang Baru Disahkan DPR
Penolakan dari masyarakat sipil hingga demonstrasi, karena minim transparansi dan partisipasi publik.
TRIBUN-MEDAN.com - Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) akhirnya disahkan
Meski dari awal munculnya isu pembahasan RKUHAP sudah diwarnai protes.
Penolakan dari masyarakat sipil hingga demonstrasi, karena minim transparansi dan partisipasi publik.
Tapi nyatanya DPR tetap mensahkan KUHAP yang baru tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Desakan ini bertujuan untuk membatalkan atau menunda keberlakuan KUHAP baru yang baru saja disahkan DPR RI secara terburu-buru pada 18 November 2025 lalu.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menegaskan bahwa penerbitan Perppu sangat mendesak karena KUHAP baru tersebut dinilai cacat prosedur dan memuat substansi yang membahayakan penegakan hukum serta hak asasi manusia.
"Kami mendesak Prabowo untuk segera menerbitkan Perppu, batalkan segera KUHAP ini, karena ini membahayakan penegakan hukum," kata Isnur dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta Pusat, Sabtu (22/11/2025).
DPR Dinilai Sembunyikan Draf
Isnur mengungkapkan kekecewaannya terhadap proses legislasi di DPR yang dinilai tidak transparan.
Menurutnya, DPR terkesan menyembunyikan draf RUU KUHAP dari publik.
Koalisi sempat memberikan masukan pada bulan Juli dan meminta draf perbaikan melalui surat keterbukaan informasi publik.
Namun tidak pernah mendapatkan respons.
"DPR menyembunyikan, tidak pernah ngeshare hasil pasal-pasal draf KUHAP. Sampai akhirnya, di pertengahan November panja langsung rapat, disahkan di Komisi III, dan berselang empat hari langsung disahkan di paripurna," ujar Isnur.
Ia juga menyoroti bahwa draf final baru diunggah pada pagi hari menjelang rapat paripurna, sehingga menutup celah bagi jurnalis, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mempelajarinya.
Menanggapi tudingan "pemalas" dari Ketua Komisi III DPR RI karena masyarakat sipil dianggap tidak memantau, Isnur membantah keras.
"Kalau disebut pemalas, kami memperhatikan sidang YouTube-nya itu. Tapi kami kan tidak bisa komen, tidak bisa kasih masukan. Jadi ada unsur kesengajaan mempercepat proses sehingga kritik dan masukan masyarakat tidak terjadi," tambahnya.
Bahaya Pasal Karet dan Absennya Kontrol
Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, menyoroti sejumlah pasal yang memberikan kewenangan berlebihan kepada kepolisian tanpa mekanisme kontrol yang jelas.
Ia menggarisbawahi Pasal 5 huruf e, Pasal 7 huruf o, dan Pasal 16 huruf k yang memberikan wewenang kepada penyelidik untuk melakukan "tindakan lain" menurut hukum.
"Pertanyaan mendasarnya, tindakan atau kegiatan lain yang dimaksud itu apa? Penjelasannya hanya tertulis 'cukup jelas'. Ini membuka ruang penyalahgunaan wewenang," kata Fadhil.
Fadhil mengkhawatirkan frasa ambigu tersebut dapat melegitimasi tindakan koruptif atau represif, seperti kasus pemerasan berkedok razia atau pelanggaran privasi dalam tayangan reality show kepolisian.
Selain itu, Fadhil mengkritik hilangnya mekanisme judicial scrutiny (uji pengadilan) dalam proses penangkapan dan penahanan di KUHAP 2025.
"Di KUHAP baru, penangkapan dan penahanan tidak ada mekanisme kontrol dan akuntabilitasnya.
Seharusnya ada pihak lain selain penyidik, yakni pengadilan, untuk menguji apakah penahanan itu diperlukan," jelasnya.
Pola Berulang Pengabaian Partisipasi Publik
Senada dengan YLBHI dan LBH Jakarta, Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, menilai pengesahan KUHAP ini mengulangi pola buruk legislasi sebelumnya, seperti UU KPK dan Omnibus Law, di mana partisipasi publik yang bermakna diabaikan.
"Partisipasi bermakna itu bukan sekadar diundang atau disuruh nonton live streaming. Yang diinginkan adalah ruang diskusi, di mana concern masyarakat sipil dijawab, bukan monolog," ujar Nurina.
Amnesty International juga mengkhawatirkan Pasal 100 dan Pasal 93 terkait penangkapan dan penahanan yang berpotensi digunakan untuk membungkam kritik.
"Kami punya kekhawatiran sangat besar ini akan menyasar para pembela HAM yang banyak mengkritik kebijakan negara. Orang bisa ditangkap hanya dengan tuduhan menghasut tanpa bukti kuat," sebut Nurina.
Sebagai informasi, DPR RI di bawah pimpinan Ketua Puan Maharani telah mengetuk palu pengesahan RUU KUHAP pada Selasa (18/11/2025), menggantikan undang-undang lama yang telah berusia 44 tahun.
Namun, gelombang penolakan dari koalisi masyarakat sipil terus menguat menuntut pembatalan aturan tersebut.
Berpotensi Langgar HAM
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan sejumlah ketentuan yang berpotensi melanggar HAM dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru.
“Komnas HAM telah melakukan kajian atas RKUHAP tahun 2023 dan 2025,” kata Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dalam keterangannya, Sabtu (22/11/2025).
Baca juga: Liga Inggris Arsenal vs Tottenham Duel Panas Pekan Ini, Berikut Posisi Klasemen Saat Ini
Dalam kajian itu, Komnas HAM menilai ketentuan penyelidikan dan penyidikan termasuk penggunaan upaya paksa, masih lemah dalam aspek pengawasan sehingga rawan disalahgunakan.
Anis menekankan kewenangan seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyadapan harus dibatasi dengan indikator jelas.
Serta memberi ruang bagi pihak yang dirugikan untuk mengajukan keberatan melalui institusi terkait maupun peradilan.
Komnas HAM juga menyoroti mekanisme praperadilan yang hanya memeriksa aspek formil, bukan materiil.
Sehingga tidak mampu mengontrol kualitas penegakan hukum ketika terjadi intimidasi, kekerasan, atau penyiksaan.
“Mekanisme praperadilan yang diatur dalam KUHAP belum mencerminkan keresahan publik bahwa mekanisme praperadilan belum mampu secara efektif mengatasi kelemahan penegakan hukum,” tutur Anis
Selain itu, perubahan pengaturan alat bukti yang memasukkan frasa “segala sesuatu” dinilai terlalu luas dan berisiko melegitimasi bukti ilegal seperti penyadapan tidak sah.
Komnas HAM mendorong adanya mekanisme uji admisibilitas agar setiap alat bukti dipastikan diperoleh secara patut dan tidak melanggar hukum.
Lebih lanjut, Komnas HAM juga menilai UU KUHAP belum memberi kejelasan terkait konsep koneksitas perkara yang melibatkan unsur sipil dan militer.
Catatan terhadap KUHAP, tegas Anis, dapat mengganggu kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM dan upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Komnas HAM meminta pemerintah membuka ruang dan memenuhi hak partisipasi publik yang bermakna dalam pembentukan peraturan pelaksana KUHAP.
Sertakan mempertimbangkan adanya waktu transisi yang memadai sebelum KUHAP diberlakukan secara efektif.
“Hal ini mengingat pemberlakuan efektif KUHP adalah tiga tahun sejak disahkan pada 6 Desember 2022 guna memastikan kesiapan dalam segala aspek agar bisa diterapkan,” pungkas Anis.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena mengatakan, RKUHAP tersebut harus dibatalkan karena minim transparansi, memanipulasi partisipasi publik serta banyak pasal bermasalah.
“Pengesahan revisi KUHAP hari ini menandai kemunduran serius dalam komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Alih-alih menjadi tonggak pembaruan hukum acara yang lebih modern dan berkeadilan, revisi ini justru memperlihatkan regresi yang mengkhawatirkan," kata Wirya, Selasa (11/7/2025).
Ia menilai proses penyusunannya berlangsung minim transparansi, bahkan memanipulasi partisipasi publik.
Meski masyarakat sipil telah berkali-kali meminta agar DPR dan pemerintah tidak terburu-buru merevisi KUHAP demi menghasilkan regulasi yang berkualitas dan berkeadilan.
“Bahkan, DPR baru mengunggah draf KUHAP yang disahkan kurang dari 24 jam sebelum waktu pengesahan. Hal ini tentu sangat menyulitkan terjadinya partisipasi bermakna dengan masyarakat sipil.” imbuhnya.
Substansi revisi KUHAP pun, dinilainya sarat dengan pasal-pasal bermasalah yang memperlebar ruang penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, terutama kepolisian.
"Warga negara dapat sewaktu-waktu diposisikan sebagai tersangka tanpa perlindungan memadai. Bahkan, KUHAP yang disahkan menentukan pemenuhan hak atas bantuan hukum berdasarkan besarnya ancaman pidana," ungkapnya
Padahal menurutnya akses atas bantuan hukum, baik di pra-peradilan, penahanan, maupun investigasi merupakan prinsip dasar terpenuhinya hak atas peradilan yang adil.
"Di sisi lain, revisi KUHAP memberikan kewenangan penangkapan dan penahanan tanpa izin pengadilan, sehingga memperbesar kemungkinan tindakan sewenang-wenang seperti yang terjadi pada gelombang penangkapan massal pasca-demonstrasi Agustus 2025.
Ini adalah pelanggaran terhadap hak atas pembelaan dan peradilan yang adil," jelasnya.
Lanjutnya begitu pula ketentuan mengenai pembelian terselubung, penyamaran, dan operasi pengiriman di bawah pengawasan oleh penyelidik tanpa batasan jenis tindak pidana dan tanpa pengawasan hakim.
"Metode penyelidikan ini membuka peluang praktik penjebakan kepada warga, sehingga merekayasa terjadinya tindak pidana beserta pelakunya. Tindak pidana pun tercipta dalam situasi yang belum tentu terjadi jika tidak ada praktik penjebakan," imbuhnya.
Revisi tersebut dikatakannya juga memungkinkan warga ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan ketika belum ada kepastian telah terjadinya tindak pidana.
"Maka, alih-alih memperkuat keadilan, penghormatan pada rule of law dan penghormatan pada hak peradilan pidana yang adil, revisi KUHAP saat ini justru menempatkan aparat dalam posisi dominan tanpa mekanisme akuntabilitas yang memadai, sementara warga semakin rentan terhadap kesewenang-wenangan negara," kata Wirya.
Ia mengingatkan apabila dipaksakan berlaku mulai 2 Januari 2026 tanpa masa transisi dan kesiapan infrastruktur, revisi KUHAP ini berpotensi menciptakan kekacauan hukum.
"Karena itu, DPR dan pemerintah harus membatalkan pengesahan ini dan membuka kembali pembahasan RKUHAP secara komprehensif bersama masyarakat demi membangun sistem hukum acara yang adil, transparan, akuntabel, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.” tandasnya.
DPR Jadi Wadah 'Cuci Tangan'
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menyebut Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi wadah bagi DPR untuk ‘cuci tangan’ terhadap penolakan masyarakat atas sahnya Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU KUHAP)
Menurut Lucius, dengan disahkan UU KUHAP, protes publik pasti akan muncul meski tidak masif. Sebab jika telah disahkan, pilihan lain sebagai bentuk tidak setuju adalah dengan menguji UU KUHAP ke MK.
“Kalau sudah ketok begini, ya demonya paling beberapa kali aja, karena DPR akan bilang pakai jalur konstitusional melalui MK,” ujar Lucius saat dikonfirmasi, Selasa (11/8/2025).
Sebelumnya, Wakil Ketua DPR RI, Cucun Ahmad Syamsurijal, mempersilakan pihak yang tak menyetujui UU untuk mengajukan judicial review.
Hal tersebut disebut Lucius sebagai langkah cuci tangan DPR.
Sebab, itu artinya DPR sadar ihwal isi hingga pembahasan KUHAP bermasalah.
“Jadi DPR punya alat cuci tangan. Walau sebenarnya dengan memindahkan ke MK mereka mengakui kualitas legislasi mereka memang bermasalah,” tuturnya.
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
Baca juga: HASIL dan Klasemen Liga Inggris - Man City Bantai Liverpool, Posisi Arsenal Siap-siap Disalip
(*/TRIBUN-MEDAN.com)
Sumber: tribunnews.com
Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News
Ikuti juga informasi lainnya di Facebook, Instagram dan Twitter dan WA Channel
Berita viral lainnya di Tribun Medan
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/medan/foto/bank/originals/presiden-Prabowo-pulang-dari-amerika.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.