Catatan Sepak Bola

Kepada Pak Erick: Masalahnya Memang Terletak pada Koki

“bahan masakan, seberapa pun mewah dan bagus mutunya hanya akan jadi sampah di tangan koki yang tak cakap.” 

|
Penulis: T. Agus Khaidir | Editor: Randy P.F Hutagaol
TRIBUNNEWS/PSSI/HO
CETAK GOL - Selebrasi pesepak bola Timas Indonesia, Kevin Diks usai mencetak gol dari titik penalti saat melawan Arab Saudi pada laga pertama Grup B babak 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion King Abdullah, Jeddah, Kamis (9/10/2025) dini hari WIB. Timnas Indonesia takluk dari Arab Saudi dengan skor akhir 3-2. 

PAK Erick Thohir, Menteri Pemuda dan Olahraga sekaligus Ketua Umum PSSI yang terhormat.

Anda pernah mendengar nama Gordon Ramsay?

Ahli memasak populer ini, pada beberapa episode acara Master Chief dan Hell’s Kitchen, mengulang kalimat yang sama: “bahan masakan, seberapa pun mewah dan bagus mutunya hanya akan jadi sampah di tangan koki yang tak cakap.” 

Ramsay ini memang bermulut tajam, Pak, tapi dalam perkara ini dia benar sekali.

Koki yang cakap bisa mengolah nasi sisa semalam, ditambah sedikit rajangan bawang merah, irisan cabai, daun bawang, dan selada, sejumput garam, sejumput penyedap rasa, dan telur, dan menyulapnya menjadi nasi goreng yang tidak sekadar mengenyangkan perut tapi juga meninggalkan jejak kenangan yang sulit dilupa.

Sebaliknya, koki yang amburadul bisa membuat daging tuna sirip biru atau lobster atau daging wagyu A5 atau jamur matsutake, jadi  berantakan tak karu-karuan.

KALAH - Selebrasi pesepak bola Timas Indonesia saat melawan Arab Saudi pada laga pertama Grup B babak 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion King Abdullah, Jeddah, Kamis (9/10/2025) dini hari WIB. Timnas Indonesia takluk dari Arab Saudi dengan skor akhir 3-2.
KALAH - Selebrasi pesepak bola Timas Indonesia saat melawan Arab Saudi pada laga pertama Grup B babak 4 Kualifikasi Piala Dunia 2026 di Stadion King Abdullah, Jeddah, Kamis (9/10/2025) dini hari WIB. Timnas Indonesia takluk dari Arab Saudi dengan skor akhir 3-2. (TRIBUNNEWS/PSSI/HO)

Jika boleh mendekatkan masakan dengan sepak bola, maka pertandingan ronde empat kualifikasi Piala Dunia 2026 yang menghadapkan Indonesia dengan Arab Saudi di Stadion King Abdullah Sport City, Jeddah, Kamis dini hari, 8 Oktober 2025, secara terang-benderang menunjukkan betapa Patrick Kluivert adalah koki yang buruk.

Bahkan mungkin sangat buruk. Koki yang hampir-hampir tidak memiliki intuisi dan insting “Dewa Dapur”.

Ia kerap salah memilih bumbu, keliru menakarnya, dan gagal pula dalam mengukur kadar kematangan.

Masakannya mentah di satu sisi dan overcook di sisi yang lain. 

Bayangkan, ia membuang Nathan Tjoe A-on, meninggalkan Thom Haye, dan lebih memilih Marc Klok di posisi kunci lini tengah.

Klok yang bahkan tidak pernah dipanggil di akhir-akhir era kepelatihan Shin Tae-yong, diduetkannya dengan Joey Pelupessy.

Padahal mereka sebelumnya tidak pernah bermain bersama.

Benar-benar tidak pernah. 

Barangkali pernah dalam latihan, tapi tentu, latihan dan pertandingan atmosfernya berbeda.

Ada tekanan yang lebih besar. Kesalahan yang terjadi tidak bisa diulang untuk diperbaiki. 

Jadi bayangkanlah, untuk pertandingan sekrusial ini; sembilan puluh menit pertama dalam upaya untuk mencetak sejarah menuju Piala Dunia, Kluivert justru menurunkan dua pemain yang di antara mereka sendiri bahkan masih “asing” satu sama lain.

Maka tak mengherankan jika hasilnya amburadul.

Duet Pelupessy-Klok kerap berjarak dengan pemain-pemain di barisan belakang dan (sekaligus juga) para penyerang, dan dua gol Saudi tercipta sebenar-benarnya lantaran kesalahan posisi mereka.

Terutama sekali Klok, yang tidak sempurna membuang bola pada gol pertama dan gagal menutup ruang pada momentum awal terjadinya gol ketiga.

Pilihan Kluivert untuk menurunkan Yakob Sayuri dan menjadikannya bek kanan tak kalah membingungkan.

Yakob bukan bek murni.

Bukan seperti Kevin Diks atau Sandy Walsh yang disimpannya di bangku cadangan.

Yakob lebih offensif.

Di klubnya, juga di era kepelatihan Shin Tae-yong, ia ditempatkan di posisi penyerang atau setidaknya gelandang sayap sebelah kanan.

Penempatan sebagai bek sayap justru menyiksa Jakob karena dia tidak dapat sepenuhnya mengeksploitasi kecepatannya.

Di saat bersamaan, ia harus mengawal Salem Al-Dawsari yang licin, tajam, dan provokatif pula.

Jadi bukan hanya fisik Jakob yang dikuras, mental juga diserang, dan konsekuensinya tergambar jelas.

Yakob berandil pada ketiga gol Saudi. Ia gagal membuang bola, dan terkesan kebingungan untuk menutup ruang pada gol pertama Saudi yang dilesakkan Waheb Saleh.

Gol ketiga, lagi-lagi persoalan ruang. Sayuri terlambat menempatkan diri di posisi yang pas untuk mengantisipasi bola rebound dari tepisan Marten Paes.

Ia tidak memberikan pengawalan yang semestinya terhadap Firas Al-Buraikan, bahkan berjarak kurang lebih satu meter darinya.

Dalam posisi sedemikian bebas, Al-Buraikan leluasa mencocorkan bola yang gagal diadang Paes.

Kontribusi Yakob paling signifikan di gol kedua.

Entah dibisiki setan mana, pada posisi yang sesungguhnya tidak terlalu membahayakan itu, di kotak penalti, ia menarik baju Al Buraikan yang kemudian dengan cerdik sekali menjatuhkan diri.

Kenapa cerdik? Karena tahu pasti dia tidak dapat menjangkau bola crossing dan jatuh karena tarikan di kausnya akan membuat Saudi memiliki potensi untuk mendapatkan penalti dan dia berhasil.

VAR menunjukkan secara meyakinkan tarikan Jakob merupakan pelanggaran yang layak diganjar penalti.

Apakah Yakob lupa betapa sekarang tiap-tiap gerakan pemain di lapangan dimata-matai awas oleh puluhan kamera?

Kecuali wasit memang tidak berkehendak memeriksa, jangankan pelanggaran dan perbuatan-perbuatan curang, bahkan seekor lalat yang hinggap di ujung hidung pemain pun tidak bakalan lolos. 

Namun justru di sinilah letak ironi paling aduhai, Pak.

Atas semua kekacauan yang disebabkannya, Yakob Sayuri justru tetap berada di lapangan untuk waktu yang lama.

Patrick Kluivert tidak segera menggantinya.

Pun Marc Klok yang minim kontribusi. Pun Beckham Putra, yang sebagai bumbu, bukan saja sama sekali tidak memberi tambahan rasa, tapi malah merusaknya.

Keberadaan Beckham mengganggu cita rasa.

Di paruh 45 menit pertama, Indonesia seperti bermain sepuluh orang.

Terlepas dan performa Saudi yang ciamik, jauh membaik ketimbang laga pertama dan kedua di babak grup ronde 3, lini tengah Indonesia sama sekali tidak bisa berkembang.

Tidak ada umpan kunci dari Beckham.

Tidak ada pergerakan dengan atau tanpa bola untuk membuka ruang bagi pemain-pemain lain.

Bola-bolanya bahkan kerap direbut dan ia selalu terjatuh.

Sebagian besar tidak berbuah pelanggaran.

Beckham terlalu “halus” untuk dihadapkan pada pemain-pemain Saudi yang beringas tapi licik.
Namun ini bukan kesalahan Beckham.

Bumbu tidak pernah salah. Kokinya yang salah. Sebutlah Kluivert hendak bikin rendang tapi memasukkan bumbu opor.

Beckham Putra pemain tengah, ia biasa beredar di area sekitar bundaran besar, tapi Kluivert malah meletakkannya di sayap sebelah kiri.

Posisi yang tadinya identik dengan Marselino Ferdinand. Apakah di tim tidak ada pemain yang mumpuni di sayap?

Ada, dua orang malah. Eliano Reijnders dan Stefano Lilipaly.

Pertanyaannya, kenapa Kluivert memilih Beckham ketimbang Eliano dan Lilipaly?

Postur mereka 11-12. Kecepatan mereka kurang lebih sama.

Apakah Beckham lebih siap? Sulit mencari pembenaran karena Beckham menjadi pemain terburuk di lapangan.

Lebih buruk dari Jakob Sayuri yang bikin tiga blunder.

 Walau celaka, setidaknya, Jakob masih “kelihatan”.

Sekali dua kali masih merangsek mendekati kotak penalti dan melepaskan setidaknya satu umpan bagus.

Namun keanehan belum berhenti sampai di sini, Pak Erick.

Tatkala situasi sedang genting-gentingnya, dan Indonesia sedang sangat bersemangat menyerang, Kluivert mengganti Dean James dengan Yance Sayuri.

Padahal di bangku cadangan masih ada Shayne Pattinama yang sedang gacor-gacornya di Buriram United FC.

Pattinama bermain reguler di Liga Thailand dan juga Liga Champions Asia, yang notabene lebih kompetitif ketimbang Liga Indonesia.

Apakah Yance lebih siap dari Pattinama?

Seperti pembandingan Beckham dan Eliano-Lilipaly, sulit untuk dicari argumentasinya dan memang hanya Patrick Kluivert yang bisa menjawab.

Usai laga, di sesi konferensi pers, Kluivert memuji kegigihan pemain-pemain Tim Nasional Indonesia dan menyebut mereka bertarung “seperti Singa”.

Pujian ini tak terbantahkan, Pak Erick. Tidak berlebihan. Semua pemain, termasuk yang paling jeblok sekalipun, menunjukkan semangat bermain yang luar biasa.

Mereka sangat bersungguh-sungguh di lapangan. Mereka berusaha melebihi kapasitas kemampuan dan stamina, over limit, dan memang masalahnya bukan terletak di sini.

Masalahnya, sekali lagi, terletak pada kokinya, pada Patrick Kluivert.

Anda telah memberinya dapur yang canggih dan penuh dengan bahan-bahan masakan yang bagus.

Walau belum bisa dikategorikan premium, bahan-bahan ini jelas berkelas. Bukan bahan asal-asalan berharga murah.

Namun Kluivert, yang Anda rekrut dengan tolok ukur keseriusan lantaran hanya ia yang datang memenuhi undangan di Hari Natal, mengacaukannya. Betul-betul mengacaukannya, Pak.

Makanan yang dihasilkan koki sebelumnya, Shin Tae-yong, juga tidak bisa disebut menakjubkan.

Namun masakan yang dihasilkan Kluivert adalah malapetaka, yang hanya akan membuat Gordon Ramsay sampai pada kalimatnya yang legendaris: “My grandma could do better! And she’s dead!”

(t agus khaidir)

Baca berita TRIBUN MEDAN lainnya di Google News

Ikuti juga informasi lainnya di FacebookInstagram dan Twitter dan WA Channel

Berita viral lainnya di Tribun Medan 

 

Sumber: Tribun Medan
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved