Kapal Tenggelam
Derai Air Mata, Menjerit dan Pingsan Mewarnai Hari Penutupan Pencarian Korban KM Sinar Bangun
Suasana semakin pilu, tat kala para keluarga memanggil nama para korban dari tepian Danau Toba.
Penulis: Arjuna Bakkara |
Laporan Wartawan Tribun Medan/Arjuna Bakkara
TRIBUN-MEDAN.COM, TIGARAS - Galian tanah berbentuk liang kubur sepanjang empat meter, lebar 1,2 meter serta kedalaman empat meter diisi berbagai macam benda selain peletakan batu pertama pada pembangunan Monumen KM Sinar Bangun di Tiga Ras, Selasa (3/7/2018).
Monumen tersebut ibarat pengganti kuburan dan penghormatan yang sebesar-besarnya bagi keluarga korban yang ditinggalkan.
Baca: Luhut Janji Biayai Sekolah Anak Korban KM Sinar Bangun, Pemprov Pun Turut Berikan Perhatian
Baca: Menteri Pastikan Anak Korban KM Sinar Bangun Tidak Putus Sekolah, Luhut: Biar Uang Pribadi Saya Saja
Baca: Fahri Hamzah Sebut Pemerintah Malas karena Hentikan Pencarian Korban KM Sinar Bangun
Sebelumnya, keluarga korban berkumpul di bawah teratak dekat monumen akan dibangun yang tak jauh dari dermaga. Mereka menggelar doa bersama. Umat Islam menggelar sholat Ghoib dan keluarga korban beragama Kristen kebaaktian.
Prosesi tersebut dibalut suasana duka yang mendalam. Berderai air mata, mereka yang dilanda duka itu tidak kuasa menahan tangis. Suasana semakin pilu, tat kala para keluarga memanggil nama para korban dari tepian Danau Toba.
Pantauan Tribun, ritus dan doa untuk korban dibalut kesedihan. Keluarga korban menangis dan histeris, bahkan hampir pingsan. Keluarga korban berusaha saling menguatkan pada peristiwa duka itu.
Pada saat peletakan batu pertama, masing -masing keluarga turun ke liang berbentuk kuburan tersebut. Deraian air mata semakin deras mebasahi pipi-pipi keriput keluarga korban.
Terlihat, tidak hanya orang tua. Anak-anak kecil juga turut menmbuat bunga ke pondasi monumen. Lalu ada yang membawa tikar pandan, sepasang baju yang biasa dikenakan keluarganya mereka makamkan di dasar monumen yang direncanakan berbentuk kapal itu.
Di antara mereka, turun seorang ibu bermarga Lubis berperawakan tubuh gemuk. Dirinya kehilangan 17 anggota keluarga pada musibah yang lalu.
"Aku boru Lubis. Keluargaku Ledikson Nainggolan. Lilis boru Lubis, anakku Bungaran Nainggolan, semuanya. I Jakarta do nian hamu, alai las on ma mulak hamu. Hape las di son ma hamu. (Padahal kalian di Jakarta. Dan saat kalian pulang, tetapi malah di sinilah kalian selamanya),"ujar wanita tersebut sambil menangis.
Perempuan ini terus menjerit. Tangisannya juga membuat suasana semakin larut dalam sedih. Keluarga korban lainnya juga menjerit seadanya.
"Tuhan Yesus. Ampuni mereka kalau ada salahnya. Tempatkan dia di sisimu, Aminnnn,"ucapnya menangis.
Keluarga boru Lubis tersebut saat itu melaksanakan pesta tugu di Samosir. Karenanya, sanak saudara yang ada di perantauan meboyong anak-anaknya ke Samosir tanah leluhur.
Amatan Tribun, ratusan keluarga korban lain juga mengambil giliran untuk masuk ke galian tanah itu. Pesan demi pesan, bait-bait doa mereka panjatkan. Tak henti-henti, bersama tangis nama keluarganya yang menjadi korban mereka seru berulang-ulang.
Usai acara kebaktian dan peletakan batu pertama, keluarga korban berat hati untuk meninggalkan Danau.
