Ngopi Sore

Pak JS Badudu, Hantuilah Mereka yang Lebih Bangga Berbahasa Asing dan Bahasa Alay

Jalan yang ditempuhnya adalah jalan sunyi, yang makin ke sini makin sunyi. Jalan seorang penjaga bahasa.

Editor: T. Agus Khaidir
INTERNET
JS Badudu 

SABTU malam, 13 Maret 2016, kita kehilangan seorang tokoh berharga yang hidupnya berada di jalan sunyi. Bukan tokoh politik tentu saja. Bukan pula selebriti yang hidupnya terus disorot kamera. Tokoh ini bernama Jusuf Sjarif Badudu. Namanya biasa disingkat sebagai JS Badudu.

Siapakah dia? Bagi kebanyakan orang, nama JS Badudu, tentu saja tak setenar Soeharto atau Jokowi, atau Surya Paloh, atau Ahok. Seperti saya katakan tadi, jalan yang ditempuhnya adalah jalan sunyi, yang makin ke sini makin sunyi. Jalan seorang penjaga bahasa. Iya, JS Badudu adalah pakar bahasa Indonesia.

Tadi malam, dalam usia hampir 90, ia meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Berbagai penyakit yang menghampirinya sepuluh tahun terakhir, membuat fisiknya terus melemah. Sebelum dirawat di rumah sakit, menurut cucunya, Ananda Badudu, JS Badudu terjatuh dan tak sadarkan diri karena serangan stroke.

JS Badudu lahir di Gorontalo, 19 Maret 1926. Sepanjang hidupnya dihabiskan untuk mengajar bahasa Indonesia. Mulai dari guru SD hingga menjadi guru besar linguistik untuk Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung.

Selain mengajar, Badudu juga aktif menulis buku dan artikel menyangkut penggunaan bahasa Indonesia. Dua bukunya yang termahsyur, "Pelik-pelik Bahasa Indonesia" dan "Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar", menjadi referensi yang paling banyak dicari oleh siapapun yang hendak mempelajari bahasa Indonesia.

Badudu juga aktif berperan dalam penyusunan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan mempopulerkan bahasa Indonesia ke kancah internasional. Ia juga pernah menjadi pemandu acara Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI Jakarta pada masa Presiden Soeharto.

Sebagai pakar bahasa, Badudu termasuk orang yang sangat teliti. Dalam bukunya "Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar", Badudu secara tak terduga memaparkan tentang kata "semena-mena".

Ia mengambil contoh kalimat yang dikutipnya dari sebuah surat kabar: "Ada yang baik dan sopan, ada pula yang semena-mena dan kurang ajar baik tamu domestik maupun tamu asing."

Lema "mena", papar Badudu yang merujuk pada Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Poerwadarminta, berarti: tidak semena-mena, tidak dengan kira-kira, semau-maunya; sewenang-wenang; tidak beralasan yang patut.

Sehingga, kata Badudu, penggunaan kata "semena-mena" untuk maksud "sewenang-wenang", wajib ditambahkan dengan kata "tidak".

Sehingga, kalimat yang seharusnya adalah: "Ada yang baik dan sopan, ada pula yang tidak semena-mena dan kurang ajar baik tamu domestik maupun tamu asing."

Badudu juga pernah menuliskan tentang kebiasaan perkosaan terhadap kaidah bahasa dalam penulisan judul kepala berita. Hanya karena penghilangan kata depan yang sering dilakukan redaksi, kata dia, judul berita sering menyesatkan pembaca.
Contoh: "Pinjaman $200 Juta Diberikan Indonesia."

Akibat kata depan "kepada" atau "untuk" tidak dituliskan dalam judul itu, pembaca akan mengira bahwa Indonesia yang memberikan pinjaman. Padahal kenyataannya sebaliknya.

Dalam penulisan kalimat, termasuk judul berita, kata Badudu, hanya kata depan "oleh" yang boleh tidak dituliskan.
Rasanya saya ingin mengatakan, bahwa hanya orang-orang yang mempunyai kepekaan-bahasa yang luar biasa besar seperti Badudu yang bisa sampai menangkap kekeliruan yang demikian subtil.

Kira-kira begitulah jalan yang selama ini ditempuh Badudu. Adakah orang-orang lain di negeri ini yang berada di jalan yang sama seperti jalan yang telah ditempuh Badudu? Jika ada, berapakah jumlahnya?

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved