Kasus Jenazah Ditelantarkan karena Pilih Ahok, Ini Tanggapan Pengurus PP Muhammadiyah
Politik dan agama selaiknya tidak dikaitpautkan. Apalagi sampai berakibat buruk pada orang yang sudah tak bernyawa lagi.
TRIBUN-MEDAN.com - Sungguh kasihan, tatkala dicampuradukkan dengan agama, masyarakat awam juga yang jadi korban yang tidak tahu menahu kenapa harus demikian.
Dua kasus terbaru terkait jenazah yang dilarang disalatkan. Entah siapa dalang di balik peristiwa miris nan menyesakkan dada ini.
Baca: Ini Jawaban Ahok soal Bunda Neneng Meninggal Tak Disalatkan di Masjid Gara-gara Coblos Dirinya
Baca: Ini Kata Ustaz Syafii Disebut Tak Mau Salatkan Jenazah Bunda Neneng Gara-gara Mencoblos Ahok-Djarot
Seolah kemanusiaan tiada lagi mendapat tempat di hati manusia.
Politik dan agama selaiknya tidak dikaitpautkan. Apalagi sampai berakibat buruk pada orang yang sudah tak bernyawa lagi.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Muti mengatakan sebaiknya umat Islam tetap menyalatkan jenazah Muslim lainnya, meski dituduh sebagai golongan munafik atau pendukung penista agama.
"Ada enam hak Muslim terhadap Muslim lainnya, salah satunya diurus jenazahnya," kata Muti kepada Antara.
Pada Akhir Februari 2017 lalu, dalam diskusi berjudul "Setelah Bela Islam: Gerakan Sosial Islam, Demokratisasi dan Keadilan Sosial", dia mengatakan dalam beberapa perdebatan publik saat ini cenderung tidak sehat.
Baca: Netizen Heboh Ulang Tahun 15 Maret Nanti Liliana Tanoesoedibjo Undang Shane Westlife
Baca: Istri Siri Sandy Tumiwa Syok Ditalak Cerai, Padahal Malam Masih Happy Jalan Kondangan
Baca: Posting Lukisan Bung Karno dengan Wanita Tanpa Pakaian, Pevita Pearce Diserang Netizen
Alasannya, lanjut dia, perdebatan itu mengarah pasal penihilan pendapat pihak lain.
Bahkan, perdebatan itu sampak pada titik ekstrem untuk tidak menyalatkan jenazah Muslim pendukung penista agama.
"Jangan karena kebencian membuat tidak adil terhadap suatu kaum," kata dia.
Baca: Cerita Sopir Angkot Tabrak Driver Grabbike hingga Akhirnya Ditangkap
Baca: Siapa Sangka Cinta Penelope Sudah Empat Kali Menikah, Alasan di Balik Ia Ogah Menikah Lagi
Baca: Renggut Korban Jiwa, Cowok 15 Tahun Ini Tewas Karena #SkipChallenge di Percobaan Pertama
Muti mengatakan, hukum menyalatkan jenazah adalah fardhu kifayah.
Artinya, ibadah tersebut wajib bagi orang Islam dan berdosa bagi Muslim jika meninggalkannya.
Tetapi jika sudah ada sebagian Muslim yang melakukannya maka kewajiban itu gugur.
Baca: Kisah Nenek Hindun Tak Disalatkan, Neneng: Walau Kami Orang Bodoh, Kami Rasakan Kerja Pak Ahok
Muti mengatakan opini publik memang terbelah oleh kasus dugaan penistaan agama.
Meski begitu, dia kerap mengharapkan seharusnya perbedaan pandangan itu jangan melebar kepada hal-hal berlebihan seperti pada perkara menyalatkan jenazah.

Sunengsih alias Neneng (47) tengah memegang foto mendiang Hindun bin Raisan (77). Jenazah Hindun pada 3 Maret lalu tidak dishalatkan di mushalla Al Mukmin, di wilayah Karet, Setiabudi, Jakarta Selatan. Neneng meyakini hal itu karena sang ibunda adalah pendukung pasangan Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat. (Tribunnews.com/Nurmulia Rekso Purnomo)
Tidak Disalatkan di Musala karena Alasan Konyol
Sunengsih alias Neneg (47) masih kecewa terhadap perlakuan ustaz Ahmad Safi'i yang juga merupakan pengurus musholla Al Mukmin di RT 09 RW 02 Karet, Setiabudi, Jakarta Selatan.
Alasannya jenazah almarhum ibundanya, Hindun bin Raisan (77), diduga tidak dishalatkan di masjid tersebut pada Selasa (7/3/2017) pekan lalu.
"Pokoknya saya nggak mau urusan lagi sama mereka lah," ujar Neneng kepada Tribunnews.com di kediamannya, Jumat (10/3/2017).
Baca: Anda bakal Terkejut, Beberapa Waktu Tak Nongol, Begini Penampilan Anyar Agus Yudhoyono
Baca: Anies Menganggap Pelaporan Dirinya ke KPK sebagai Lucu-lucuan Pilkada, Kok Bisa?
Penolakan tersebut menurutnya dikarenakan sang ibunda adalah salah satu warga DKI Jakarta yang memilih pasangan Basuki Tjahaja Purnama - Djarot Saiful Hidayat di Pilgub DKI Jakarta pada 15 Februari lalu.
Sedangkan di wilayah tersebut, kabarnya sang ustaz adalah pendukung pasangan calon lain.
Neneng yang merupakan putri bungsu almarhum mengaku masih ingat betul, pada Selasa pekan lalu sekitar pukul 13.30 WIB, sang ibunda mengembuskan nafas terakhirnya akibat penyakit darah tinggi.
Ia kemudian menyambangi kediaman sang ustaz, yang tidak jauh dari kediamannya itu.
Ustaz tersebut lalu datang ke kediamannya.
Namun yang membuatnya terkejut, adalah jawaban sang ustaz ketika ia meminta sang ibunda di shalatkan di asjid Al Mukmin yang lokasinya hanya berjarak sekitar 200 meter dari kediamannya itu.
"Percuma Neng. Nggak ada orang, udah di rumah saja (shalatnya), nanti gue yang mimpin," ujar Neneng mengulangi pernyataan sang ustaz.
Alhasil mulai dari prosesi memandikan jenazah hingga shalat jenazah untuk almarhum perempuan berumur 77 tahun tersebut, digelar di kediamannya itu.
Hari itu juga sang ibunda dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Menteng Pulo. Sang ustaz pun ikut ke pemakaman.
Neneng mengaku kecewa dengan keputusan sang ustaz yang ia kenal sejak kecil itu.
Kata dia tidak mungkin sore itu tidak ada warga yang mau membantu mensalatkan sang ibunda.
Namun ia memilih untuk tidak mempermasalahkan hal tersebut, dan fokus untuk segera memakamkan jenazah sang ibunda.
Yang juga membuatnya kecewa adalah sikap Ketua RT Abdul Rahman.
Pasalnya sang ketua RT tidak membantunya mengurus berkas-berkas terkait kematian sang ibunda.
Ketua RT tersebut juga tidak ikut mengantar almarhum Hindun ke pemakaman.
"Surat-suratnya saya yang urus sendiri, tapi alhamdulilah nggak ada masalah di kuburan," ujarnya.
"Ambulans juga bukan dari RT sini, tapi dari RT sebelah," katanya.
Namun sampai saat ini ia belum pernah mengklarifikasi langsung ke sang ustaz, apakah usulan agar sang ibunda dishalatkan di rumah dikarenakan pilihan almarhum pada 15 Februari lalu.
Ia juga tidak mengklarifikasi hal itu ke ketua RT. Neneng mengaku terlalu kecewa untuk menemui mereka kembali.
"Pokoknya saya tidak mau urusan sama mereka lagi, saya juga belum pernah ketemu mereka lagi setelah pemakaman," katanya.
Bagaimana warga tahu pilihan almarhum, hal itu dikarenakan pada 15 Februari lalu almarhum tengah terbaring sakit, sehingga petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) menyambangi almarhum ke rumah.
Pada saat itu semua petugas TPS, termasuk keluarga, bisa menyaksikan langsung pasangan mana yang dicoblos almarhum Hindun.
Ditemui dalam kesempatan terpisah, Ahmad Safi'i mengatakan alasannya menyarankan Neneng agar sang ibunda tidak dishalatkan di musholla, adalah karena kendala teknis.
Katanya, saat hendak disalatkan kawasan Setiabudi tengah turun hujan deras.
"Hujan deras waktu itu, saya bilang di rumah saja. Saya tanggungjawab kok, yang yang urus semua, sampai cari ambulans, di kuburan juga saya yang mengurus," ujarnya.

Diabaikan 1 Jam Berlatarbelakang Tudingan Pilihan Politik
Yoyo Sudaryo (56), warga RT 05/02 Kelurahan Pondok Pinang, Kecamatan Kebayoran Lama, terpaksa menandatangani surat pernyataan untuk memilih paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada hari pemungutan suara Pilkada DKI Jakarta putaran dua yang akan datang.
Hal itu wajib dilakukan Yoyo jika ingin jenazah mertuanya, Siti Rohbaniah (80), disalatkan oleh pengurus salah satu masjid di Pondok Pinang.
Yoyo dan keluarganya dituding sebagai pendukung paslon Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat.
Saat ditemui wartawan, Yoyo bercerita, pada Rabu (8/3/2017) malam sang ibu mertua meninggal dunia karena sakit.
Esok harinya, keluarga kesulitan untuk mensalatkan jenazah karena pengurus masjid tidak mau mengurusnya.
Jenazah baru disalatkan Kamis (9/3/2017) siang setelah Yoyo terpaksa menandatangani surat pernyataan yang disodorkan Ketua RT 05 Makmun Ahyar.
Itu pun setelah jenazah terbengkalai sekitar satu jam.
"Rabu malam, saya punya ibu (mertua) meninggal, lalu saya lapor ke tetangga, ke Ketua RT. Awalnya nggak ada masalah yang buat saya bimbang. Ketua RT-nya juga kenal saya dengan baik," ujar Yoyo di rumahnya, Jumat (10/3/2017).
"Kamis pagi, udah rapi mau dikafani, dimandiin, nggak ada masalah. Siangnya, pas mau disalatin saya disuruh tanda tangan, yang bikin tulisannya Pak RT. Isinya bahwa saya berjanji akan mendukung pasangan Anies-Sandi di putaran dua nanti. Ada meterainya juga," beber Yoyo.
Yoyo mengatakan, surat pernyataan tersebut tidak diketik, melainkan hanya berupa tulisan tangan di atas selembar kertas.
Karena tak tega jenazah sang ibu mertua terbengkalai, dia pun akhirnya membubuhkan tandatangan di atas selembar kertas itu.
"Awalnya sih, saya nggak curiga, lagi kesusahan nggak nyangka nggak mau disalatin. Menurut saya mau pilih siapa itu urusan saya sama Tuhan. Tapi yang penting ibu saya disalatin," bilang Yoyo.
Beberapa saat, setelah Yoyo mengguratkan tandatangannya, barulah jenazah ibu mertuanya disalatkan dan akhirnya dimakamkan di TPU Tanah Kusir.
Dikatakan Yoyo, sebenarnya dia dan keluarganya tidak pernah mengungkapkan sebagai pendukung paslon tertentu.
Bahkan, sang ibu mertua tidak ikut memilih dalam putaran pertama 15 Februari lalu karena sudah uzur.
"Saya dari dulu siapapun gubernurnya kampanye nggak pernah ikut, nempel poster juga nggak. Bahkan, saya menolak ada poster pasangan manapun di rumah saya. Makanya saya heran sampai begini," katanya.
Yoyo mengakui, dia memang pernah bergurau dengan tetangga-tetangganya seputar persaingan paslon Anies-Sandi dan Ahok-Djarot dalam Pilkada DKI, kali ini.
"Saya memang kadang berkelakar ke tetangga. Saya bilang, saya nggak pilih Ahok karena dia Kristen, sementara saya Islam. Lalu, tetangga tanya, terus pilih siapa? Pilih Djarot, kata saya gitu," ungkap Yoyo.
Sementara itu, pihak kepolisian dari Polsek Metro Kebayoran Lama, Jumat pagi, telah mendatangi rumah keluarga Yoyo untuk meminta penjelasan terkait permasalahan tersebut.
Sementara itu, Kapolsek Metro Kebayoran Lama, Komisaris Ardi Rahananta mengatakan, kedatangan pihaknya untuk memastikan tidak ada ancaman keamanan bagi keluarga tersebut.
"Kami ingin memastikan keamanan warga sekaligus mediasi agar masalah itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Kami akan turunkan petugas untuk memantau agar jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan," ujar Ardi.
(WartaKota/Gopis Simatupang/Tribunnews/Nurmulia Rekso Purnomo)