Gompar Sarumpaet: Pengesahan Perda Masyarakat Adat Terlalu Lambat, Konflik Meruncing!

Ini harus dipercepat pengesahannya, apalagi konflik bias semakin meruncing jika tidak segera diperhatikan.

Penulis: Arjuna Bakkara |
TRIBUN MEDAN/ARJUNA BAKKARA
Aman Tano Batak bersama masyarakat Adat saat mengikuti seminar percepatan pengesahan Masayarakat Aadat di Tobasa,Sealasa 2 Oktober 2018 lalu. 

Laporan Wartawan Tribun Medan, Arjuna Bakkara

 

TRIBUN-MEDAN.COM, TOBASA – Masyarakat Adat Kabupaten Toba Samosir menilai Pemerintah Kabupaten Toba Samosir terlalu lambat mengakui Penetapan Masyarakat Adat di Kabupaten Toba Samosir.

Satu dari Masyarakat Adat, Gompar Sarumpaet bercerita terkait konflik perampasan lahan serta intimidasi yang terjadi di daerhanya saat ditemui Tribun di Tobasa, Kamis (4/10/2018).

Katanya, mereka selama ini BKSDA menyatakan Sigalapang menjadi Kawasan Suaka Margasatwa.

Lahan-lahan mereka diganti paksa menjadi kebun sawit sehingga kelembaban tanah di daerahnya menjadi gersang.

“Ini harus dipercepat pengesahannya, apalagi konflik bias semakin meruncing jika tidak segera diperhatikan,” kata Gompar.

Gompar bahkan pernah dipenjarakan selama 8 bulan karena mempertahankan tanah leluhurnya, padahal leluhurnya sudah mendiami dan mejnaga lokasi mereka di Sigalapang jauh sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Leluhur mereka juga turut mengusir penjajah dari Tanah Batak.

Sejak tahun 1701 hingga saat ini silsilah dari leluhurnya masih jelas dan telah berdiam menjaga alam di Adian Baja Tobasa dan Sigalapang Tobasa. Namun, pada tahun 1987 kementrian kehutanan mulai mengklaim tanah itu menjadi milik kehutanan Tapanuli Utara, sekaligus mendirikan plank pertanda bahwa tanah adalah suaka hutan lindung dan hutan konservasi.

Beberapa keluarga Gompar termasuk dirinya hingga saat ini berusaha bertahan dari berbagai gempuran, dan mereka memiliki sejarah serta kronologis yang jelas terkait hak ulayat itu. Keterangan-keterangan itu juga didukung berbagai kenyataan yang ada di Sigalapang. Baik pekuburan yang sudah ada ratusan tahun, tanaman-tanaman keperluan ritual massih ada ditemukan di sana.

“Dari kenyataan inilah kami seluruh keturunan nenek moyang kami merebut wilayah adat itu. Kami pun berjuang bersama dengan membentuk kelembagaan kelompok yang saat ini kami namakan dengan Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak,, Sigalapang,”terangnya. 22,08 hektar. Saat ini Gompar dan kerabatnya  berjumlah sekitar 150 Kepala Keluarga dan luas wilayah adat yang telah mereka petakan sekitar 922, 08 hektar.

Masyarakat Sigalapang kerap mendapat tantangan terutama dari pihak kehutanan yang menyatakan bahwa saat ini Wilayah Sigalapang adalah konservasi suaka margasatwa. “Tantangan-tantangan yang kami rasakan langsung seperti diawal mereka berjuang, segala rumah yang telah kami dirikanm dirobohkan secara paksa oleh pihak kehutanan dibantu TNI/Polri,”tambahnya.

Mereka pun kehilangan dan dibalut kesedihan mendalam, banyak anak-anak yang trauma melihat kejadian tersbut, namun mereka tidak pernah menyerah. Mereka kembali mendirikan rumah-rumah seadanya tempat berteuh di kala hujan dan panas setelah lelah dari ladang.

Dampak dari perlawanan itu,pengurus dari kelembagaan yakni 10 orang dimasukkan ke penjara selama 8 bulan. Keluarhga mereka pun mendertia karena kebutuhan keseharian yang tidak sanggup lagi untuk dibutuhi. Pasca ditahannya Gompar dan rekan, keluarga ada yang sakit dan bahkan berhenti sekolah. Namun, perjuangan mereka dilirik AMAN Tano Batak.

Aman mempertemukan mereka dengan pemerintah, serta mewadahi perjuangan mereka. Karenanya, kata Gompar seiring dikeluauarkan dan ditetapkannya Perda Masyarakat Adat di Tobasa,maka bagi mereka ini adalah saat yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini seakan ditutupi.

Halaman
12
Sumber: Tribun Medan
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved