Sangiran, Jejak Manusia Purba di Tanah Jawa Cikal Bakal Peradaban di Indonesia
Museum Purbakala Sangiran, situs sejarah Homo Erectus di Indonesia yang masuk warisan dunia dan tercatat di UNESCO
Penulis: Array A Argus | Editor: Array A Argus
Laporan Wartawan Tribun Medan/Array A Argus
TRIBUN-MEDAN.COM -Jutaan tahun lalu, tanah Jawa pernah didiami manusia purba Homo Erectus.
Makhluk yang sudah berjalan tegak ini ditemukan di Sangiran, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah.
Pada masa itu, Homo Erectus hidup di sepanjang aliran Bengawan Solo.
Peneliti mencatat, jejaknya juga ditemukan di Trinil (Ngawi) Jawa Timur, Sambungmacan (Sragen) dan Ngandong.
Kemudian, ditemukan pula sisa-sisa kerangka "Manusia Jawa" ini di Kradenan dan Blora, yang merupakan perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah.

"Homo Erectus ini hidup dengan cara berburu. Sampai saat ini, sudah 100 individu yang ditemukan," ungkap Kasi Pemanfaatan Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, Iwan Setiawan Bimas, Kamis (1/11/2018).
Ia mengatakan, berdasarkan ciri kepurbaannya, Homo Erectus terbagi dalam tiga kelompok.
"Arkaik, Tipik dan Progresif," kata Iwan di hadapan rombongan Tribun Editorial Development Program (TEDP) V.
Arkaik, lanjut Iwan, adalah manusia purba yang memiliki volume otak atau kapasitas tengkorak 800 hingga 900 cubic centimeter (cc).
Mereka hidup 1,5 juta hingga 900.000 tahun lalu.
Manusia purba inilah yang paling tua.
Penemuan terbaru, peneliti menemukan rangka manusia purba yang hidup 300.000 tahun lalu.

Baca: Mengenalkan Manusia Purba Sangiran di Mal
"Untuk manusia purba yang hidup 300.000 tahun lalu ini, mereka masuk kategori Tipik. Volume otaknya itu 1000 cc," katanya.
Sedangkan Progresif, lanjut Iwan, kerangka manusia purba ini tidak lagi ditemukan di Sangiran.
Pada masa itu, Homo Erectus bermigrasi ke pinggiran Bengawan Solo. Rangkanya ditemukan mengendap di aliran sungai.
Sejak puluhan tahun lalu, kerangka-kerangka Homo Erectus ini paling banyak ditemukan di Sangiran 17.
Sangiran 17 adalah satu titik lokasi penggalian dan penelitian.
Sehingga, pemerintah memutuskan untuk membangun situs sejarah berbentuk museum, yang kini dikenal dengan Museum Purbakala Sangiran.
Situs ini kemudian tercatat di United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dengan nomor C593.

"Untuk tetap menjaga kawasan ini sebagai situs sejarah, ada aturan-aturan yang harus kita jaga," ungkap Iwan.
Ia mengatakan, situs Sangiran seluas 59,21 km2 tidak boleh ada pembangunan secara masif.
Ini untuk menjaga kelestarian alam dan kondisi lingkungan Sangiran.
Kemudian, kata dia, UNESCO melarang adanya aktivitas ilegal penjualan fosil purbakala.
Baca: Museum Manusia Purba Sangiran di Resmikan Maret
Untuk meminimalisir masalah ini, Museum Purbakala Sangiran saat ini mempekerjakan warga sekitar sebagai honorer.
"Kami juga mengajak masyarakat bekerjasama dan memberikan mereka pemahaman menyangkut fosil-fosil yang ditemukan," terang Iwan.
Ketika petani atau warga menemukan fosil, maka mereka wajib memberikannya pada museum, semata-mata untuk penelitian dan kemajuan pendidikan menyangkut peradaban manusia di Indonesia.(Ray/tribun-medan.com)